Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hotel
(1) | Pemungutan Pajak Hotel menggunakan sistem pajak dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (self assessment). |
(2) | Berdasarkan sistem pajak dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. |
(1) | Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga, hiburan dan persewaan ruangan di hotel yang disewakan oleh pihak hotel. |
(2) | Termasuk dalam pengertian hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:
|
(3) | Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel. |
(4) | Fasilitas olahraga atau hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas olahraga atau hiburan yang disediakan dan dikelola oleh hotel untuk tamu hotel, antara lain pusat kebugaran (fitness centre), kolam renang, tenis, squash, billiar, karaoke, diskotik, pub, kafe, bar dan sejenisnya. |
(5) | Persewaan ruangan di hotel yang disewakan oleh pihak hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:
|
(6) | Tidak termasuk Objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah :
|
(1) | Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. |
(2) | Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. |
(1) | DPP adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada hotel. |
(2) | Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan jasa sebagai pembayaran. |
(3) | Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pembayaran yang diakui dalam pembukuan atau pencatatan sebagai penerimaan hotel. |
(1) | Wajib Pajak dapat memberikan diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenisnya dari harga jual yang berlaku. | ||||||||||||
(2) | Pemberian diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
| ||||||||||||
(3) | Perhitungan DPP atas pemberian diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut : Contoh: Perhitungan Pajak Hotel atas pemberian diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis :
|
(1) | Wajib Pajak yang memberikan diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis diberlakukan. | ||||||||||
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang memuat:
| ||||||||||
(3) | Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD menerbitkan surat persetujuan atas pemberian diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima. | ||||||||||
(4) | Wajib Pajak yang memberikan diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis, wajib mencatat dalam pembukuan atas setiap transaksi pembayaran pelayanan di hotel. | ||||||||||
(5) | Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan surat permohonan pemberian diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atau belum memperoleh persetujuan dari Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD, maka atas setiap transaksi pembayaran pada Wajib Pajak dianggap tidak ada diskon dan pajak dihitung dari jumlah harga umum yang berlaku. | ||||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian diskon diatur dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak. |
(1) | Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim. |
(2) | Bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh. |
(1) | Pajak Hotel yang terutang terjadi pada saat pembayaran kepada pengusaha hotel atas pelayanan di hotel. |
(2) | Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum pelayanan hotel diberikan, pajak terutang pada saat terjadi pembayaran. |
(3) | Pajak terutang atas Rumah Kos terjadi pada saat pembayaran kepada pemilik Rumah Kos. |
(1) | Setiap Wajib Pajak Hotel termasuk Wajib Pajak Rumah Kos wajib mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya dengan menggunakan SPOPD ke Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD sesuai dengan tempat kedudukan usaha Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum beroperasinya usaha. | ||||
(2) | SPOPD dapat diambil pada Kantor Dinas Pelayanan Pajak atau Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD atau tempat lain yang ditunjuk atau mengunduhnya/download pada website http://dpp.jakarta.go.id/. | ||||
(3) | SPOPD harus diisi dengan benar, jelas dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. | ||||
(4) | Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan melampirkan paling kurang :
|
a. | Suku Dinas Pelayanan Pajak, untuk usaha hotel:
|
b. | UPPD, untuk usaha hotel:
|
(1) | Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), diberikan NPWPD dan Surat Keputusan Pengukuhan sebagai Wajib Pajak Daerah. | ||||||
(2) | Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan dan tidak melaporkan usahanya, diterbitkan NPWPD secara jabatan dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda. | ||||||
(3) | Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), besarannya diatur sebagai berikut :
| ||||||
(4) | Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditagih dengan STPD. | ||||||
(5) | Penerbitan NPWPD secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disertai dengan pemeriksaan untuk masa pajak atau tahun pajak yang tidak didaftarkan. | ||||||
(6) | Penerbitan NPWPD secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diusulkan oleh Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak untuk diterbitkan NPWPD secara jabatan dan Surat Keputusan Pengukuhan sebagai Wajib Pajak Daerah. | ||||||
(7) | Penerbitan NPWPD secara jabatan dan keputusan pengukuhan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). | ||||||
(8) | NPWPD dan Surat Keputusan Pengukuhan setelah ditandatangani oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak melalui Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD. | ||||||
(9) | Berdasarkan penerbitan NPWPD secara jabatan dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD menerbitkan SKPDKB. | ||||||
(10) | NPWPD secara jabatan dan Surat Keputusan Pengukuhan, STPD dan SKPDKB disampaikan kepada Wajib Pajak oleh Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD. |
(1) | Wajib Pajak yang menghentikan atau menutup usahanya, mengajukan permohonan penghapusan NPWPD secara tertulis disertai dengan alasan dan diajukan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD. |
(2) | Surat permohonan penghapusan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang dilampirkan :
|
(3) | Terhadap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penghapusan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pemeriksaan untuk menetapkan jumlah pajak terutang sebelum diterbitkannya keputusan penghapusan NPWPD. |
(4) | Jumlah pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib dibayar oleh Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD mengusulkan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak untuk pencabutan NPWPD. |
(6) | Surat usulan pencabutan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), paling kurang dilampirkan :
|
(7) | Berdasarkan surat usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Kepala Dinas Pelayanan Pajak memproses dan menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan NPWPD. |
(8) | Surat Keputusan Pencabutan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (7), disampaikan kepada Wajib Pajak melalui Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD. |
(1) | Terhadap Wajib Pajak yang tutup usahanya dan masih memiliki utang pajak, dilakukan penagihan 'pajak dengan surat paksa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. |
