Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus
(1) | Penyelenggaraan KEK meliputi:
|
(2) | Fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g meliputi:
|
(1) | Batas yang jelas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b berupa batas alam atau batas buatan. |
(2) | Pada batas KEK, Badan Usaha harus menetapkan pintu keluar dan pintu masuk barang untuk keperluan pengawasan barang yang masih terkandung kewajiban penerimaan negara. |
(3) | Penetapan pintu keluar dan pintu masuk barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan berkoordinasi dengan kantor pabean setempat. |
(1) | Penguasaan
lahan paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari yang direncanakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c dibuktikan dengan:
|
(2) | Perjanjian sewa jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling singkat sama dengan jangka waktu KEK yang diusulkan. |
(1) | Kegiatan usaha di KEK terdiri atas:
|
(2) | Kegiatan ekonomi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m ditetapkan oleh Dewan Nasional. |
(3) | Dalam menetapkan kegiatan ekonomi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Nasional dapat meminta pertimbangan menteri atau kepala lembaga terkait. |
(4) | Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan rencana zonasi KEK. |
(5) | Di dalam KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK. |
(6) | Di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja yang terpisah dari lokasi kegiatan usaha. |
(1) | Pembentukan KEK diusulkan kepada Dewan Nasional oleh:
|
(2) | Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
|
(3) | Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
|
(1) | Seluruh atau sebagian wilayah KPBPB Batam, KPBPB Bintan, dan KPBPB Karimun dapat ditetapkan menjadi KEK. |
(2) | Penetapan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan usulan Dewan Kawasan KPBPB Batam, KPBPB Bintan, dan KPBPB Karimun. |
(1) | Dalam hal tertentu, Pemerintah Pusat dapat menetapkan suatu wilayah sebagai KEK. |
(2) | Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Pemenuhan hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diputuskan melalui sidang Dewan Nasional. |
(1) | Pengusulan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. |
(2) | Pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Dewan Nasional KEK oleh:
|
(3) | Penyampaian pengusulan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pemenuhan persyaratan pengusulan pembentukan KEK. |
(1) | Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a mengusulkan pembentukan KEK kepada Dewan Nasional setelah memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota. |
(2) | Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen paling sedikit berupa:
|
(3) | Selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilengkapi dengan:
|
(4) | Persetujuan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, memuat:
|
(5) | Lokasi KEK yang diusulkan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berada:
|
(6) | Dalam hal lokasi KEK yang diusulkan berada pada lintas wilayah kabupaten/kota, persetujuan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus diperoleh dari masing-masing Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang lahan di wilayahnya masuk dalam lokasi KEK. |
(7) | Dalam hal lokasi KEK yang diusulkan berada dalam lintas provinsi, persetujuan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus diperoleh dari masing-masing provinsi dan masing-masing kabupaten/kota yang lahan di wilayahnya masuk dalam lokasi KEK. |
(1) | Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf b mengusulkan pembentukan KEK kepada Dewan Nasional. |
(2) | Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen paling sedikit berupa:
|
(3) | Selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), usulan pembentukan KEK dilengkapi dengan komitmen dukungan tertulis dari Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota. |
(1) | Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf a mengusulkan pembentukan KEK kepada Dewan Nasional. |
(2) | Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen paling sedikit berupa:
|
(3) | Selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), usulan pembentukan KEK dilengkapi dengan persetujuan dan komitmen dukungan tertulis Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang lahan di wilayahnya masuk dalam lokasi KEK. |
(4) | Lokasi KEK yang diusulkan oleh Pemerintah Daerah provinsi dapat berada:
|
(5) | Dalam hal lokasi KEK yang diusulkan berada pada lintas wilayah kabupaten/kota, persetujuan dan komitmen dukungan tertulis pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diperoleh dari masing-masing Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang lahan di wilayahnya masuk dalam lokasi KEK. |
(1) | Dewan Kawasan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) mengusulkan pembentukan KEK kepada Dewan Nasional. |
(2) | Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen paling sedikit berupa:
|
(3) | Rencana transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling sedikit memuat:
|
(4) | Jangka waktu untuk masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Dewan Nasional. |
(5) | Pengusulan oleh Dewan Kawasan KPBPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas pengusulan yang disampaikan oleh:
|
(6) | Dalam hal Badan Usaha telah menguasai atau mendapatkan alokasi lahan dari Badan Pengusahaan KPBPB, pengusulan oleh Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, perlu mendapat pertimbangan dari Badan Usaha yang bersangkutan. |
(7) | Dalam
hal Badan Usaha telah menguasai atau mendapatkan alokasi lahan dari
Badan Pengusahaan KPBPB, pengusulan oleh Badan Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf b, perlu mendapat pertimbangan dari Badan
Pengusahaan KPBPB. |
(1) | Dalam
hal penetapan KEK oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1), Sekretariat Jenderal Dewan Nasional bersama
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait melakukan:
|
(2) | Rencana pengembangan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
(1) | Berdasarkan usulan dari Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, atau Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Sekretariat Jenderal Dewan Nasional melakukan evaluasi terhadap kelengkapan dokumen usulan. |
(2) | Dalam hal dokumen usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap, Sekretariat Jenderal Dewan Nasional mengembalikan dokumen usulan kepada pengusul. |
(1) | Terhadap usulan yang dokumennya telah lengkap, Dewan Nasional melakukan kajian terhadap usulan pembentukan KEK dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya usulan tertulis dan dokumen persyaratan secara lengkap. |
(2) | Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
|
(3) | Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Nasional. |
(4) | Sekretariat Jenderal Dewan Nasional dalam melaksanakan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melibatkan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Badan Usaha, akademisi, tenaga ahli, asosiasi pengusaha, dan/atau pihak terkait. |
(1) | Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Dewan Nasional memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan KEK. |
(2) | Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam sidang Dewan Nasional. |
(1) | Dalam hal keputusan Dewan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) menyetujui usulan pembentukan KEK, Dewan Nasional mengajukan rekomendasi pembentukan KEK kepada Presiden. |
(2) | Pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Bagi KEK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Dewan Nasional mengajukan rekomendasi pembentukan KEK kepada Presiden setelah melakukan proses pembahasan dalam sidang Dewan Nasional yang melibatkan Pemerintah Daerah terkait. |
(2) | Pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Dalam hal keputusan Dewan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) menolak usulan pembentukan KEK, penolakan disampaikan secara tertulis kepada pengusul disertai dengan alasan. |
(2) | Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan surat Sekretaris Jenderal Dewan Nasional. |
(1) | Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib mendukung KEK yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 26 ayat (2). |
(2) | Bentuk dukungan Pemerintah Pusat dilakukan oleh kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian paling sedikit meliputi:
|
(3) | Bentuk
dukungan Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
meliputi:
|
(1) | Badan Usaha pembangun KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 terdiri atas:
|
