Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasarkan Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan. |
(2) | Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan. |
(3) | Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan dengan indikasi kuat adanya Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang ditemukan dari hasil pengembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan dapat langsung ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(4) | Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang berkaitan dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak baik yang belum maupun telah diterbitkan surat ketetapan pajak ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan sepanjang terdapat indikasi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. |
(1) | Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan:
|
(2) | Dalam hal:
|
(3) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis perihal Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(4) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan tentang adanya Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(2) | Pemeriksa Bukti Permulaan melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterima oleh Pemeriksa Bukti Permulaan sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Apabila pemeriksa Bukti Permulaan tidak dapat melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(4) | Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2). |
(5) | Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mempertimbangkan permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan memperhatikan:
|
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan wajib:
|
(2) | Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, wajib:
|
(3) | Pihak yang berkaitan atau pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan wajib memberikan keterangan dan/atau bukti yang diminta oleh pemeriksa Bukti Permulaan. |
(1) | Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan menjadi dasar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh tim pemeriksa Bukti Permulaan. |
(2) | Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterbitkan terhadap dugaan suatu Peristiwa Pidana. |
(3) | Untuk membantu tugas tim pemeriksa Bukti Permulaan, pejabat yang berwenang dapat menunjuk:
|
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat mengganti Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasarkan pertimbangan efektivitas, efisiensi, atau perubahan struktur organisasi. |
(2) | Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat melakukan perubahan tim pemeriksa Bukti Permulaan. |
(3) | Dalam hal dilakukan penggantian Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau perubahan tim pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan. |
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan wajib menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara terbuka. |
(2) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan terhadap orang pribadi, Pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, keluarga yang telah dewasa, atau kuasa. |
(3) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan terhadap badan, Pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada wakil, kuasa, atau pegawai dari badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(4) | Dalam hal penyampaian surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat dilaksanakan, pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan melalui:
|
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat langsung melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan menggunakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 setelah surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan. |
(2) | Dalam hal orang pribadi atau wakil badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau kuasanya menolak untuk dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Dalam hal orang pribadi atau wakil badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau kuasanya menolak untuk menandatangani berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara penolakan penandatanganan. |
(4) | Berdasarkan berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau berita acara penolakan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengusulkan kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan untuk dilakukan Penyidikan. |
(1) | Dalam rangka memperoleh Bahan Bukti, pemeriksa Bukti Permulaan dapat memasuki dan/atau memeriksa tempat, ruang, dan/atau barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Bahan Bukti. |
(2) | Dalam hal Bahan Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh, dengan segera pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan peminjaman Bahan Bukti tersebut dan membuat tanda terima peminjaman. |
(3) | Dalam hal Bahan Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum diperoleh, pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan peminjaman dengan surat peminjaman. |
(4) | Bahan Bukti yang dipinjam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diserahkan kepada pemeriksa Bukti Permulaan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal pengiriman surat peminjaman. |
(5) | Setiap Bahan Bukti yang diperoleh pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuatkan tanda terima peminjaman. |
(6) | Dalam hal orang pribadi atau wakil badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau kuasanya tidak memenuhi permintaan peminjaman dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengusulkan kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan untuk dilakukan Penyidikan. |
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan Penyegelan terhadap tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak untuk memperoleh atau mengamankan Bahan Bukti. |
(2) | Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
(3) | Pemeriksa Bukti Permulaan melakukan penyegelan dengan menggunakan tanda segel dan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang selain anggota tim pemeriksa Bukti Permulaan. |
(4) | Pemeriksa Bukti Permulaan menuangkan pelaksanaan Penyegelan dalam berita acara Penyegelan. |
(5) | Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menolak menandatangani berita acara Penyegelan, pemeriksa Bukti Permulaan membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara Penyegelan. |
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat membuka segel dalam hal:
|
(2) | Pemeriksa Bukti Permulaan membuka segel dengan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang selain anggota tim pemeriksa Bukti Permulaan dan menuangkan dalam berita acara pembukaan segel. |
(3) | Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menolak menandatangani berita acara pembukaan segel, pemeriksa Bukti Permulaan membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara pembukaan segel. |
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta bantuan pengamanan atau meminta sebagai saksi kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau instansi atau unsur pemerintah daerah setempat dalam rangka Penyegelan dan/atau pembukaan segel. |
(2) | Dalam hal tanda segel yang digunakan untuk melakukan Penyegelan rusak atau hilang, pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara mengenai kerusakan atau kehilangan tersebut dan melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sehubungan dengan tindak pidana terkait penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. |
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, yaitu orang pribadi atau wakil badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, pegawai, pelanggan, pemasok, bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, konsultan hukum, konsultan keuangan, dan pihak-pihak terkait lainnya. |