(2) | Persyaratan dan tata cara pendaftaran, penerbitan NPWPD, NPWPD secara jabatan dan pencabutan NPWPD ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak. |
(1) | Wajib Pajak wajib melaporkan pajak yang terutang dalam masa pajak atau tahun pajak dengan menggunakan SPTPD ke Kantor Suku, Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD atau tempat lain yang ditunjuk seperti Gerai Pajak. |
(2) | SPTPD dapat diambil sendiri oleh Wajib Pajak di Kantor Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD atau tempat lain yang ditunjuk atau dapat mengunduhnya/download pada website http://dpp.jakarta.go.id/. |
(3) | SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi dengan benar, jelas dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. |
(4) | SPTPD disampaikan dalam jangka waktu paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya dan apabila batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur disampaikan pada hari kerja berikutnya. |
(5) | Penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib dilampirkan dokumen atau keterangan yang menjadi dasar perhitungan pajak terutang, berupa :
|
(6) | SPTPD dianggap tidak disampaikan apabila SPTPD tidak ditandaiangani oleh Wajib Pajak atau. Penanggung Pajak dan/atau tidak melampirkan dokumen atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(7) | Kewajiban melampirkan dokumen atau keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan huruf b, dikecualikan bagi Wajib Pajak yang dilakukan online system dengan sistem yang dimiliki oleh Dinas Pelayanan Pajak. |
(8) | Terhadap Wajib Pajak Rumah kos penyampaian SPTPD dengan melampirkan :
|
(1) | Berdasarkan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD harus melakukan penelitian dan verifikasi SPTPD beserta lampirannya. |
(2) | Penelitian dan verifikasi SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan ketentuan :
|
(3) | Hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dituangkan dalam Formulir Hasil Penelitian SPTPD sebagaimana tercantum dalam Format 1 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(4) | Apabila hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakibat terdapat selisih pajak kurang bayar, maka atas selisih pajak kurang bayar tersebut ditagih dengan menerbitkan STPD. |
(1) | Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan untuk memperpanjang atau menunda penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD. |
(2) | Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibuat secara tertulis yang disertai dengan alasan yang jelas, diberi tanggal dan ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. |
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4). |
(4) | Permohonan perpanjangan atau penundaan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus melampirkan :
|
(5) | Dalam hal perpanjangan atau penundaan penyampaian SPTPD yang mengakibatkan jumlah pajak terutang lebih besar dari jumlah pajak yang telah dibayar sebelumnya, maka atas selisih pajak terutang yang kurang dibayar dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan. |
(6) | Pembayaran pajak terutang yang kurang dibayar berikut sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dengan menggunakan SSPD dan penyampaian SSPD dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPTPD perpanjangan atau penundaan. |
(7) | Penyampaian SPTPD perpanjangan atau penundaan, wajib dilampirkan :
|
(8) | Berdasarkan permohonan perpanjangan atau penundaan SPTPD, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD mengeluarkan surat persetujuan. |
(9) | Bentuk Surat Permohonan Perpanjangan atau Penundaan SPTPD dan Surat Persetujuan Perpanjangan atau Penundaan SPTPD sebagaimana tercantum dalam Format 2 dan Format 3 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan kemauan sendiri dapal membetulkan SPTPD yang telah disampaikan, dengan menyampaikan surat pernyataan tertulis kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD. |
(2) | Pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya masa pajak atau tahun pajak sepanjang Dinas Pelayanan Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak membetulkan sendiri SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang mengakibatkan jumlah pajak terutang lebih besar dari jumlah pajak yang telah dibayar sebelumnya, maka atas selisih pajak terutang yang kurang dibayar tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan, yang dihitung sejak saat berakhirnya penyampaian SPTPD sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPTPD. |
(4) | Surat pernyataan tertulis pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus melampirkan :
|
(5) | Hak Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan gugur, apabila pembetulan SPTPD telah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya masa pajak atau tahun pajak, atau telah dilakukan pemeriksaan oleh Dinas Pelayanan Pajak. |
(6) | Apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah melakukan pembayaran pajak beserta sanksi administrasi berupa bunga yang telah melampaui jangka waktu atau telah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), maka pajak terutang yang telah dibayar dalam SPTPD Pembetulan akan diperhitungkan kemudian sebagai pengurang dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar dalam surat ketetapan pajak. |
(7) | Surat pernyataan tertulis pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan masa pajak yang dilakukan pembetulan SPTPD dan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk masing-masing masa pajak yang dilakukan pembetulan. |
(8) | Bentuk Surat Pernyataan Pembetulan SPTPD sebagaimana tercantum dalam Format 4 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Setiap Wajib Pajak Hotel wajib menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD. |
(2) | Pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi seluruh pembayaran atas pelayanan di hotel yang menjadi dasar pengenaan pajak. |
(1) | Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD, dapat menerbitkan :
| ||||||
(2) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. | ||||||
(3) | Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pojok pajak, ditambah, sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. | ||||||
(4) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. | ||||||
(5) | Kenaikan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan. |
(1) | Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a adalah pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan program kegiatan pemeriksaan oleh Dinas Pelayanan Pajak dalam rangka menguji kepatuhan Wajib Pajak atau tujuan lain. |
(2) | Keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a adalah keterangan lain yang dapat berasal dari Dinas Pelayanan Pajak atau pihak lain atau hasil verifikasi yang dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak. |
(1) | Berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) atau berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (2), berupa temuan pemeriksaan (koreksi pajak/fiskal) yang mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar. |
(2) | Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terjadi dalam hal:
|