(2) | Selain Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), satuan kerja kementerian/lembaga yang pola pengelolaan keuangannya menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan badan layanan umum, dapat menjadi pelaksana pembangun KEK. |
(1) | Dalam hal KEK yang ditetapkan merupakan usulan Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Dewan Nasional langsung menetapkan Badan Usaha pengusul sebagai Badan Usaha pembangun KEK dan sekaligus sebagai Badan Usaha pengelola. |
(2) | Penetapan Badan Usaha pembangun KEK dan Badan Usaha pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkannya Peraturan Pemerintah mengenai penetapan KEK yang bersangkutan. |
(3) | Badan Usaha pembangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menugaskan Badan Usaha lain sebagai Badan Usaha pembangun setelah mendapat persetujuan dari Dewan Nasional. |
(4) | Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pemenuhan pendanaan yang dibutuhkan untuk pembangunan dan pengelolaan KEK. |
(1) | Dalam
hal KEK yang ditetapkan merupakan usulan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penetapan Badan
Usaha untuk membangun KEK dilakukan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten/kota secara terbuka dan transparan berdasarkan:
|
(2) | Dalam penetapan Badan Usaha untuk membangun KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Badan Usaha yang ditetapkan sebagai pembangun ditetapkan sebagai Badan Usaha pengelola oleh bupati/wali kota yang bersangkutan. |
(1) | Dalam
hal KEK yang ditetapkan merupakan usulan Pemerintah Daerah provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, penetapan Badan Usaha untuk
membangun KEK dilakukan oleh Pemerintah Daerah provinsi secara terbuka
dan transparan berdasarkan:
|
(2) | Dalam penetapan Badan Usaha untuk membangun KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Badan Usaha yang ditetapkan sebagai pembangun ditetapkan sebagai Badan Usaha pengelola oleh gubernur. |
(1) | Dalam
hal KEK yang ditetapkan merupakan usulan Dewan Kawasan KPBPB dan KEK
belum dinyatakan siap beroperasi, pembangunan KEK dilaksanakan oleh:
|
(2) | Badan Pengusahaan KPBPB atau Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekaligus ditetapkan sebagai Badan Usaha pengelola KEK oleh Dewan Kawasan KPBPB. |
(3) | Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab atas pemenuhan pendanaan yang dibutuhkan untuk pembangunan dan pengelolaan KEK. |
(4) | Dalam hal Badan Pengusahaan KPBPB yang melaksanakan pembangunan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka Badan Pengusahaan KPBPB wajib membentuk Badan Usaha pembangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. |
(1) | Dalam hal KEK ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, penetapan Badan Usaha untuk membangun KEK dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang ditunjuk oleh Dewan Nasional. |
(2) | Penetapan Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan:
|
(3) | Selain menggunakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penetapan Badan Usaha dapat dilakukan berdasarkan kerja sama strategis dengan Badan Usaha. |
(4) | Kerja sama strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dalam hal Badan Usaha tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Dewan Nasional atau kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. |
(5) | Dalam hal penetapan Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan Usaha pembangun sekaligus ditetapkan sebagai Badan Usaha pengelola oleh menteri atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan. |
(1) | Penguasaan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b dilakukan melalui proses:
|
(2) | Pengadaan tanah dan/atau sewa berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan oleh:
|
(3) | Pelaksanaan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang mendapatkan kuasa berdasarkan perjanjian dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, atau kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. |
(4) | Tanah yang telah dikuasai melalui pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan hak pengelolaan dalam hal pengadaan tanah dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah. |
(5) | Tanah yang telah dikuasai melalui pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan hak atas tanah dalam hal pengadaan tanah dilakukan oleh Badan Usaha. |
(6) | Perjanjian sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling singkat sama dengan jangka waktu beroperasinya KEK. |
(1) | Pembangunan prasarana dan sarana yang berada di dalam lokasi KEK dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusul pembentukan KEK. |
(2) | Pembangunan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan jenis dan standar prasarana dan sarana yang diatur oleh Dewan Nasional. |
(1) | Dewan Nasional melakukan penyiapan sumber daya manusia, ruang kerja, peralatan kerja, dan sistem untuk terselenggaranya pemberian perizinan dan kemudahan di KEK. |
(2) | Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aparatur sipil negara dan nonaparatur sipil negara. |
(3) | Dalam hal KEK diusulkan oleh Badan Usaha, Badan Usaha pengusul melakukan penyiapan sumber daya manusia untuk menunjang pengoperasian KEK, selain sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Penyiapan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Badan Usaha, penyelenggara pendidikan, dan/atau pihak terkait. |
(5) | Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait dapat memberikan dukungan penyiapan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui pelaksanaan program yang terkait. |
(6) | Dalam hal Dewan Nasional belum dapat menyiapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Nasional dapat meminta Badan Usaha pengelola untuk menyediakan ruang kerja dan peralatan kerja untuk terselenggaranya pemberian perizinan dan kemudahan di KEK untuk sementara waktu. |
(1) | Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, dan/atau kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian memberikan dukungan untuk pembangunan prasarana di luar KEK untuk menunjang pengembangan KEK. |
(2) | Prasarana penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa infrastruktur untuk akses ke dan dari KEK. |
(1) | KEK merupakan proyek strategis nasional. |
(2) | Pelaksanaan pembangunan KEK sebagai proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional. |
(3) | Ketentuan mengenai pelaksanaan KEK sebagai proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Dewan Nasional. |
(1) | Pengusul pembentukan KEK harus menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan pembangunan KEK kepada Dewan Nasional dengan tembusan kepada Dewan Kawasan pada bulan ke-12 (dua belas), bulan ke-24 (dua puluh empat), dan bulan ke-36 (tiga puluh enam) sejak KEK ditetapkan. |
(2) | Laporan perkembangan pelaksanaan pembangunan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tahapan yang ditetapkan oleh Dewan Nasional. |
(3) | Berdasarkan
laporan perkembangan pelaksanaan pembangunan KEK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Dewan Nasional dapat meminta masukan dari Dewan Kawasan. |
(1) | Dewan Nasional melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan KEK berdasarkan hasil laporan pengusul pembentukan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44. |
(2) | Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Dewan Kawasan dan pengusul pembentukan KEK untuk ditindaklanjuti. |
(3) | Pengusul pembentukan KEK wajib menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Dalam jangka waktu paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan sejak KEK ditetapkan, pengusul pembentukan KEK harus menyelesaikan pembangunan KEK sesuai tahapan yang ditetapkan untuk dinyatakan siap beroperasi dan melaporkan kepada Dewan Nasional dengan tembusan kepada Dewan Kawasan. |
(2) | Kesiapan beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kesiapan:
|
(3) | Dewan Nasional melakukan evaluasi terhadap penyelesaian pembangunan KEK dan kesiapan operasi KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
|
(5) | KEK yang dinyatakan siap beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a ditetapkan dengan keputusan Ketua Dewan Nasional. |
(6) | Dalam hal KEK dinyatakan belum siap beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Dewan Nasional:
|
(7) | Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Dewan Kawasan dan pengusul pembentukan KEK untuk ditindaklanjuti. |
(1) | Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (6) huruf d telah diberikan dan KEK belum siap beroperasi karena keadaan kahar atau bukan karena kelalaian pengusul pembentukan KEK, Dewan Kawasan menyampaikan pertimbangan perpanjangan waktu kepada Dewan Nasional paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhirnya jangka waktu perpanjangan. |