(2) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan secara langsung atau didahului dengan pemanggilan. |
(3) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan permintaan keterangan di kantor Direktorat Jenderal Pajak atau tempat lain dengan alasan yang patut dan wajar. |
(4) | Pemeriksa Bukti Permulaan menuangkan hasil permintaan keterangan dalam berita acara permintaan keterangan. |
(5) | Dalam hal keterangan dari pihak-pihak yang berkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh, pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara tidak terpenuhinya permintaan keterangan. |
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan permintaan secara tertulis kepada pihak ketiga untuk mendapatkan keterangan dan/atau bukti sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pihak lain yang mempunyai hubungan dengan tindakan, pekerjaan, kegiatan usaha, atau pekerjaan bebas orang pribadi, badan, dan/atau wakil badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, dan pemasok. |
(1) | Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dapat dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya atas tindak pidana:
| ||||
(2) | Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk:
| ||||
(3) | Termasuk Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dapat dilakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang berkaitan dan berbarengan dengan tindak pidana tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. | ||||
(4) | Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dapat menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sepanjang surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan belum disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. | ||||
(5) | Dalam melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka harus:
| ||||
(6) | Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat Objek Pajak diadministrasikan dan tembusannya kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan melakukan pengujian atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 untuk memastikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. |
(2) | Yang dimaksud sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jumlah pembayaran atas pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan menurut pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sama dengan atau lebih besar daripada jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan menurut Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mengirimkan pemberitahuan kepada orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti dengan Penyidikan. |
(4) | Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mengirimkan pemberitahuan kepada orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan, pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dan/atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tidak menghilangkan seluruh kerugian pada pendapatan negara. |
(2) | Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sepanjang pembayaran dilakukan sebelum surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
(3) | Pembayaran yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak. |
(4) | Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu sebesar dua per lima bagian dari jumlah pembayaran dalam rangka pengungkapan ketidakbenaran perbuatannya. |
(5) | Contoh cara menghitung jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan menuangkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan mencantumkan:
|
(2) | Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Dalam hal ditemukan:
|
(1) | Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan yang dituangkan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ditindaklanjuti dengan:
|
(2) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara terbuka, penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e diberitahukan secara tertulis oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan atau kuasa. |
(1) | Dalam hal ditemukan Peristiwa Pidana selain yang telah ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(2) | Dalam hal ditemukan tindak pidana selain Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan memberitahukan tindak pidana tersebut kepada pihak yang berwenang. |
(3) | Dalam hal ditemukan potensi pajak yang bukan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mengirimkan informasi mengenai potensi pajak tersebut kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(4) | Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilakukan tanpa menunggu Pemeriksaan Bukti Permulaan selesai. |
(1) | Dalam hal ditemukan Bukti Permulaan yang cukup mengenai keterlibatan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak melaporkan keterlibatan pegawai tersebut kepada Menteri Keuangan. |
(2) | Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda proses Pemeriksaan Bukti Permulaan, termasuk terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat. |
(1) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka ditindaklanjuti dengan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, Bahan Bukti yang diperoleh pemeriksa Bukti Permulaan yang diperlukan dalam proses Penyidikan dapat disita oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Bahan Bukti yang dipinjam pemeriksa Bukti Permulaan dari orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan tidak diperlukan dalam kegiatan Penyidikan, dikembalikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan membuat berita acara. |
(3) | Bahan Bukti yang dipinjam dari pemeriksa dan tidak diperlukan dalam kegiatan Penyidikan, dikembalikan kepada pemeriksa dengan membuat berita acara. |
(1) | Dalam hal diperoleh Bahan Bukti baru setelah Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan yang dapat menyebabkan simpulan yang berbeda dengan simpulan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Direktur Jenderal Pajak dapat kembali melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(2) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelumnya telah diselesaikan dengan tindak lanjut selain Penyidikan. |
(1) | Tindak pidana yang diketahui seketika merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang diketahui sedang berlangsung atau baru saja terjadi, yang memerlukan penanganan secara segera terhadap pelaku tindak pidana dan mengamankan Bahan Bukti yang ada padanya. |
(2) | Dalam rangka menangani pelaku tindak pidana dan mengamankan Bahan Bukti, Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dapat secara langsung meminta keterangan, meminjam dan/atau memeriksa Bahan Bukti. |
(3) | Dalam hal telah diperoleh Bukti Permulaan yang cukup, terhadap tindak pidana yang diketahui seketika dapat ditindaklanjuti dengan Penyidikan tanpa didahului Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(1) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, pejabat yang berwenang membuat Laporan Kejadian. |
(2) | Dalam hal diperoleh bukti permulaan yang cukup dari kegiatan:
|
(1) | Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan/atau Peraturan Bersama Direktur Jenderal Pajak dan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan. |
(1) | Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Pemeriksaan Bukti Permulaan yang dilakukan berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini kecuali terhadap ketentuan yang mengatur mengenai jangka waktu penyelesaian Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(2) | Terhadap Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan oleh pemeriksa Bukti Permulaan dalam jangka waktu:
|
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2014 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG P.S. BRODJONEGORO |