(3) | Pajak yang kurang atau terlambat dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2). |
(1) | SKPDKB dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a angka 2 dan Pasal 22 ayat (2), diatur sebagai berikut apabila :
|
(2) | Penyampaian surat teguran kepada Wajib Pajak dilakukan paling banyak 3 (tiga) surat teguran. |
(3) | Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memiliki jangka waktu 7 (tujuh) hari, yang dihitung sejak diterimanya surat teguran oleh Wajib Pajak atau pegawai Wajib Pajak. |
(4) | Penyerahan surat teguran kepada Wajib Pajak dilakukan paling lama 3 (tiga) hari sejak ditandatangani surat teguran dan penyerahan surat teguran disertai dengan bukti tanda terima penyerahan surat teguran. |
(1) | Wajib Pajak yang menyampaikan SPTPD beserta lampirannya dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam surat teguran pertama, tidak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (duapersen) sebulan. |
(2) | Terhadap Wajib Pajak yang menyampaikan SPTPD beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD menerbitkan surat keterangan bahwa penyampaian SPTPD dimaksud tidak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga. |
(3) | Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilengkapi dengan bukti surat teguran dan SPTPD beserta lampirannya. |
(4) | Bentuk Surat Keterangan Penyampaian SPTPD Tidak Dikenakan Sanksi Administrasi Berupa Bunga sebagaimana tercantum dalam Format 5 Lampiran Peraturan Gubernur Ini. |
(1) | SKPDKB dengan pajak terutang yang dihitung secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a angka 3 dan Pasal 22 ayat (3), apabila :
|
(2) | SPTPD beserta lampirannya yang sama sekali tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terjadi apabila setelah disampaikan surat teguran paling banyak 3 (tiga) kali,Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD. |
(3) | SPTPD disampaikan tetapi diisi tidak benar/tidak lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terjadi apabila :
|
(4) | DPP yang tidak benar/tidak lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat disebabkan karena:
|
(1) | Penerbitan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b dan Pasal 22 ayat (4), dilakukan melalui pemeriksaan dan sebelumnya kepada Wajib Pajak telah diterbitkan SKPDKB. |
(2) | SKPDKBT tidak diterbitkan apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri novum baru sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan. |
(3) | Terhadap pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan novum baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan novum baru untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(1) | Pembayaran pajak yang terutang dilakukan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya dengan menggunakan SSPD. |
(2) | Apabila batas waktu pembayaran jatuh pada hari libur maka batas waktu pembayaran jatuh pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. |
(3) | Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pada Kantor Unit Perbendaharaan dan Kas Daerah BPKD atau Bank yang ditunjuk oleh Gubernur. |
(4) | Apabila pembayaran pajak terutang dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa bunga keterlambatan bayar sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(1) | Pajak yang terutang dalam SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterbitkan. |
(2) | SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan. |
(1) | Terhadap usaha hotel yang dimiliki atau ditanggung oleh beberapa orang atau badan, maka kepada masing-masing orang atau pengurus badan, dianggap sebagai Wajib Pajak dan bertanggungjawab renteng atas pembayaran Pajak Hotel. |
(2) | Pemilik Hotel ikut bertanggung jawab terhadap kewajiban pembayaran Pajak Hotel atas pelayanan penyelenggaraan yang menjadi Objek Pajak Hotel oleh pihak lain di hotel, apabila pihak lain tersebut tidak memenuhi kewajiban pembayaran Pajak Hotel. |
(1) | Dalam hal pembayaran Pajak Hotel oleh Subjek Pajak atau Pengunjung dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga jual atau harga penggantian yang berlaku adalah harga jual atau harga penggantian yang berlaku untuk umum. |
(2) | Dianggap memiliki hubungan istimewa, apabila :
|
(1) | Wajib Pajak wajib menggunakan bon penjualan (bill) untuk setiap transaksi pelayanan di hotel yang dilegalisasi/diperporasi oleh Dinas Pelayanan Pajak, kecuali ditetapkan lain dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak. |
(2) | Bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus menggambarkan terjadinya transaksi pembayaran atas pelayanan di hotel yang menjadi dasar pajak terutang. |
(3) | Terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan menggunakan bon penjualan (bill) dan melegalisasi/perporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi tidak menggunakan bon penjualan (bill) dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 % (dua persen) sebulan dari pajak yang terutang untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan terhadap penggunaan bon penjualan (bill) yang tidak diperporasi dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari pajak yang terutang dalam setiap bon penjualan (bill). |
(4) | Bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling kurang terdiri dari 3 (tiga) rangkap:
|
(5) | Bon penjualan (bill) paling kurang memuat :
|
(1) | Legalisasi/perporasi bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dilakukan dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dengan melengkapi persyaratan paling kurang sebagai berikut :
|
(2) | Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD wajib mengadministrasikan setiap permohonan legalisasi/perporasi bon penjualan (bill) dari Wajib Pajak. |
(1) | Untuk mengantisipasi perkembangan teknologi dalam rangka percepatan pelayanan pembayaran. di hotel, maka kewajiban legalisasi/perporasi bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dapat dikecualikan atau dibebaskan dengan mengajukan permohonan secara tertulis yang disertai dengan alasan yang jelas, kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak. | ||||||||||||
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
| ||||||||||||
(3) | Berdasarkan permohonan yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Dinas Pelayanan Pajak menerbitkan surat pemberian pembebasan dari kewajiban legalisasi/perporasi bon penjualan (bill) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan Wajib Pajak. | ||||||||||||
(4) | Apabila setelah lewat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan surat pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Dinas Pelayanan Pajak belum menerbitkan surat pembebasan, maka permohonan pembebasan legalisasi/perporasi bon penjualan (bill) dianggap diterima dan Wajib Pajak dapat menggunakan bon penjualan (bill) yang tidak dilegalisasi/perporasi. |
(1) | Wajib Pajak yang telah diberikan surat pembebasan dari kewajiban legaliasasi/perporasi bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dalam setiap transaksi tetap menggunakan bukti transaksi penjualan. |
(2) | Wajib Pajak wajib melaporkan adanya kerusakan sistem komputer atau mesin transaksi pembayaran apabila terjadi kerusakan atas sistem komputer atau mesin transaksi pembayaran kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung pada saat terjadinya kerusakan. |