(2) | Perpanjangan waktu pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil konsultasi dengan instansi pemerintah dan pihak terkait lainnya sesuai kebutuhan. |
(1) | Dewan Nasional melakukan evaluasi atas pertimbangan yang disampaikan oleh Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pertimbangan diterima Dewan Nasional. |
(2) | Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kelayakan dioperasikannya KEK. |
(3) | Berdasarkan hasil evaluasi, Dewan Nasional dapat memberikan perpanjangan waktu pembangunan KEK. |
(4) | Perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. |
(1) | Dalam menyelenggarakan pengembangan KEK dibentuk Dewan Nasional. |
(2) | Dewan Nasional diketuai oleh menteri yang mengoordinasikan urusan pemerintahan di bidang perekonomian dan beranggotakan menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian. |
(3) | Ketua dan Anggota Dewan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. |
(1) | Dewan Kawasan dapat dibentuk sesuai kebutuhan di tingkat provinsi yang di wilayahnya terdapat KEK. |
(2) | Dalam hal lokasi KEK lintas provinsi, dapat dibentuk 1 (satu) Dewan Kawasan dengan melibatkan provinsi yang bersangkutan. |
(3) | Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diusulkan oleh Dewan Nasional kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden. |
(4) | Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bertanggung jawab kepada Dewan Nasional. |
(5) | Untuk membantu pelaksanaan tugas Dewan Kawasan, dibentuk Sekretariat Dewan Kawasan. |
(1) | Administrator KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d dibentuk oleh Dewan Nasional. |
(2) | Administrator KEK bertugas menyelenggarakan:
|
(3) | Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. |
(4) | Pelaksanaan Perizinan Berusaha dan perizinan lainnya oleh Administrator KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. |
(1) | Dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada Pasal 58 ayat (2) huruf c, Administrator KEK berwenang untuk mendapatkan laporan atau penjelasan dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha mengenai kegiatannya. |
(2) | Berdasarkan hasil
evaluasi selama kegiatan pengawasan dan pengendalian operasionalisasi
KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf c, Administrator
KEK berwenang memberikan:
|
(3) | Administrator KEK menyampaikan laporan pengawasan dan pengendalian operasionalisasi KEK kepada Dewan Nasional dengan tembusan kepada Dewan Kawasan, secara berkala setiap 6 (enam) bulan. |
(4) | Administrator KEK dapat menyampaikan laporan operasionalisasi KEK secara insidental dalam hal Dewan Nasional atau Dewan Kawasan membutuhkan perkembangan operasionalisasi KEK atau Administrator KEK menilai terdapat kondisi yang harus dilaporkan segera. |
(1) | Administrator KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) harus sudah dibentuk paling lambat sebelum KEK beroperasi. |
(2) | Administrator KEK dapat dijabat oleh aparatur sipil negara atau nonaparatur sipil negara yang memiliki kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dipilih secara selektif sesuai dengan kriteria dan kualifikasi yang ditentukan oleh Dewan Nasional. |
(1) | Pelaksanaan tugas Administrator KEK dilakukan sesuai dengan tata kelola pemerintahan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang Administrator KEK, kepada Administrator KEK dapat diberikan fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan penerapan praktik bisnis yang sehat. |
(3) | Fleksibilitas pengelolaan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi penganggaran dan pengelolaan perbendaharaan. |
(4) | Pengelolaan perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi pengelolaan uang, pengelolaan utang, dan pengelolaan aset. |
(5) | Pola pengelolaan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pola pengelolaan yang sesuai dengan ketentuan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. |
(6) | Penetapan Administrator KEK untuk dapat menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Badan Usaha pengelola bertugas menyelenggarakan kegiatan usaha KEK. |
(2) | Badan Usaha pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
|
(3) | Badan Usaha pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lambat sebelum KEK beroperasi. |
(1) | Untuk
KEK yang diusulkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
penetapan Badan Usaha pengelola dilakukan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Pusat sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai:
|
(2) | Dalam hal aset prasarana dan sarana KEK merupakan barang milik negara/daerah, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, atau Dewan Nasional dapat menugaskan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah sebagai Badan Usaha pengelola. |
(3) | Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penyertaan modal daerah/negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Badan Usaha pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 melaksanakan pengelolaan KEK berdasarkan perjanjian pengelolaan KEK antara Badan Usaha dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, atau Dewan Nasional/kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. |
(2) | Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
(3) | Dalam hal pengelolaan KEK dilakukan oleh badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah berdasarkan mekanisme penyertaan modal negara/daerah kepada badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah yang bersangkutan, tidak memerlukan perjanjian pengelolaan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Administrator KEK melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Nasional dengan tembusan kepada Dewan Kawasan. |
(2) | Dewan Nasional melakukan evaluasi pengelolaan KEK berdasarkan laporan Administrator KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada:
|
(1) | Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), Dewan Nasional dapat meminta masukan dari Dewan Kawasan dan Administrator KEK terkait upaya perbaikan operasionalisasi KEK. |
(2) | Berdasarkan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Nasional dapat:
|
(3) | Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dapat berupa:
|
(4) | Rekomendasi
pemutusan perjanjian pengelolaan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a disampaikan oleh Dewan Nasional kepada Dewan Kawasan, apabila
Badan Usaha pengelola:
|
(5) | Rekomendasi
perbaikan manajemen operasional KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b disampaikan oleh Dewan Nasional kepada Dewan Kawasan, apabila
Badan Usaha pengelola:
|
(6) | Rekomendasi
pencabutan penetapan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
disampaikan oleh Dewan Nasional kepada Presiden apabila dalam
pengoperasian KEK:
|
(1) | Dalam hal status Badan Usaha pengelola dicabut, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, atau Dewan Nasional/kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian melakukan proses penetapan Badan Usaha pengelola yang baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah pencabutan Badan Usaha pengelola. |
(2) | Selama belum ditetapkannya Badan Usaha pengelola yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelolaan KEK dilakukan oleh Administrator KEK. |
(1) | Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan pada kegiatan usaha di KEK, diberikan fasilitas dan kemudahan berupa:
|
(2) | Fasilitas dan kemudahan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dewan Nasional menetapkan 1 (satu) atau lebih kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) sebagai Kegiatan Utama di KEK. |
(2) | Kegiatan usaha yang tidak ditetapkan sebagai Kegiatan Utama di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi Kegiatan Lainnya. |
(1) | Fasilitas dan kemudahan perpajakan, kepabeanan, dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf a berupa:
|
(2) | Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c termasuk Bea Masuk anti dumping, Bea Masuk imbalan, Bea Masuk tindakan pengamanan, dan Bea Masuk pembalasan. |
(3) | Untuk mendapatkan fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha harus memenuhi syarat:
|
(4) | Untuk
mendapatkan fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pelaku Usaha harus memenuhi syarat sebagai berikut:
|
(5) | Administrator KEK dapat menerbitkan tanda pengenal khusus bagi Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK. |
(6) | Ketentuan mengenai fasilitas dan kemudahan perpajakan, kepabeanan, dan cukai diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(1) | Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang melakukan Penanaman Modal pada kegiatan utama dapat memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Kegiatan Utama yang dilakukan. |
