Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan
(1) | Objek pajak PBB Perkebunan adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan. |
(2) | Kegiatan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(4) | Wilayah di luar hak guna usaha atau yang sedang dalam proses mendapatkan hak guna usaha yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, merupakan wilayah yang secara fisik tidak terpisahkan dengan areal yang dikenakan PBB Perkebunan. |
(5) | Wilayah yang sedang dalam proses mendapatkan hak guna usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
(1) | Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), meliputi:
| ||||||||||||||||||||
(2) | Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. |
(1) | Subjek pajak PBB Perkebunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/ atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, atas objek pajak PBB Perkebunan. |
(2) | Subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar PBB Perkebunan menjadi Wajib Pajak PBB Perkebunan. |
(1) | Subjek pajak atau Wajib Pajak melakukan pendaftaran objek pajak atau pemutakhiran data objek pajak PBB Perkebunan dengan cara mengisi SPOP dan LSPOP, dengan jelas, benar, dan lengkap, serta dilampiri dokumen pendukung. |
(2) | SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh subjek pajak atau Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan subjek pajak atau Wajib Pajak, harus dilampiri dengan surat kuasa khusus. |
(3) | LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPOP. |
(4) | Bentuk formulir untuk:
|
(1) | Subjek pajak atau Wajib Pajak harus menyampaikan SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP oleh subjek pajak atau Wajib Pajak. |
(2) | Tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(3) | Dalam hal tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah tanggal sebelum 1 Januari tahun pajak, maka tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP adalah tanggal 1 Januari tahun pajak. |
(4) | Tanggal disampaikannya SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(1) | Dasar Pengenaan PBB Perkebunan adalah NJOP. |
(2) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil penjumlahan antara NJOP bumi dan NJOP bangunan. |
(3) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil perkalian antara total luas areal objek pajak yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi. |
(4) | NJOP bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi NJOP bumi. |
(5) | NJOP bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi. |
(6) | NJOP bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi NJOP bangunan. |
(1) | Nilai bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas areal objek pajak yang dikenakan PBB Perkebunan. |
(2) | Total nilai bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah dari perkalian luas masing-masing areal objek pajak yang dikenakan PBB Perkebunan dengan nilai bumi per meter persegi masing-masing areal objek pajak dimaksud. |
(3) | Nilai bumi per meter persegi untuk masing-masing areal objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
|
(4) | Besarnya SIT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan setiap tahun oleh Kepala Kantor Wilayah DJP. |
(1) | Nilai bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) merupakan hasil pembagian antara total nilai bangunan dengan total luas bangunan. |
(2) | Total nilai bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah nilai bangunan masing-masing bangunan. |
(3) | Nilai bangunan untuk masing-masing bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan sebesar biaya pembangunan baru setelah dikurangi penyusutan. |
(1) | Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 menetapkan besarnya pajak terutang atas PBB Perkebunan dengan menerbitkan SPPT. |
(2) | SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wajib Pajak paling lambat minggu ke-2 bulan Juni tahun pajak. |