(3) | Selama terjadinya kerusakan mesin transaksi Wajib Pajak wajib melaporkan bukti transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Apabila Wajib Pajak tidak melaporkan atau terlambat melaporkan, Kepala Dinas Pelayanan Pajak berdasarkan usulan Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dapat mencabut surat pemberian pembebasan dari kewajiban melegalisasi bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3). |
(5) | Dalam hal surat pemberian pembebasan dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka Wajib Pajak wajib menggunakan bon penjualan (bill) yang dilegalisasi/diperporasi. |
(6) | Terhadap surat pembebasan yang telah dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat diberikan surat pembebasan kembali, berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan kewajiban Pajak Hotel oleh Dinas Pelayanan Pajak. |
(7) | Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan paling kurang 1 (satu) tahun sejak tanggal surat pencabutan. |
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan permohonan dan tata cara pemberian pembebasan dan pencabutan dari kewajiban legalisasi/perporasi bon penjualan (bill) diatur dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak. |
(1) | Wajib Pajak yang mendapat pembebasan dari kewajiban legalisasi/perporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3), diwajibkan membuat rekapitulasi transaksi pembayaran dari sistem komputerisasi atau mesin kas register secara urut dan teratur sebagai lampiran pada penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) huruf b. |
(2) | Kewajiban melampirkan rekapitulasi transaksi pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan apabila Wajib Pajak telah dilakukan online system sesuai dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Wajib Pajak rumah kos dikecualikan dari kewajiban penggunaan bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, tetapi tetap diwajibkan untuk membuat rekapitulasi pemakaian kamar kos. |
(2) | Rekapitulasi pemakaian kamar kos sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilampirkan pada saat penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) huruf b. |
(1) | Dalam rangka pelaksanaan pengawasan pembayaran Pajak Hotel, Kepala Dinas Pelayanan Pajak berwenang meng-online-kan data transaksi pada mesin kas register atau mesin elektronik lainnya yang dimiliki Wajib Pajak dengan sistem teknologi informasi Dinas Pelayanan Pajak. |
(2) | Terhadap Wajib Pajak Hotel yang di-online-kan ke dalam sistem teknologi informasi Dinas Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan dari :
|
(3) | Terhadap Wajib Pajak Hotel kecuali Rumah Kos yang tidak bersedia di-online-kan atau berusaha menghindari online system secara Cash Management System (CMS) dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha hotel dan sanksi berupa denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) setiap bulan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan online system diatur dengan Peraturan Gubernur tersendiri. |
(1) | Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dapat menerbitkan STPD apabila :
|
(2) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk jangka waktu paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak. |
(3) | Surat Ketetapan Pajak Daerah yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD. |
(4) | Penerbitan STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan paling lama 5 (lima) hari setelah berakhirnya jatuh tempo pembayaran. |
(5) | Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari sejak tanggal berakhirnya penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4). |
(6) | STPD memiliki jangka waktu 7 (tujuh) hari. |
(1) | Penagihan pajak dilakukan terhadap pajak yang terutang dalam SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding/Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang tidak atau kurang dibayar setelah tanggal Jatuh tempo pembayaran. |
(2) | Penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis dari Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD. |
(3) | Surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis, paling kurang memuat :
|
(4) | Penerbitan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(5) | Apabila Wajib Pajak belum memenuhi kewajiban Pajak Hotel yang terutang setelah disampaikan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka penagihan pajak ditindaklanjuti dengan Surat Paksa. |
(1) | Dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Pelayanan Pajak dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum sebelum diterbitkannya surat paksa. |
(2) | Pelaksanaan penagihan melalui bantuan aparat penegak hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan surat kuasa khusus dari Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD. |
(3) | Tata cara pelaksanaan penagihan dengan bantuan penegak hukum didasarkan pada Kerja Sama Penagihan Pajak antara Kepala Dinas Pelayanan Pajak atas nama Gubernur dengan Pihak Aparat Penegak Hukum. |
(1) | Daerah mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Wajib Pajak atau Wajib Pajak dan Penanggung Pajak. |
(2) | Ketentuan hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa kenaikan, bunga, denda dan biaya penagihan pajak. |
(3) | Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali :
|
(4) | Hak mendahulu itu hilang setelah lampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbilkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut, surat paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi atau diberikan penundaan pembayaran. |
(5) | Dalam hal surat paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan surat paksa atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran, jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran. |
(1) | Hak untuk melakukan penagihan Pajak Hotel menjadi kedaluwarsa setelah melampui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah. |
(2) | Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tertangguh apabila :
|
(3) | Dalam hal diterbitkan surat teguran dan surat paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat paksa tersebut. |
(4) | Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. |
(5) | Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak. |
(6) | Dalam hal adanya pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat pernyataan Wajib Pajak mempunyai utang pajak. |
(7) | Dalam hal adanya pengakuan utang pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(1) | Gubernur dapat menghapuskan piutang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa. |
(2) | Penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Wajib Pajak Hotel dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD atas suatu :
| ||||||
(2) | Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan formal sebagai berikut :
| ||||||
(3) | Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan. | ||||||
(4) | Terhadap surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dijawab dengan surat biasa dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat keberatan. | ||||||
(5) | Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dalam pelaksanaan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(6) | Permohonan keberatan diajukan per satu surat permohonan keberatan untuk satu surat ketetapan pajak, dengan tanda bukti penerimaan masing-masing permohonan surat keberatan. | ||||||