(2) | Ketentuan mengenai besaran, jangka waktu, pengajuan, keputusan, pemanfaatan, larangan dan sanksi, dan kewajiban Wajib Pajak terkait pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(1) | Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di luar penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari kegiatan usaha yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, tetap dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Badan Usaha dan Pelaku Usaha yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, tetap melaksanakan kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Badan
Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang melakukan Penanaman Modal pada
Kegiatan Utama yang tidak memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 atau melakukan Penanaman Modal pada
Kegiatan Lainnya dapat memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan yang
meliputi:
|
(2) | Ketentuan mengenai pengajuan, keputusan, pemanfaatan, larangan dan sanksi, dan kewajiban Wajib Pajak terkait fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(1) | Penanaman Modal yang dilakukan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang telah memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 tidak dapat memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78. |
(2) | Penanaman Modal yang dilakukan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang telah memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 tidak dapat memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75. |
(1) | Warga negara asing yang bekerja di KEK dan telah menjadi subjek pajak dalam negeri serta memiliki keahlian tertentu dapat diberikan fasilitas dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia selama 4 (empat) tahun. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau melalui Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(1) | Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas:
|
(2) | Barang Kena Pajak Berwujud tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d berupa:
|
(3) | Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diberikan sesuai bidang usahanya berupa:
|
(4) | Barang Konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
(5) | Jenis Barang Konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dapat diberikan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor, dicantumkan dalam daftar barang yang diusulkan oleh Administrator KEK dan ditetapkan oleh Dewan Nasional. |
(6) | Barang Konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang diimpor, jumlahnya ditetapkan oleh Administrator KEK dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Dewan Nasional. |
(7) | Dalam hal KEK berasal dari sebagian atau seluruh wilayah kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, penyerahan Jasa Kena Pajak dari dan ke kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. |
(1) | Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pelaku Usaha ke TLDDP, dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Pelaku Usaha di KEK yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pelaku Usaha ke TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang pada saat impor barang atau penyerahan barang tidak dipungut pajaknya. |
(3) | Dapat dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berasal dari Pelaku Usaha maintenance, repair and overhaul (MRO) untuk kapal dan pesawat terbang di KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak yang mendapat fasilitas dan kemudahan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
(1) | Untuk kepentingan pengawasan, sebagian atau seluruh KEK dapat ditetapkan sebagai Kawasan Pabean. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan KEK sebagai Kawasan Pabean diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(1) | Fasilitas dan kemudahan kepabeanan yang diberikan bagi Badan Usaha di KEK meliputi pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor atas impor barang modal dalam rangka pembangunan atau pengembangan KEK. |
(2) | Fasilitas dan kemudahan kepabeanan yang diberikan bagi Pelaku Usaha di KEK yang bergerak di bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) yang masih dalam tahap pembangunan atau pengembangan meliputi pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor atas impor barang modal. |
(3) | Fasilitas
dan kemudahan kepabeanan dan cukai yang diberikan bagi Pelaku Usaha di
KEK yang bergerak di bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) yang telah menyelesaikan tahap pembangunan atau pengembangan
meliputi:
|
(4) | Ketentuan pemberian fasilitas dan kemudahan berupa pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian fasilitas dan kemudahan kepabeanan dan cukai diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(1) | Pemasukan
barang dari luar Daerah Pabean ke KEK oleh Pelaku Usaha di KEK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf a, menggunakan pemberitahuan
pabean impor dan diberikan fasilitas dan kemudahan berupa:
|
(2) | Pemasukan
barang ke Pelaku Usaha di KEK dari lokasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 90 huruf b sampai dengan huruf d menggunakan pemberitahuan pabean
dan diberikan fasilitas dan kemudahan berupa:
|
(3) | Pemasukan
barang ke Pelaku Usaha di KEK dari lokasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 90 huruf e, menggunakan pemberitahuan pabean, dan diberikan
fasilitas dan kemudahan berupa:
|
(4) | Ketentuan mengenai tata cara pengawasan dan pemberian fasilitas dan kemudahan atas pemasukan barang ke Pelaku Usaha di KEK diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(1) | Impor Barang Konsumsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf c ke KEK pariwisata diberikan fasilitas:
|
(2) | Barang Konsumsi asal impor hanya dapat dikeluarkan ke tempat lain dalam daerah pabean dalam hal status KEK dicabut dan tetap melunasi Bea Masuk, Pajak Dalam Rangka Impor, dan/atau cukai bagi barang kena cukai. |
(1) | Perpindahan barang antar Pelaku Usaha di KEK diberikan fasilitas dan kemudahan berupa:
|
(2) | Ketentuan mengenai tata cara pengawasan dan pemberian fasilitas dan kemudahan atas perpindahan barang antar Pelaku Usaha di dalam KEK diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(1) | Pengeluaran barang oleh Pelaku Usaha di KEK keluar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf a menggunakan pemberitahuan pabean dan berlaku ketentuan kepabeanan di bidang ekspor. |
(2) | Pengeluaran
barang oleh Pelaku Usaha di KEK yang ditujukan ke lokasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 94 huruf b sampai dengan huruf d menggunakan
pemberitahuan pabean, dan berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
(3) | Pengeluaran
barang oleh Pelaku Usaha di KEK yang ditujukan ke lokasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 94 huruf e dengan tujuan impor untuk dipakai
menggunakan pemberitahuan pabean dan:
|
(4) | Pengeluaran
barang oleh Pelaku Usaha di KEK yang bidang usahanya maintenance,
repair and overhaul (MRO) untuk kapal dan pesawat terbang yang ditujukan
ke lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf e dengan tujuan
impor untuk dipakai menggunakan pemberitahuan pabean dan dapat
diberikan:
|
(5) | Atas penyerahan Barang Kena Pajak dari KEK ke TLDDP, terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(6) | Barang hasil produksi Pelaku Usaha di KEK yang dikeluarkan dari KEK ke TLDDP dilengkapi dengan dokumen pendukung dan surat keterangan mengenai nilai kandungan lokal yang diterbitkan oleh instansi penerbit surat keterangan asal di KEK. |
(7) | Besarnya tarif Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dikenakan sebesar 0% (nol persen) sepanjang barang hasil produksi Pelaku Usaha di KEK memiliki nilai kandungan lokal paling sedikit 40% (empat puluh persen). |
(8) | Ketentuan mengenai tata cara pengawasan dan pemberian fasilitas atas pengeluaran barang dari KEK diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(1) | Pelaku
usaha di KEK Pariwisata diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai
atas pemasukan barang modal dan/atau bahan baku usaha bagi kegiatan:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas kepabeanan dan/atau cukai di KEK Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(1) | Pemerintah Daerah wajib menetapkan pengurangan, keringanan, dan pembebasan atas pajak daerah dan/atau retribusi daerah kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. |
(2) | Pengurangan, keringanan, dan pembebasan atas pajak daerah dan/atau retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa pengurangan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan pengurangan pajak bumi dan bangunan. |
