DIM RUU KUP : DPR Ingin Hilangkan Aturan Keterbukaan Informasi
Ada upaya dari parlemen untuk menghilangkan aturan terkait keterbukaan informasi yang diatur dalam rancangan revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Usulan penghilangan pasal tentang keterbukaan informasi tersebut dinilai sebagai kemunduran bagi reformasi perpajakan.
Pembatasan tentang ketentuan yang mengatur keterbukaan informasi itu disebutkan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUP yang diperoleh Bisnis. DIM milik salah satu fraksi itu menyoroti sejumlah pasal krusial mengenai keterbukaan informasi yang menunjang kinerja otoritas pajak.
Pasal 31 ayat 4 yang mengatur soal keterbukaan informasi dari sejumlah instansi pemerintah maupun swasta misalnya, draf RUU KUP versi pemerintah mengatur setiap instansi publik maupun privat baik yang berbentuk asosiasi atau lembaga wajib memberikan informasi ke otoritas pajak. Pasal itu juga menganulir poin mengenai kerahasiaan bagi setiap informasi yang diatur dalam undang-undang.
Namun, usulan DIM ini justru menginginkan supaya ketentuan seperti yang tercantum dalam rancangan revisi UU KUP dihapus alias ditiadakan. Usulan untuk menganulir pasal keterbukaan informasi ini secara tidak langsung juga bertentangan dengan langkah pemerintah yang tengah mendorong keterbukaan informasi di bidang perpajakan, salah satunya di sektor keuangan.
Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, mengatakan bahwa pemerintah sejauh ini masih menunggu pembahasan dengan DPR terkait berbagai isu yang masuk di dalam RUU KUP. "Kalau itu adalah DIM dari DPR, tentunya nanti kami tanggapi dalam sidang atau pembahasan resmi dengan DPR," kata Yoga kepada Bisnis, Selasa (8/5).
Dari sisi urgensinya, akses terhadap informasi sangat mendukung kinerja otoritas pajak. Apalagi, jika menilik rasio kepatuhan WP baik badan maupun orang pribadi yang tak pernah mencapai 100%. Data tahun lalu misalnya, rasio kepatuhan WP Badan masih pada kisaran 65%, orang pribadi nonkaryawan 61%, dan WP OP karyawan 75%.
Adapun jika menilik dokumen pemerintah, setidaknya ada empat alasan mengapa UU KUP perlu dirombak. Alasan pertama, sesuai dengan bahan pemerintah, perubahan itu untuk mewujudkan pemungutan pajak yang berkeadilan dan berkepastian hukum sehingga peran serta masyarakat sebagai pembayar pajak terdistribusikan tanpa ada pembeda.
Kedua, mewujudkan administrasi perpajakan yang mudah efisien, dan cepat. Ketiga, menyesuaikan administrasi perpajakan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dan keempat, menurunkan biaya kepatuhan pajak (cost of compliance) dan biaya pemungutan pajak (cost of tax collection).
Selain perubahan secara substansial, perubahan itu juga mengubah sistematika dan tata urutannya. Komposisi perubahan substansinya bahkan lebih dari 50%. Dari jumlah bagian misalnya, UU KUP 1983 hanya terdiri 11 bagian, pada 2007 terdiri 11 bagian, sedangkan RUU KUP yang dibahas saat ini berlipat menjadi 23 bagian. Jumlah pasal pun demikian dari 50 pada 1983, pada 2007 menjadi 70 pasal, RUU KUP berlipat sebanyak 129 pasal.
Perombakan besar dilakukan karena sistematika penyajian dalam UU KUP existing belum sesuai alur proses bisnis administrasi perpajakan. Selain itu, karena telah berubah sebanyak empat kali, beberapa substansi dalam UU KUP saat ini tak sesuai dengan pengelompokan bagian.
Bisnis Indonesia