(7) | Dalam hal permohonan keberatan melalui pos tercatat maka tanda bukti penerimaan surat keberatan yang diterima oleh Dinas Pelayanan Pajak atau Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD dari pos sebagai tanggal bukti penerimaan surat keberatan. |
(1) | Pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), diatur dengan kewenangan penyelesaian keberatan, sebagai berikut :
|
(2) | Batas kewenangan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau kembali dengan Keputusan Gubernur berdasarkan usulan Kepala Dinas Pelayanan Pajak. |
(1) | Berdasarkan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49, Dinas Pelayanan Pajak atau Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD, memproses permohonan keberatan pajak dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(2) | Dalam hal adanya permintaan atas dokumen atau bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan keberatan dari Wajib Pajak. |
(3) | Wajib Pajak wajib menyampaikan dokumen atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan, sebagai dasar proses penyelesaian keberatan. |
(4) | Jangka waktu 12 (dua belas) bulan dihitung sejak seluruh dokumen atau bukti yang harus dilengkapi oleh Wajib Pajak terpenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) | Dalam hal permohonan keberatan yang tidak atau kurang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan Pasal 48 ayat (2) huruf b dan ayat (4), Wajib Pajak masih dapat mengajukan keberatan sepanjang masih dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf b. |
(1) | Dalam Jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat permohonan keberatan diterima Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk, harus memberi jawaban atas permohonan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak atau kuasanya, yang dituangkan dalam surat keputusan keberatan. |
(2) | Surat keputusan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),dapat berupa :
|
(3) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui dan Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan keputusan, maka permohonan keberatan dianggap dikabulkan. |
(4) | Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan surat keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan dan ditagih dengan STPD. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding pada Pengadilan Pajak, maka sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (4),tidak dikenakan. |
(6) | STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak diterbitkan apabila Wajib Pajak yang mengajukan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (5), terlebih dahulu telah memberitahukan secara tertulis dengan meterai cukup paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat keputusan keberatan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD. |
(7) | Wajib Pajak yang mengajukan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (6), harus, menyampaikan bukti tanda terima pendaftaran banding dari Pengadilan Pajak sebagai bukti pendukung surat pemberitahuan dimaksud. |
(8) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan tanda bukti pendaftaran banding sebagaimana dimaksud pada ayat (7), atas sanksi denda sebesar 50% (lima puluh persen) tetap ditagih dengan STPD. |
(1) | Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun, wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia atau prinsip pembukuan yang berlaku secara umum. |
(2) | Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet di bawah Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun, dapat dibebaskan dari kewajiban pembukuan, akan tetapi tetap diwajibkan menyelenggarakan pencatatan nilai peredaran usaha yang menjadi dasar penghitungan pajak. |
(3) | Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara teratur setiap hari berdasarkan tanggal, jenis transaksi dan nilai transaksi sesuai dengan penggunaan bon penjualan (bill) atau struk/mesin register. |
(4) | Untuk Wajib Pajak Rumah Kos, pencatatan dibuat secara teratur setiap bulan sesuai dengan pemakaian kamar. |
(1) | Pembukuan atau pencatatan harus mencerminkan kegiatan usaha yang sebenarnya dengan menggunakan satuan mata uang rupiah. |
(2) | Pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, seperti bon penjualan (bill) atau struk/mesin register merupakan dasar perhitungan pajak terutang wajib disimpan selama 5 (lima) tahun. |
(1) | Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk, berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel. |
(2) | Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
|
(3) | Dalam hal pemeriksa mengalami kesulitan pada saat pemeriksaan untuk menghitung jumlah pajak terutang, karena Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka pajak dapat dihitung secara jabatan. |
(4) | Apabila Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan yang berkaitan dengan pembukuan, pencatatan atau dokumen serta keterangan yang diminta oleh pemeriksa, maka untuk kepentingan pemeriksaan kewajiban tersebut ditiadakan. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak yang diperiksa memberi kuasa untuk memenuhi ketentuan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka pemberian kuasa harus dengan surat kuasa bermeterai cukup yang ditandatangani oleh Wajib Pajak. |
(1) | Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), dilakukan dalam hal:
|
(2) | Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), meliputi :
|
(1) | Pemeriksaan, meliputi :
| ||||
(2) | Pemeriksaan sederhana kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, adalah pemeriksaan yang dilakukan di kantor pemeriksa, yang meliputi jenis pajak tertentu dan untuk tahun pajak berjalan, dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan bobot yang sederhana. | ||||
(3) | Pemeriksaan sederhana lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2, adalah pemeriksaan yang dilakukan di tempat usaha Wajib Pajak, yang meliputi jenis pajak tertentu untuk tahun pajak berjalan atau tahun-tahun pajak sebelumnya, dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan bobot yang sederhana. | ||||
(4) | Pemeriksaan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah pemeriksaan yang dilakukan di tempat domisili Wajib Pajak atau di tempat lokasi usaha Wajib Pajak, yang meliputi seluruh jenis Pajak Daerah, tahun pajak berjalan dan/atau tahun-tahun pajak sebelumnya, dengan menerapkan prosedur teknis pemeriksaan dengan bobot mendalam. |
(1) | Pemeriksaan sederhana kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a angka 1, dilakukan dengan cara :
|
(2) | Atas peminjaman buku-buku dan dokumen pendukung lainnya yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan tanda bukti peminjaman yang menyebutkan secara jelas dan terinci jam, hari, tanggal, bulan, tahun dan jenisnya. |
(3) | Pemeriksa wajib mengembalikan buku-buku, catatan dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a setelah kegiatan pemeriksaan selesai dilakukan. |
(1) | Pemeriksaan sederhana lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a angka 2, dilakukan dengan cara :
|