(3) | Pengurangan pajak daerah dan/atau retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling rendah 50% (lima puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen). |
(4) | Ketentuan mengenai bentuk, besaran, dan tata cara pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak daerah dan/atau retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Ketentuan larangan impor dan ekspor di KEK berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang larangan dan pembatasan impor dan ekspor. |
(2) | Terhadap impor barang ke KEK belum diberlakukan ketentuan pembatasan dan tata niaga di bidang impor. |
(3) | Pengeluaran barang impor untuk dipakai dari KEK ke TLDDP berlaku ketentuan pembatasan di bidang impor. |
(4) | Bagi barang yang membahayakan Kesehatan, Keselamatan, Keamanan dan Lingkungan (K3L) dapat dikenai pembatasan apabila barang dimaksud bukan merupakan bahan baku bagi kegiatan usaha dan institusi teknis terkait secara khusus memberlakukan ketentuan pembatasan di KEK. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai belum diberlakukannya ketentuan pembatasan dan tata niaga di bidang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. |
(6) | Pelaksanaan ketentuan mengenai impor dan ekspor dilakukan melalui sistem elektronik yang dikembangkan oleh Pemerintah Pusat dan terintegrasi secara nasional. |
(1) | Barang asal impor untuk dipakai di KEK belum diberlakukan kewajiban standar nasional Indonesia. |
(2) | Barang yang dikeluarkan dari KEK ke TLDDP untuk diperdagangkan wajib memenuhi standar nasional Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan menunjuk Administrator KEK sebagai instansi penerbit surat keterangan asal. |
(2) | Pengeluaran barang untuk ekspor dapat dilengkapi dengan surat keterangan asal yang diterbitkan oleh instansi penerbit surat keterangan asal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. |
(1) | Penggunaan surat keterangan asal yang diterbitkan oleh negara asal dari luar negeri dapat diberlakukan untuk pengeluaran barang dari KEK ke TLDDP. |
(2) | Surat keterangan asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan untuk pengeluaran barang secara parsial dari KEK ke TLDDP dengan menggunakan pemotongan kuota. |
(1) | Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK selaku pemberi kerja yang akan mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. |
(2) | Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu:
|
(3) | Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
|
(1) | Gubernur dapat membentuk lembaga kerja sama tripartit khusus di KEK. |
(2) | Lembaga kerja sama tripartit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
|
(1) | Keanggotaan lembaga kerja sama tripartit khusus terdiri atas unsur:
|
(2) | Unsur Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikutsertakan Administrator KEK. |
(1) | Untuk dapat diangkat dalam keanggotaan lembaga kerja sama tripartit khusus, calon anggota harus memenuhi persyaratan:
|
(2) | Ketua lembaga kerja sama tripartit khusus dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. |
(1) | Selain
karena berakhirnya masa jabatan, keanggotaan lembaga kerja sama
tripartit khusus dapat berakhir apabila anggota yang bersangkutan:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian keanggotaan lembaga kerja sama tripartit khusus sebelum berakhirnya masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Ketua lembaga kerja sama tripartit khusus. |
(1) | Dalam hal anggota lembaga kerja sama tripartit khusus mengundurkan diri atas permintaan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) huruf b, permintaan disampaikan oleh anggota yang bersangkutan kepada gubernur dengan tembusan kepada organisasi atau instansi yang mengusulkan. |
(2) | Organisasi atau instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengusulkan penggantian anggota kepada gubernur. |
(1) | Anggota lembaga kerja sama tripartit khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 berjumlah 9 (sembilan) orang. |
(2) | Dalam menetapkan Anggota lembaga kerja sama tripartit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur memperhatikan komposisi keterwakilan unsur Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, unsur serikat pekerja/serikat buruh dan unsur asosiasi pengusaha. |
(3) | Komposisi keterwakilan unsur Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, unsur serikat pekerja/serikat buruh dan unsur asosiasi pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah masing-masing 3 (tiga) orang. |
(1) | Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2), lembaga kerja sama tripartit khusus dibantu oleh sekretariat. |
(2) | Sekretariat lembaga kerja sama tripartit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh sekretaris lembaga kerja sama tripartit khusus. |
(3) | Sekretariat lembaga kerja sama tripartit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara fungsional oleh sekretariat Dewan Kawasan. |
(1) | Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas, lembaga kerja sama tripartit khusus dapat membentuk Badan Pekerja. |
(2) | Keanggotaan Badan Pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari anggota lembaga kerja sama tripartit khusus. |
(3) | Ketentuan
lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan, tugas, dan tata kerja Badan
Pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Ketua lembaga kerja sama tripartit khusus. |
(1) | Lembaga kerja sama tripartit khusus mengadakan sidang secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. |
(2) | Dalam hal diperlukan, lembaga kerja sama tripartit khusus dapat melakukan kerja sama dan/atau mengikutsertakan pihak lain dalam sidang lembaga kerja sama tripartit khusus. |
(3) | Pelaksanaan sidang lembaga kerja sama tripartit khusus dilakukan dengan mengutamakan musyawarah mufakat. |
(4) | Tata kerja lembaga kerja sama tripartit khusus ditetapkan oleh Ketua lembaga kerja sama tripartit khusus. |
(1) | Lembaga kerja sama tripartit khusus berkoordinasi dengan lembaga kerja sama tripartit nasional untuk melakukan sinkronisasi terhadap agenda program yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas lembaga kerja sama tripartit khusus yang bersifat arahan dan konsultatif. |
(2) | Lembaga kerja sama tripartit khusus dapat melakukan koordinasi dengan lembaga lainnya untuk menciptakan iklim ketenagakerjaan yang harmonis dan kondusif. |
(3) | Segala
biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas lembaga kerja sama
tripartit khusus dibebankan kepada anggaran pendapatan belanja negara
dan anggaran pendapatan belanja daerah. |
(1) | Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. |
(2) | Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh paling kurang 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh. |
(1) | Untuk perusahaan yang mempunyai lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, dapat dibentuk 1 (satu) forum serikat pekerja/serikat buruh pada setiap perusahaan. |
(2) | Ketentuan mengenai pembentukan forum serikat pekerja/serikat buruh diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. |
(1) | Bandar udara, pelabuhan laut, pos lintas batas, atau tempat lain di KEK dapat ditetapkan sebagai Tempat Pemeriksaan Imigrasi berdasarkan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. |
(2) | Dalam hal belum ditetapkannya Tempat Pemeriksaan Imigrasi terhadap bandar udara, pelabuhan laut, pos lintas batas, atau tempat lain di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemeriksaan keimigrasian dapat dilakukan berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Imigrasi. |
(1) | Visa Tinggal Terbatas dalam rangka bekerja, penanaman modal asing, atau pendidikan di KEK diajukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Selain
kegiatan bekerja, penanaman modal asing, atau pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pejabat Imigrasi yang ditunjuk juga dapat
memberikan persetujuan Visa Tinggal Terbatas kepada Orang Asing yang
bermaksud tinggal terbatas di KEK dalam rangka:
|
(1) | Orang Asing pemegang Visa Tinggal Terbatas di KEK diberikan Izin Tinggal terbatas. |
(2) | Izin Tinggal terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. |
(3) | Setiap kali perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 5 (lima) tahun, dengan ketentuan keseluruhan Izin Tinggal di wilayah KEK tidak melebihi dari 15 (lima belas) tahun. |
(1) | Orang Asing yang bekerja di KEK dan telah memiliki Izin Tinggal terbatas dapat diberikan Izin Tinggal tetap, dengan ketentuan:
|
(2) | Wisatawan asing yang lanjut usia dan telah memiliki Izin Tinggal terbatas, dapat dialihstatuskan menjadi Izin Tinggal tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Orang Asing yang memiliki rumah tinggal atau hunian di KEK pariwisata diberikan:
