Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Yang Dipungut Oleh Pihak Lain Atas Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri Dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2025
TENTANG
PENUNJUKAN PIHAK LAIN
SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN
PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN YANG DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN ATAS PENGHASILAN YANG
DITERIMA ATAU DIPEROLEH PEDAGANG DALAM NEGERI DENGAN MEKANISME PERDAGANGAN
MELALUI SISTEM ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
a. |
bahwa untuk memfasilitasi peran serta masyarakat
dalam pembangunan melalui pembayaran pajak, memenuhi prinsip kepastian hukum,
keadilan, kemudahan dan kesederhanaan administrasi, serta meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pemungutan pajak, perlu disusun pengaturan terhadap
penunjukan pihak lain yang merupakan penyelenggara perdagangan melalui sistem
elektronik sebagai pemungut pajak penghasilan serta tata cara pemungutan,
penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh pedagang dalam negeri dengan mekanisme perdagangan melalui
sistem elektronik; |
|||||||
b. |
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 44E ayat (2) huruf f
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja Menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Penunjukan Pihak lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata
Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut
oleh Pihak lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam
Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik; |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1. |
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; |
|||||||
2. |
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856); |
|||||||
3. |
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6856); |
|||||||
4. |
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 225, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6954); |
|||||||
5. |
Peraturan Presiden Nomor 158 Tahun
2024 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2024 Nomor 354); |
|||||||
6. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124 Tahun
2024 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1063); |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN: |
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENUNJUKAN PIHAK
LAIN SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN,
PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN YANG DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN
ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH PEDAGANG DALAM NEGERI DENGAN
MEKANISME PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK. |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I KETENTUAN
UMUM Pasal 1 |
||||||||
Dalam
Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: |
||||||||
1. |
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. |
|||||||
2. |
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi
Undang-Undang. |
|||||||
3. |
Pajak Penghasilan adalah pajak penghasilan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
|||||||
4. |
Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
|||||||
5. |
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan,
meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai
hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. |
|||||||
6. |
Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan adalah
Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau
pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Pajak Penghasilan. |
|||||||
7. |
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah
perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik. |
|||||||
8. |
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan
untuk transaksi perdagangan. |
|||||||
9. |
Pedagang Dalam Negeri adalah pelaku usaha yang
bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di wilayah negara Republik
Indonesia yang melakukan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dengan sarana
yang dibuat dan dikelola sendiri secara langsung atau melalui sarana milik
pihak Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, atau sistem
elektronik lainnya yang menyediakan sarana Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik. |
|||||||
10. |
Peredaran Bruto adalah imbalan atau nilai pengganti
berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum
dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis. |
|||||||
11. |
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
adalah Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
Peredaran Bruto tertentu. |
|||||||
12. |
Pihak Lain adalah pihak yang terlibat langsung atau
memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi sebagaimana diatur dalam
Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
|||||||
13. |
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan
kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. |
|||||||
14. |
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar
bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang
terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. |
|||||||
15. |
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun
kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun kalender. |
|||||||
16. |
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah
dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui collecting agent. |
|||||||
17. |
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib
Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak,
objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
|||||||
18. |
Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan
untuk suatu Masa Pajak. |
|||||||
19. |
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
Unifikasi adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh Pemotong atau