(2) | Atas peminjaman buku-buku dan dokumen pendukung lainnya yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan tanda bukti peminjaman yang menyebutkan secara jelas dan terinci jam, hari, tanggal, bulan, tahun dan jenisnya. |
(3) | Pemeriksa wajib mengembalikan buku-buku, catatan dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a setelah kegiatan pemeriksaan selesai dilakukan. |
(1) | Pemeriksaan lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b, dilakukan dengan cara :
|
(2) | Atas peminjaman buku-buku dan dokumen pendukung lainnya yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan tanda bukti peminjaman yang menyebutkan secara jelas dan terinci jam, hari, tanggal, bulan, tahun dan jenisnya. |
(3) | Pemeriksa wajib mengembalikan buku-buku, catatan dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, setelah kegiatan pemeriksaan selesai dilakukan. |
(1) | Metode atau cara pemeriksaan meliputi :
|
(2) | Metode atau cara pemeriksaan melalui kas opname sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, paling kurang dilakukan atas :
|
(3) | Pemeriksaan melalui kas opname atau uji petik dilakukan paling kurang untuk 3 (tiga) kali kunjungan dalam sehari selama 5 (lima) hari, dengan waktu dan hari yang berbeda. |
(4) | Hasil kas opname atau uji petik digunakan sebagai data analisa nilai perolehan penerimaan/omzet hasil nilai rata-rata perolehan penerimaan/omzet per hari. . |
(5) | Metode atau cara pemeriksaan melalui pengamatan langsung di tempat lokasi usaha Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa pengamatan diam-diam (Silent Operation/SO), antara lain mencakup :
|
(6) | Pemeriksaan melalui Silent Operation (SO) dilakukan 1 (satu) kali per hari untuk paling kurang 3 (tiga) hari baik terus menerus atau dalam waktu yang berselang. |
(7) | Hasil pengamatan langsung di lokasi usaha Wajib Pajak secara diam-diam (Silent Operation/SO) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, digunakan sebagai analisa nilai perolehan penerimaan/omzet sebagai dasar hasil nilai rata-rata perolehan penerimaan/omzet per hari. |
(8) | Metode atau cara pemeriksaan melalui data pembanding yang sejenisnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, antara lain meliputi :
|
(9) | Hasil data pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (8), digunakan sebagai analisa nilai perolehan penerimaan/omzet sebagai dasar hasil nilai rata-rata perolehan penerimaan/omzet per hari. |
(10) | Pelaksanaan pemeriksaan melalui metode atau cara pemeriksaan dilakukan secara prioritas sesuai dengan urut metode atau cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1); |
(11) | Dalam hal metode atau cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, belum memberikan kecukupan data atau masih diperlukan kedalaman data, maka pemeriksaan kas opname atau uji petik dilengkapi dengan metode atau cara pemeriksaan melalui pengamatan diam-diam (Silent Operation/SO) atau data pembanding. |
(1) | Pemeriksaan dapat dilaksanakan apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya tidak ada di tempat tetapi ada pegawainya yang mempunyai kewenangan yang terbatas, untuk bertindak mewakili Wajib Pajak, maka pemeriksa dapat menunda sementara pemeriksaan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat pemberitahuan pemeriksaan diterima oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya. |
(2) | Dalam hal pemeriksaan dilanjutkan setelah dilakukan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya tetap tidak berada di tempat, maka Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya dapat dianggap menolak untuk diperiksa dan pemeriksaan tetap dilanjutkan dengan menggunakan cara atau metode sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) dengan terlebih dahulu menerbitkan Berita Acara bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya menolak untuk diperiksa. |
(1) | Pemeriksa dalam melaksanakan tugas pemeriksaan berpedoman pada norma pemeriksaan, antara lain:
|
(2) | Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain memuat :
|
(3) | Apabila jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, telah berakhir dan pemeriksaan belum selesai dilaksanakan, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan menerbitkan surat tugas perpanjangan pemeriksaan. |
(1) | Penyegelan dalam rangka pemeriksaan Pajak Hotel, diatur sebagai berikut :
|
(2) | Dalam hal pelaksanaan penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta bantuan Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan aparat Kepolisian. |
(3) | Apabila setelah dilakukan penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya atau pegawainya tidakmengajukan permohonan pembukaan segel, petugas penyegelan berwenang untuk membuka secara paksa dan petugas pemeriksaan dapat memasuki tempat atau ruangan yang disegel untuk melanjutkan tugas pemeriksaan. |
(1) | Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya atau pegawai Wajib Pajak atau seseorang, dilarang merobek atau merusak atau menghilangkan atau memindahkan atau mengubah kertas segel yang telah ditempelkan oleh petugas penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b. |
(2) | Penyobekan atau pengrusakan atau penghilangan atau pemindahan atau perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dituntut pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didahului dengan laporan tertulis seeara lengkap yang dibuat oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk dan menyampaikan laporan tersebut kepada Kepolisian setempat sesuai dengan Tempat Kejadian Perkara (TKP). |
(4) | Kelengkapan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain:
|
(1) | Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya dapat mengajukan permohonan tertulis pembukaan segel, kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk. |
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilengkapi pernyataan kesediaan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya untuk mengizinkan petugas pemeriksaan melaksanakan pemeriksaan. |
(3) | Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pembukaan kertas segel melalui petugas penyegelan dengan surat tugas pembukaan penyegelan. |
(4) | Pembukaan kertas segel sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan pada saat jam kerja, dengan disaksikan 2 (dua) orang saksi, salah seorang diantaranya adalah Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya, atau pegawai dari Wajib Pajak dan petugas penyegelan. |
(5) | Pembukaan kertas segel sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dibuatkan Berita Acara Pembukaan Kertas Segel yang ditandatangani oleh para saksi. |
(6) | Berita Acara Pembukaan Kertas Segel dibuat 3 (tiga) rangkap, dengan rineian sebagai berikut :
|
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran secara tertulis kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk. |
(2) | Permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan berdasarkan perhitungan pajak terutang dari Wajib Pajak. |
(3) | Permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain memuat :
|
(4) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilengkapi dokumen:
|
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), melalui pos tercatat. |
(2) | Tanda terima pengiriman melalui pos tercatat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan tanda bukti bagi Wajib Pajak dan Dinas Pelayanan Pajak. |