|
(2) | Pemberian Izin Tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diajukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Izin Masuk Kembali untuk beberapa kali perjalanan diberikan kepada Orang Asing pemegang Izin Tinggal terbatas atau pemegang Izin Tinggal tetap. |
(2) | Masa berlaku Izin Masuk Kembali diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengadaan tanah dalam lokasi KEK mengacu kepada persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang atau penetapan lokasi yang telah ditetapkan dalam rangka penetapan KEK. |
(2) | Pengadaan tanah untuk lokasi KEK yang diusulkan oleh Badan Usaha swasta berdasarkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. |
(3) | Pengadaan tanah untuk lokasi yang diusulkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah berdasarkan penetapan lokasi. |
(4) | Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan secara langsung melalui jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati oleh para pihak. |
(5) | Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang mendapatkan kuasa berdasarkan perjanjian dari kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah. |
(6) | Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud ayat (4) dan ayat (5) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(7) | Dalam hal pengadaan tanah untuk lokasi KEK tidak dapat dilakukan terhadap bidang tanah yang telah dikuasai/dimiliki oleh badan usaha/pihak lain untuk usahanya, dapat dilakukan kerja sama atas tanah tersebut berdasarkan perjanjian antara pengusul KEK dengan badan usaha/pihak lain. |
(1) | Pengadaan tanah dalam lokasi KEK yang penetapannya berdasarkan usulan Dewan Nasional, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, atau badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah yang belum beroperasi, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. |
(2) | Pengadaan
tanah dalam lokasi KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah
dioperasikan oleh Badan Usaha pengelola, pelaksanaannya:
|
(3) | Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan kerja sama atas tanah di lokasi KEK yang telah dikuasai dan/atau dibebaskan oleh badan usaha dan/atau pihak lain. |
(4) | Kerja sama antara Dewan Nasional, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, atau badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah dengan Badan Usaha dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam perjanjian kerja sama. |
(5) | Badan Usaha dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mengikuti ketentuan pengelolaan KEK oleh Badan Usaha pengelola KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(6) | Pengadaan tanah untuk KEK yang diusulkan, dibangun, dan dioperasikan oleh Badan Usaha swasta, pelaksanaannya mengacu pada persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan dilakukan secara langsung melalui jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati oleh para pihak dan sesuai dengan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2). |
(1) | Lokasi KEK yang ditetapkan oleh Dewan Nasional, atau diusulkan oleh Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, yang tanahnya telah dibebaskan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1), diberikan hak pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pada hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan hak guna bangunan atau hak pakai kepada Pelaku Usaha. |
(3) | Lokasi KEK yang ditetapkan oleh Dewan Nasional, atau diusulkan oleh Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, yang tanahnya telah dibebaskan oleh Badan Usaha pengelola sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2) huruf b, diberikan hak guna bangunan atau hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Tanah di lokasi KEK yang telah dikuasai dan/atau dibebaskan oleh Badan Usaha dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (3), diberikan hak guna bangunan atau hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Lokasi KEK yang diusulkan, dibangun, dan dioperasikan oleh Badan Usaha swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (6) dan tanahnya telah dibebaskan, diberikan hak guna bangunan atau hak pakai. |
(1) | Hak guna bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun serta dapat diperbarui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun. |
(2) | Hak pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun serta dapat diperbarui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun. |
(3) | Perpanjangan dan pembaruan hak guna bangunan atau hak pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan pada saat Badan Usaha telah beroperasi secara komersial. |
(4) | Pelaku Usaha pada KEK diberikan hak guna bangunan atau hak pakai yang dapat diperpanjang dan diperbarui sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(5) | Jangka waktu pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak guna bangunan atau hak pakai kepada Pelaku Usaha tidak dapat melebihi jangka waktu pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak guna bangunan atau hak pakai kepada Badan Usaha. |
(6) | Dalam hal pemberian hak pakai ditujukan untuk kepemilikan hunian atau properti pada KEK pariwisata, perpanjangan dan pembaruan hak pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan pada saat hunian atau properti telah dimiliki secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. |
(7) | Ketentuan mengenai pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak guna bangunan atau hak pakai diatur dengan Peraturan Menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria. |
(1) | Dalam rangka melaksanakan pelayanan bidang agraria, tata ruang, dan pertanahan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang melimpahkan kewenangan di bidang pertanahan kepada Administrator KEK dan/atau menempatkan petugas di kantor Administrator KEK. |
(2) | Administrator KEK dan/atau petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan pelayanan yang meliputi:
|
(1) | Pada KEK pariwisata, Orang Asing/Badan Usaha asing dapat memiliki hunian/properti yang berdiri sendiri dan dibangun atas bidang tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah. |
(2) | Orang Asing/Badan Usaha asing pemilik hunian/properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan:
|
(1) | Perencanaan kawasan di dalam KEK ditetapkan dalam masterplan KEK oleh Badan Usaha. |
(2) | Pemanfaatan kawasan di dalam KEK didasarkan pada masterplan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Dalam rangka penataan ruang pasca penetapan KEK, Pemerintah Daerah menetapkan Rencana Detail Tata Ruang di sekitar KEK. |
(1) | Administrator KEK berwenang memberikan seluruh Perizinan Berusaha bagi Badan Usaha dan Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha di KEK. |
(2) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. |
(3) | Pemberian Perizinan Berusaha oleh Administrator KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan kegiatan usaha KEK yang bersangkutan. |
(1) | Dalam hal OSS tidak dapat memproses penerbitan Perizinan Berusaha dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147, Administrator KEK sesuai kewenangannya dapat memproses dan menerbitkan Perizinan Berusaha dimaksud. |
(2) | Administrator KEK wajib mengunggah data penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke OSS. |
(1) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 dan Pasal 148, dilaksanakan sebagai berikut:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai NIB, sertifikat standar, dan izin sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. |
(1) | Administrator KEK melakukan pengawasan atas pelaksanaan Perizinan Berusaha di KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Administrator KEK dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. |
(3) | Administrator KEK dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan profesi bersertifikat sesuai dengan bidang pengawasan yang dilakukan oleh Administrator KEK. |
(4) | Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memiliki sertifikat keahlian di bidang pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Penetapan KEK yang menyelenggarakan kegiatan usaha terkait dengan perindustrian atau produksi dan pengolahan, sekaligus merupakan penetapan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perindustrian. |
(2) | KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lagi memerlukan penetapan sebagai kawasan industri. |
(3) | Perizinan Berusaha untuk melakukan kegiatan dalam tahap persiapan, operasional, dan komersial diterbitkan oleh Administrator KEK dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. |