Pemungut Pajak Penghasilan untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan, penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan, dan/atau penyetoran sendiri atas beberapa jenis Pajak
Penghasilan dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. |
|||||||
20. |
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan. |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II PENUNJUKAN
PIHAK LAIN SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN
PERPAJAKAN Bagian
Kesatu Penunjukan
Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 2 |
||||||||
(1) |
Pihak Lain ditunjuk oleh Menteri sebagai pemungut
Pajak Penghasilan untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan
mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. |
|||||||
(2) |
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yaitu Pajak Penghasilan Pasal 22. |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||||||
(1) |
Pihak Lain yang ditunjuk oleh Menteri sebagai
pemungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
merupakan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertempat
tinggal atau bertempat kedudukan di: |
|||||||
|
a. |
dalam
wilayah negara Republik Indonesia; dan |
||||||
|
b. |
luar
wilayah negara Republik Indonesia, yang memenuhi kriteria tertentu. |
||||||
(2) |
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yaitu Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang
menggunakan rekening eskro (escrow account) untuk menampung
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan: |
|||||||
|
a. |
memiliki
nilai transaksi dengan pemanfaat jasa penyediaan sarana elektronik yang
digunakan untuk transaksi di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam 12 (dua
belas) bulan; dan/atau |
||||||
|
b. |
memiliki
jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam
12 (dua belas) bulan. |
||||||
(3) |
Batasan mengenai besarnya nilai transaksi dan/atau
jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||||||
Menteri melimpahkan kewenangan dalam bentuk
delegasi kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menunjuk Pihak Lain sebagai
pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan penetapan
batasan nilai transaksi dan/atau jumlah traffic atau
pengakses melebihi jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3). |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian
Kedua Kriteria
Pedagang Dalam Negeri dan Penyampaian Informasi oleh Pedagang Dalam Negeri
kepada Pihak Lain Pasal 5 |
||||||||
(1) |
Pedagang
Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan orang
pribadi atau badan yang memenuhi kriteria: |
|||||||
|
a. |
menerima
penghasilan menggunakan rekening bank atau rekening keuangan sejenis; dan |
||||||
|
b. |
bertransaksi
dengan menggunakan alamat internet protocol di Indonesia
atau menggunakan nomor telepon dengan kode telepon Negara Indonesia. |
||||||
(2) |
Termasuk Pedagang Dalam Negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yaitu perusahaan jasa pengiriman atau ekspedisi, perusahaan
asuransi, dan pihak lainnya yang melakukan transaksi dengan pembeli barang
dan/atau jasa melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||
(1) |
Pedagang
Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus menyampaikan informasi
berupa: |
|||||||
|
a. |
Nomor
Pokok Wajib Pajak atau nomor induk kependudukan; dan |
||||||
|
b. |
alamat
korespondensi, |
||||||
|
kepada
Pihak Lain yang ditunjuk sebagai pemungut pajak. |
|||||||
(2) |
Dalam hal Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran
Bruto pada Tahun Pajak berjalan sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) selain menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pedagang Dalam Negeri juga harus menyampaikan surat pernyataan yang
menyatakan bahwa Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran Bruto pada Tahun
Pajak berjalan sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) bagi
Wajib Pajak orang pribadi. |
|||||||
(3) |
Dalam hal Pedagang Dalam Negeri memiliki surat
keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan selain
menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pedagang Dalam
Negeri juga harus menyampaikan surat keterangan bebas pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan. |
|||||||
(4) |
Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan oleh Pedagang Dalam Negeri sebelum
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diterima atau
diperoleh. |
|||||||
(5) |
Informasi
sebagaimana dimaksud pada: |
|||||||
|
a. |
ayat (2) harus disampaikan kembali setiap awal
Tahun Pajak berikutnya, dalam hal Pedagang Dalam Negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) menerima atau memperoleh penghasilan dengan Peredaran Bruto
tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
dalam 1 (satu) Tahun Pajak; dan |
||||||
|
b. |
ayat (3) harus disampaikan kembali dalam hal
Pedagang Dalam Negeri memiliki surat keterangan bebas pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan. |
||||||
(6) |
Dalam hal Pedagang Dalam Negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) telah memiliki Peredaran Bruto melebihi
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), Pedagang Dalam Negeri harus
menyampaikan informasi kepada Pihak Lain berupa surat pernyataan yang menyatakan
bahwa Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran Bruto pada Tahun Pajak
berjalan melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
|||||||
(7) |
Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
harus disampaikan paling lambat akhir bulan saat Peredaran Bruto melebihi
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
|||||||
(8) |
Tata cara penyampaian informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (6) ditentukan oleh
Pihak Lain. |
|||||||
(9) |
Pedagang Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggung jawab atas kebenaran informasi yang harus disampaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (6). |
|||||||
(10) |
Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (6) dibuat sesuai contoh format yang tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian
Ketiga Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 7 |
||||||||
(1) |
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Pedagang Dalam Negeri sehubungan dengan transaksi yang dilakukan melalui
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dipungut Pajak
Penghasilan Pasal 22. |
|||||||
(2) |
Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pihak Lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). |
|||||||
(3) |
Dalam hal Pedagang Dalam Negeri menyampaikan surat
pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6), Pihak Lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib melakukan pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai awal bulan
berikutnya setelah surat pernyataan diterima oleh Pihak Lain. |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||
(1) |
Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) dari Peredaran Bruto yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam
Negeri yang tercantum dalam dokumen tagihan, tidak termasuk pajak pertambahan
nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. |
|||||||
(2) |
Saat terutang Pajak Penghasilan Pasal 22
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pada saat pembayaran diterima oleh
Pihak Lain. |
|||||||
(3) |
Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam
tahun berjalan bagi Pedagang Dalam Negeri. |
|||||||
(4) |
Dalam hal pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas penghasilan Pedagang Dalam
Negeri yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Pajak
Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari
pelunasan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Pedagang Dalam Negeri. |
|||||||
(5) |
Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi: |
|||||||
|
a. |
Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4
ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan atas persewaan tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, atau pembelian barang dan/atau jasa dari
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu; atau |
||||||
|
b. |
Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 15
Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
||||||
(6) |
Dalam hal terdapat selisih kurang antara Pajak
Penghasilan yang bersifat final yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan Pajak Penghasilan Pasal
22 yang telah dipungut oleh Pihak Lain, selisih kurang atas Pajak Penghasilan
dimaksud wajib disetor sendiri oleh Pedagang Dalam Negeri sebagai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. |
|||||||
(7) |
Dalam hal terdapat selisih lebih antara Pajak
Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut oleh Pihak Lain dan Pajak
Penghasilan yang bersifat final yang seharusnya terutang atau tidak
seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan, selisih lebih atas Pajak Penghasilan dimaksud dapat
diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. |
|||||||
(8) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku dalam hal Pedagang Dalam Negeri tidak menyampaikan informasi kepada
Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan/atau ayat (6). |
|||||||
(9) |
Dalam hal transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) menggunakan mata uang selain rupiah, besarnya pungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas transaksi
dimaksud dihitung dengan mengonversikan transaksi dimaksud ke dalam mata uang
rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri sebagai dasar
pelunasan bea masuk, pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak
penjualan atas barang mewah, bea keluar, dan Pajak Penghasilan, yang berlaku
pada saat terjadinya pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||||
(1) |
Pedagang Dalam Negeri wajib menyetorkan kekurangan
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(6) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan. |
|||||||
(2) |
Pedagang Dalam Negeri wajib melaporkan kekurangan
Pajak Penghasilan yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
|||||||
(3) |
Pedagang Dalam Negeri yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal
10 |
||||||||
(1) |
Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) tidak melakukan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Pedagang Dalam Negeri sehubungan dengan transaksi: |
|||||||
|
a. |
penjualan barang dan/atau jasa oleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri yang memiliki Peredaran Bruto sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak berjalan dan telah
menyampaikan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); |
||||||
|
b. |
penjualan jasa pengiriman atau ekspedisi oleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri sebagai mitra perusahaan aplikasi berbasis
teknologi yang memberikan jasa angkutan; |
||||||
|
c. |
penjualan barang dan/atau jasa oleh Pedagang Dalam
Negeri yang menyampaikan informasi surat keterangan bebas pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); |
||||||
|
d. |
penjualan
pulsa dan kartu perdana; |
||||||
|
e. |
penjualan emas perhiasan, emas batangan, perhiasan
yang bahan seluruhnya bukan dari emas, batu permata, dan/atau batu lainnya
yang sejenis, yang dilakukan oleh pabrikan emas perhiasan, pedagang emas
perhiasan, dan/atau pengusaha emas batangan; dan/atau |
||||||
|
f. |
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau
perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya. |
||||||
(2) |
Atas
penghasilan yang tidak dilakukan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1): |
|||||||
|
a. |
tetap
terutang Pajak Penghasilan; dan |
||||||
|
b. |
atas
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib dilakukan
pemotongan dan/atau pemungutan, penyetoran, dan pelaporan, |
||||||
|
sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
|||||||
(3) |