(1) | Pengajuan permohonan kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dan permohonan melalui pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, diatur sebagai berikut :
|
(2) | Apabila Wajib Pajak keliru menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD tetap harus menerima permohonan dan selanjutnya menyampaikan permohonan kelebihan pembayaran pajak kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD sesuai dengan kewenangannya. |
(1) | Berdasarkan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD melalui Pejabat yang ditunjuk memproses penyelesaian pengembalian kelebihan pembayaran dengan terlebih dahulu melakukan penelitian persyaratan permohonan. |
(2) | Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdapat persyaratan yang tidak lengkap, maka permohonan ditolak dan dikembalikan dengan surat penolakan. |
(3) | Surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Wajib Pajak atau melalui pos tercatat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal surat penolakan dengan disertai bukti tanda terima. |
(4) | Wajib Pajak yang permohonannya ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat mengajukan kembali permohonan kelebihan pembayaran pajak. |
(5) | Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan memenuhi persyaratan, maka atas penelitian tersebut dibuatkan laporan hasil penelitian. |
(1) | Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (5), Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD melalui Pejabat yang ditunjuk melakukan pemeriksaan untuk menguji kebenaran atas kelebihan pembayaran pajak menurut Wajib Pajak. |
(2) | Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan untuk keputusan keberatan, keputusan banding/peninjauan kembali Mahkamah Agung. |
(3) | Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat meliputi pembukuan, pencatatan dan dokumen lain yang berhubungan dengan perhitungan Wajib Pajak atau dokumen lainnya sebagai dasar pajak terutang. |
(4) | Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan di lokasi Objek Pajak dan meminta klarifikasi atau konfirmasi kepada pihak-pihak yang dianggap perlu. |
(5) | Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak Daerah (LPPD) sebagai dasar perhitungan pajak terutang. |
(6) | Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), berupa rekomendasi :
|
(7) | pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal surat tugas pemeriksaan. |
(8) | pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak Daerah (LPPD) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (6) huruf b, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD menerbitkan surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran dan SKPDLB dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan. |
(2) | Penerbitan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), langsung memperhitungkan utang Pajak Daerah yang sama atau utang Pajak Daerah lainnya untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. |
(3) | Surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal surat keputusan. |
(4) | Berdasarkan surat keputusan kelebihan pembayaran dan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan :
|
(5) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, Wajib Pajak melengkapi :
|
(6) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan kompensasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Wajib Pajak melengkapi :
|
(7) | Terhadap Wajib Pajak yang mengajukan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD menerbitkan surat keputusan kompensasi dan memproses pemindahbukuan. |
(1) | Berdasarkan pengajuan permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (5), Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD membuat surat keterangan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak untuk pelaksanaan pembayaran restitusi pajak dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja. |
(2) | Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan :
|
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebanyak 2 (dua) rangkap, dengan rincian :
|
(1) | Apabila terhadap laporan hasil pemeriksaan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (6) huruf a, masih terdapat pajak yang kurang dibayar atau pajak masih terutang, maka Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD melalui Pejabat yang ditunjuk menerbitkan surat keputusan penolakan permohonan kelebihan pembayaran. |
(2) | Surat keputusan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wajib Pajak paling lama dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja. |
(1) | Berdasarkan surat keterangan permohonan restitusi dari Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1), Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian administrasi kelengkapan persyaratan restitusi dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. |
(2) | Apabila berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdapat kekurangan persyaratan, maka permohonan dikembalikan kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD untuk dilengkapi. |
(3) | Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari melengkapi kekurangan persyaratan dan mengajukan kembali permohonan restitusi kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak. |
(4) | Kepala Dinas Pelayanan Pajak menerbitkan SPMKPD yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja. |
(5) | SPMKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), disampaikan ke BPKD, dengan dilengkapi :
|
(6) | Penelitian persyaratan dalam rangka penerbitan SPMKPD dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan dari Kepala UPPD. |
(7) | Penyampaian SPMKPD kepada BPKD dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal SPMKPD dengan disertai tanda terima. |
(8) | Penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran sampai penerbitan permohonan pelaksanaan pencairan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan dari Wajib Pajak. |
(1) | Berdasarkan SPMKPD dan kelengkapan persyaratan permohonan restitusi dari Kepala Dinas Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (5), Kepala BPKD memproses restitusi pengembalian kelebihan pembayaran pajak. |
(2) | Restitusi pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPMKPD. |
(3) | Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan sejak diterimanya SKPDLB oleh Dinas Pelayanan Pajak, Gubernur memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak berikut imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Kepala Dinas Pelayanan Pajak dalam hal ini Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN, SKPDLB atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat :
|
(2) | Kekeliruan dalam penerapan peraturan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terjadi karena kekeliruan seperti pencantuman pasal atau ayat, penerapan tarif dan penerapan sanksi administrasi dengan tidak mengubah DPP berdasarkan hasil pemeriksaan dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. |
(3) | Pembetulan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN, SKPDLB atau STPD yang dilakukan karena jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(4) | Pembetulan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD berdasarkan permohonan Wajib Pajak, diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(1) | Kepala Dinas Pelayanan Pajak dalam hal ini Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD yang tidak benar. |