(1) | Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan di KEK wajib menyusun RKL-RPL rinci berdasarkan RKL-RPL KEK dalam rangka persetujuan lingkungan hidup. |
(2) | RKL-RPL rinci yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Badan Usaha KEK dalam bentuk pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup untuk memperoleh pengesahan. |
(3) | Pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan serta termuat dalam Perizinan Berusaha Pelaku Usaha. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai RKL-RPL Rinci dan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Dewan Nasional. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan atas RKL-RPL rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
(1) | Administrator KEK dapat memberikan Perizinan Berusaha bagi kegiatan usaha paling sedikit meliputi:
|
(2) | Pemberian perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. |
(1) | Pengusulan pembentukan KEK yang telah disampaikan kepada Dewan Nasional dan belum diputuskan dan/atau ditetapkan sebagai KEK sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, pengusulan dan penetapannya dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
(2) | KEK yang sedang dalam tahap pembangunan dan belum dinyatakan siap beroperasi sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, kelanjutan pembangunan, penetapan kesiapan beroperasi, serta pengelolaannya dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
(3) | KEK yang telah beroperasi sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pengelolaannya selanjutnya dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | Administrator KEK yang dibentuk sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan dibentuknya Administrator KEK yang baru oleh Dewan Nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
(2) | Administrator KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
I. | UMUM Upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dilaksanakan melalui penyelenggaraan pembangunan perekonomian nasional yang berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Untuk mempercepat pembangunan perekonomian nasional, dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus yang dilakukan melalui penyiapan kawasan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus juga ditujukan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai model terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi, antara lain industri, pariwisata, dan perdagangan sehingga dapat menciptakan lapangan kerja. Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut dengan KEK, telah berjalan selama kurun waktu 12 (dua belas) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Perjalanan dan perkembangan KEK dirasakan belum optimal dan belum memiliki daya dorong dalam penciptaan lapangan kerja. Selain itu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini telah mengubah, menghapus dan menambahkan pengaturan baru yang bersifat strategis dalam pengembangan KEK. Berdasarkan evaluasi terhadap pengembangan KEK dan mencermati perubahan model bisnis serta pergeseran pusat perekonomian global, diperlukan langkah-langkah antisipasi dalam penetapan kebijakan dan strategi yang tepat dalam menjaring penanaman modal melalui berbagai kebijakan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, di antaranya sebagai berikut:
|
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Yang
dimaksud dengan "area baru" adalah area yang belum ditetapkan sebagai
KEK. Dalam hal suatu kawasan industri yang telah beroperasi diusulkan
untuk menjadi KEK, maka kawasan industri dimaksud merupakan area baru
untuk ditetapkan menjadi KEK. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pengusulan
lokasi KPBPB untuk menjadi KEK sesuai dengan ketentuan Pasal 48
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja yang mengatur bahwa seluruh atau sebagian wilayah
KPBPB Batam, KPBPB Bintan, dan KPBPB Karimun dapat diusulkan menjadi KEK
sebelum atau sesudah jangka waktu yang ditetapkan berakhir. Lokasi
KPBPB yang dapat diusulkan menjadi KEK adalah lokasi KPBPB yang terpisah
dari permukiman penduduk. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "batas alam" antara lain dapat berupa sungai atau laut. Yang dimaksud dengan "batas buatan" antara lain dapat berupa pagar atau tembok atau batas lain yang terlihat secara fisik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "produksi dan pengolahan" adalah kegiatan usaha industri manufaktur dan industri pengolahan. Huruf b Yang
dimaksud dengan "logistik dan distribusi" adalah kegiatan usaha yang
meliputi antara lain kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran,
pengepakan, pendistribusian, perbaikan dan perekondisian permesinan dari
dalam negeri dan dari luar negeri. Huruf c Yang
dimaksud dengan "riset, ekonomi digital, dan pengembangan teknologi"
adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain kegiatan riset dan
teknologi, ekonomi digital, rancangan bangunan dan rekayasa, teknologi
terapan, pengembangan perangkat lunak, serta jasa di bidang teknologi
informasi. Huruf d Yang
dimaksud dengan "pariwisata" adalah kegiatan usaha yang meliputi antara
lain kegiatan usaha pariwisata untuk mendukung penyelenggaraan hiburan
dan rekreasi, pertemuan, perjalanan insentif dan pameran, serta kegiatan
yang terkait. Huruf e Yang
dimaksud dengan "pengembangan energi" adalah kegiatan usaha untuk riset
dan pengembangan di bidang energi serta produksi dari energi
alternatif, energi terbarukan, dan energi primer. Huruf f Yang
dimaksud dengan "pendidikan" adalah kegiatan usaha pendidikan formal,
pendidikan vokasi dan pendidikan profesi berstandar internasional. Huruf g Yang
dimaksud dengan "kesehatan" adalah kegiatan usaha pelayanan kesehatan
khusus dengan standar pelayanan internasional yang didukung oleh tenaga
medis dan tenaga kesehatan yang terakreditasi. Kegiatan usaha kesehatan
ini mencakup pula kegiatan usaha industri farmasi, industri peralatan
kesehatan, serta riset dan pengembangan di bidang kesehatan. Huruf h Yang dimaksud dengan "olahraga" adalah kegiatan usaha penyediaan prasarana olahraga yang bersifat komersial. Huruf i Yang
dimaksud dengan "jasa keuangan" adalah kegiatan usaha kegiatan jasa
keuangan dalam bentuk jasa perbankan dan/atau jasa nonperbankan. Huruf j Yang
dimaksud dengan "industri kreatif" adalah kegiatan usaha untuk
meningkatkan nilai tambah hasil dari eksploitasi kekayaan intelektual
berupa kreativitas, keahlian dan bakat individu menjadi suatu produk
komersial. Kegiatan usaha industri kreatif antara lain industri content
multimedia, industri teknologi komunikasi, industri kerajinan dan barang
seni, serta industri fashion. Huruf k Cukup jelas. Huruf 1 Cukup jelas. Huruf m Yang dimaksud dengan "ekonomi lain" adalah kegiatan usaha lain yang ditetapkan sesuai perkembangan dan kebutuhan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Usulan Dewan Kawasan KPBPB dapat berasal dari usulan Badan Usaha di KPBPB atau usulan Badan Pengusahaan KPBPB. Pasal 14 Ayat (1) Yang
dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah hal yang terkait dengan
kepentingan nasional yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi
nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang
dimaksud dengan "peta lokasi" adalah peta yang menunjukkan delineasi
(batas-batas kawasan), luasan kawasan serta akses menuju lokasi KEK yang
diusulkan. Huruf b Yang
dimaksud dengan "pengaturan zonasi" adalah pengaturan pemanfaatan ruang
di dalam KEK sesuai jenis kegiatannya atau masterplan KEK. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "jangka waktu" adalah masa berlakunya KEK yang diusulkan. Yang dimaksud dengan "rencana strategis" antara lain memuat penahapan pembangunan, pengoperasian, dan pengelolaan KEK. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang
dimaksud dengan "peta lokasi" adalah peta yang menunjukkan delineasi
(batas-batas kawasan), luasan kawasan, serta akses menuju lokasi KEK
yang diusulkan. Huruf b Yang
dimaksud dengan "pengaturan zonasi" adalah pengaturan pemanfaatan ruang
di dalam KEK sesuai jenis kegiatannya atau masterplan KEK. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "jangka waktu" adalah masa berlakunya KEK yang diusulkan. Yang dimaksud dengan "rencana strategis" antara lain memuat penahapan pembangunan, pengoperasian, dan pengelolaan KEK. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang
dimaksud dengan "peta lokasi" adalah peta yang menunjukkan delineasi
(batas-batas kawasan), luasan kawasan serta akses menuju lokasi KEK yang
diusulkan. Huruf b Yang
dimaksud dengan "pengaturan zonasi" adalah pengaturan pemanfaatan ruang