Atas penghasilan yang telah dipungut Pajak
Penghasilan Pasal 22 oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1), tidak dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh
Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal
11 |
||||||||
Contoh pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini. |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian
Keempat Dokumen
Pemungutan Pajak Pasal
12 |
||||||||
(1) |
Pedagang Dalam Negeri wajib membuat dokumen tagihan
atas penjualan barang dan/atau jasa dengan mekanisme Perdagangan Melalui
Sistem Elektronik. |
|||||||
(2) |
Dokumen tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa dokumen tagihan atas nama Pedagang Dalam Negeri yang dihasilkan
melalui sarana komunikasi elektronik atau sistem elektronik lainnya yang
disediakan oleh Pihak Lain. |
|||||||
(3) |
Dokumen tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dibuat dengan mencantumkan keterangan paling sedikit memuat: |
|||||||
|
a. |
nomor dan tanggal dokumen tagihan; |
||||||
|
b. |
nama Pihak Lain; |
||||||
|
c. |
nama akun Pedagang Dalam Negeri; |
||||||
|
d. |
identitas pembeli barang dan/atau jasa berupa nama
dan alamat; |
||||||
|
e. |
jenis barang dan/atau jasa, jumlah harga jual, dan
potongan harga; dan |
||||||
|
f. |
nilai Pajak Penghasilan Pasal 22 bagi Pedagang
Dalam Negeri masing-masing. |
||||||
(4) |
Dokumen tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 bagi Pedagang Dalam Negeri sehubungan dengan transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). |
|||||||
(5) |
Dokumen tagihan yang transaksinya tidak dilakukan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) tetap dipersamakan dengan bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22. |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal
13 |
||||||||
(1) |
Dalam hal terdapat keadaan yang menyebabkan
terjadinya pembetulan atau pembatalan dokumen tagihan, Pedagang Dalam Negeri
wajib membuat dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan yang merujuk
pada dokumen tagihan yang dibetulkan atau dibatalkan. |
|||||||
(2) |
Dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihasilkan melalui sarana komunikasi
elektronik atau sistem elektronik lainnya yang disediakan oleh Pihak Lain dan
digunakan untuk transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. |
|||||||
(3) |
Keterangan nomor dokumen pembetulan atau dokumen
pembatalan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan
menggunakan nomor yang dihasilkan melalui sarana komunikasi elektronik atau
sistem elektronik lainnya yang disediakan oleh Pihak Lain. |
|||||||
(4) |
Dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dokumen yang dipersamakan dengan
bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. |
|||||||
(5) |
Pajak Penghasilan Pasal 22 yang tercantum dalam
dokumen pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4): |
|||||||
|
a. |
dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Pedagang Dalam Negeri; atau |
||||||
|
b. |
dapat menjadi bagian dari pelunasan Pajak
Penghasilan yang bersifat final, bagi Pedagang Dalam Negeri yang dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final. |
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian
Kelima Tata
Cara Penyetoran Pajak Penghasilan dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
bagi Pihak Lain Pasal
14 |
||||||||
Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) wajib menyetor Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dalam setiap Masa Pajak ke kas negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal
15 |
||||||||
(1) |
Pihak
Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menyampaikan: |
|||||||
|
a. |
informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan/atau
ayat (6); |
||||||
|
b. |
informasi
lain berupa: |
||||||
|
|
|
1. |
nama,
nama akun, dan/atau pilihan negara Pedagang Dalam Negeri; |
||||
|
|
|
2. |
Nomor
Pokok Wajib Pajak atau tax identification number dan/atau
alamat korespondensi Pihak Lain; dan |
||||
|
|
|
3. |
alamat
surat elektronik atau nomor telepon pembeli barang dan/atau jasa; |
||||
|
c. |
informasi
yang tercantum dalam dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) dan/atau
dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan yang dipersamakan dengan
bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (4); dan |
||||||
|
d. |
Pajak
Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) dan disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, |
||||||
|
kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
|||||||
(2) |
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan satu kesatuan lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
Unifikasi. |
|||||||
(3) |
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III SANKSI Pasal
16 |
||||||||
Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal
14, dan Pasal 15 dikenai sanksi: |
||||||||
a. |
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan; dan |
|||||||
b. |
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai penyelenggara sistem elektronik lingkup privat. |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV KETENTUAN
PERALIHAN Pasal
17 |
||||||||
Ketentuan
mengenai penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) untuk Tahun Pajak 2025 paling lama disampaikan 1
(satu) bulan terhitung sejak penunjukan Pihak Lain sebagai pemungut pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V KETENTUAN
PENUTUP Pasal
18 |
||||||||
Peraturan
Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. |
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan
di Jakarta pada
tanggal 11 Juni 2025 MENTERI
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI
MULYANI INDRAWATI Diundangkan
di Jakarta pada
tanggal 14 Juli 2025 DIREKTUR
JENDERAL PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN
HUKUM REPUBLIK INDONESIA, ttd. DHAHANA
PUTRA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2025 NOMOR 489 |