(2) | Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan terhadap:
|
(3) | Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan terhadap:
|
(4) | Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak dalam SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD yang tidak benar karena jabatan, diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(5) | Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak dalam SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD yang tidak benar berdasarkan permohonan Wajib Pajak, diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(1) | Kepala Dinas Pelayanan Pajak dalam hal ini Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dapat membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan. |
(2) | Pembatalan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terjadi dalam proses pemeriksaan, apabila dilakukan tidak sesuai dengan tata cara dan/atau tahapan pemeriksaan yang ditentukan. |
(3) | Pembatalan ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan hasil pemeriksaan sebelum ketetapan pajak disampaikan kepada Wajib Pajak. |
(4) | Pembatalan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dapat berdasarkan permohonan tertulis dari Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak dalam hal ini Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak diatur dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak. |
(1) | Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk, dapat menghapuskan sanksi administrasi berupa denda, bunga dan kenaikan pajak yang terutang dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena bukan kesalahan Wajib Pajak atau rnengurangkan sanksi administrasi berupa denda, bunga dan kenaikan pajak yang terutang dalam hal Kekhilafan Wajib Pajak. |
(2) | Pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan paling tinggi 50% (lima puluh persen). |
(3) | Penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan paling tinggi 100% (seratus persen). |
(1) | Penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), dapat diberikan terhadap :
|
(2) | Pengurangan sanksi administrasi yang disebabkan keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan dalam hal:
|
(3) | Penghapusan sanksi administrasi yang disebabkan keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan dalam hal:
|
(4) | Pengurangan sanksi administrasi yang terdapat dalam SKPDKB atau SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat diberikan dalam hal:
|
(5) | Penghapusan sanksi administrasi yang terdapat dalam SKPDKB atau SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diberikan dalam hal:
|
(1) | Penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi berupa denda, bunga dan kenaikan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 pada ayat (1), diajukan secara tertulis oleh Wajib Pajak, dengan memenuhi persyaratan formal sebagai berikut:
| ||||||||
(2) | Permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dianggap sebagai permohonan, sehingga tidak dipertimbangkan. | ||||||||
(3) | Terhadap surat permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dijawab dengan surat biasa dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat permohonan. | ||||||||
(4) | Pengajuan permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi tidak menunda kewajiban pelunasan pajak dalam pelaksanaan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(5) | Permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi diajukan per surat ketetapan pajak. | ||||||||
(6) | Dalam hal permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi melalui pos tercatat maka tanda bukti penerimaan surat permohonan yang diterima oleh kantor Dinas Pelayanan Pajak atau Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD dari pos sebagai tanggal bukti penerimaan surat permohonan. |
(1) | Pengajuan permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), diatur dengan kewenangan sebagai berikut :
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak. |
(1) | Penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a, yang telah memenuhi persyaratan, diproses dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(2) | Berdasarkan penelitian dan/atau klarifikasi/penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD menerbitkan surat keterangan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran pajak. |
(3) | Surat keterangan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), antara lain memuat :
|
(1) | Penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPDKB atau SKPDKBT, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b, yang telah memenuhi persyaratan, diproses dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(2) | Apabila dalam penelitian masih diperlukan data pendukung terkait permohonan yang diajukan, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dapat meminta data atau dokumcn pendukung tersebut kepada Wajib Pajak. |
(3) | Apabila dianggap perlu, penyelesian penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi dilakukan melalui Tim Pertimbangan yang dibentuk dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak. |
(4) | Tim Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberikan bahan pertimbangan sebagai bahan keputusan persetujuan atau menolak permohonan Wajib Pajak. |
(5) | Dalam memberikan bahan pertimbangan, Tim Pertimbangan harus memperhatikan hal sebagai berikut, seperti :
|
(1) | Berdasarkan hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a dan huruf b atau hasil pertimbangan Tim, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD menerbitkan keputusan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi. |
(2) | Keputusan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa menolak atau menerima. |
(3) | Apabila keputusan berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disertai dengan alasan penolakan. |
(4) | Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan yang dinyatakan lengkap. |
(5) | Keputusan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi disampaikan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditandatanganinya keputusan. |
(1) | Gubernur karena jabatannya dapat memberikan pembebasan Pajak Hotel kepada Wajib Pajak atau terhadap Objek Pajak tertentu, berdasarkan Asas Keadilan dan Asas Timbal Balik Reciprocitas. |
(2) | Pemberian pembebasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan sebagian atau seluruhnya dari pajak yang terutang. |
(3) | Pemberian pembebasan Pajak Hotel berdasarkan Asas Timbal Balik/Reciprocitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan terhadap:
|
(1) | Pembebasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 pada ayat (1) berdasarkan surat permohonan Wajib Pajak melalui Kementerian Luar Negeri yang ditujukan kepada Gubernur. | ||||
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain memuat:
| ||||
(3) | Pembebasan pajak bagi anggota Korps Diplomatik dan Konsuler dari Perwakilan Negara Asing, baru dapat diberikan setelah memperoleh surat pembebasan dari Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Desember 2014 GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, ttd. BASUKI T. PURNAMA |