di dalam KEK sesuai jenis kegiatannya atau masterplan KEK. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "jangka waktu" adalah masa berlakunya KEK yang diusulkan. Yang dimaksud dengan "rencana strategis" antara lain memuat pentahapan pembangunan, pengoperasian, dan pengelolaan KEK. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang
dimaksud dengan "peta lokasi" adalah peta yang menunjukkan delineasi
(batas-batas kawasan), luasan kawasan, serta akses menuju lokasi KEK
yang diusulkan. Huruf b Yang
dimaksud dengan "pengaturan zonasi" adalah pengaturan pemanfaatan ruang
di dalam KEK sesuai jenis kegiatannya atau masterplan KEK. Huruf c Yang dimaksud dengan "jangka waktu" adalah masa berlakunya KEK yang diusulkan. Yang dimaksud dengan "rencana strategis" antara lain memuat penahapan pembangunan, pengoperasian, dan pengelolaan KEK. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang
dimaksud dengan "Badan Usaha" adalah Badan Usaha yang telah menguasai
atau mendapatkan alokasi lahan dari Badan Pengusahaan KPBPB. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kerja
sama strategis dilakukan dengan Badan Usaha yang memiliki keunggulan
pada bidang tertentu sesuai dengan KEK yang akan dikembangkan
oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Sarana
mencakup antara lain infrastruktur fisik berupa jalan, drainase,
pengolahan air bersih, pengolahan air kotor, pengolahan limbah, listrik,
telekomunikasi, dan pemadam kebakaran. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Infrastruktur untuk akses ke dan dari KEK dapat berupa infrastruktur jalan, kereta api, pelabuhan laut, dan/atau bandar udara. Pasal 42 Ayat (1) Yang
dimaksud dengan "proyek strategis nasional" adalah proyek yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Badan
Usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan
pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan pembangunan daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Yang
dimaksud dengan "keadaan kahar" adalah suatu kejadian yang terjadi di
luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu
kegiatan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, seperti bencana
alam, peperangan, pemberontakan bersenjata, dan kerusuhan sosial skala
besar. Yang dimaksud dengan "bukan karena kelalaian" antara lain suatu hambatan dalam pelaksanaan pengadaan tanah atau pelaksanaan pembangunan yang di luar kendali Badan Usaha, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota atau kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang
dimaksud dengan "manajemen operasional KEK" dalam ketentuan ini
menyangkut kapasitas sumber daya manusia, sistem pelayanan, dan kualitas
peralatan. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Ayat (1) Yang
dimaksud dengan "menetapkan 1 (satu) atau lebih kegiatan usaha" adalah
bahwa di KEK dapat ditetapkan 1 (satu) atau lebih kegiatan usaha sebagai
Kegiatan Utama. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Huruf a Fasilitas
pengurangan penghasilan neto diberikan selama 6 (enam) tahun terhitung
sejak saat mulai beroperasi komersial, yaitu setiap tahunnya sebesar 5%
(lima persen) dari jumlah Penanaman Modal berupa perolehan Aktiva Tetap
Berwujud termasuk tanah untuk kegiatan utama usaha. Fasilitas ini
sifatnya mengurangi penghasilan neto (dalam hal mendapat keuntungan
usaha) atau menambah kerugian fiskal (dalam hal mendapat kerugian
usaha). Contoh: PT ABC melakukan Penanaman Modal sebesar Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) berupa pembelian aktiva tetap berupa tanah, bangunan, dan mesin. Terhadap PT ABC dapat diberikan fasilitas pengurangan penghasilan neto (investment allowance) sebesar 5% x Rp 100.000.000.000,00 = Rp 5.000.000.000,00 setiap tahunnya, selama 6 tahun dihitung sejak saat mulai beroperasi komersial. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Misalnya,
investor dari negara X, memperoleh dividen dari Wajib Pajak badan dalam
negeri yang telah ditetapkan memperoleh fasilitas berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini. Apabila investor X tersebut bertempat kedudukan di
negara yang belum memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dengan
Pemerintah Republik Indonesia, atau bertempat kedudukan di negara yang
telah memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dengan Pemerintah
Republik Indonesia dengan tarif pajak dividen untuk Wajib Pajak Luar
Negeri 10% (sepuluh persen) atau lebih, maka atas dividen tersebut hanya
dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen).
Namun apabila investor X tersebut bertempat kedudukan di suatu negara
yang telah memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dengan
Pemerintah Republik Indonesia dengan tarif pajak dividen lebih rendah
dari 10% (sepuluh persen) maka atas dividen tersebut dikenakan Pajak
Penghasilan di Indonesia sesuai dengan tarif yang diatur dalam
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda tersebut. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang
termasuk penyerahan Jasa Kena Pajak oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku
Usaha kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha lainnya di KEK yang sama
atau KEK lainnya yaitu kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak
dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku
Usaha yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Proses
produksi mencakup produksi langsung yang menghasilkan barang jadi, atau
proses produksi tidak langsung yang menghasilkan bahan pembantu atau
barang lain yang merupakan komponen barang jadi. Bagi KEK dengan
kegiatan utamanya selain industri, barang modal termasuk peralatan,
wahana rekreasi, serta alat transportasi yang digunakan selama proses
pembangunan dan tahap operasionalisasi. Huruf b Yang
dimaksud dengan "bahan baku, bahan pembantu, dan barang lain yang
diolah, dirakit dan/atau dipasang pada barang lain untuk kegiatan
manufaktur, logistik, dan/atau penelitian dan pengembangan" adalah bahan
dan barang yang diperlukan secara menerus guna menunjang kegiatan
usahanya. Huruf c Yang
dimaksud dengan "bahan baku, bahan pembantu, dan barang lain yang
diperlukan bagi kegiatan yang menghasilkan jasa dan/atau kegiatan
pengembangan teknologi' adalah bahan dan barang yang diperlukan secara
menerus guna menunjang kegiatan usahanya. Huruf d Yang
dimaksud dengan "barang yang diperuntukan bagi kegiatan penyimpanan,
perakitan, penyortiran, pengepakan pendistribusian, perbaikan, dan
perekondisian permesinan yang digunakan bidang usaha industri manufaktur
dan logistik" adalah bahan dan barang yang diperlukan secara menerus
guna menunjang kegiatan usahanya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Ayat (1) Yang dimaksud dengan barang modal mencakup:
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Penjelasan
Perhitungan nilai kandungan lokal memakai pendekatan Regional Value
Content (RVC), yaitu persentase dari penjumlahan biaya bahan baku lokal,
biaya overhead langsung, biaya lainnya dan keuntungan dibagi dengan
nilai Free On Board (FOB). Yang dimaksud dengan biaya bahan baku lokal adalah barang yang bersumber dari dalam negeri dan barang impor yang mendapatkan tarif preferensi 0% (nol persen) berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Ayat (1) Yang
dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak
daerah dan retribusi daerah" adalah pajak daerah dan retribusi daerah
sebagaimana diatur dalam undang-undang di bidang pajak daerah dan
retribusi daerah yang terdiri atas:
Misal pada KEK pariwisata, Pemerintah Daerah provinsi dapat menetapkan peraturan daerah untuk tidak memungut antara lain pajak air permukaan dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat menetapkan peraturan daerah untuk tidak memungut antara lain pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan/atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Ayat (2) Pajak
daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang di
bidang pajak daerah dan retribusi daerah yang terdiri atas:
Misal pada KEK yang Kegiatan Utama berupa industri, pemerintah daerah provinsi dapat menetapkan peraturan daerah untuk memberikan keringanan pajak air permukaan sebesar 50% (lima puluh persen) dan pemerintah daerah kabupaten/kota dapat menetapkan peraturan daerah untuk tidak memungut antara lain pajak air tanah, pajak penerangan jalan, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan/atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebesar 50% (lima puluh persen). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Yang
dimaksud dengan "sektor tertentu" antara lain sektor pendidikan dan
pelatihan vokasi, sektor ekonomi digital, serta sektor migas bagi
kontraktor kontrak kerja sama. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemeriksaan
keimigrasian berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Imigrasi adalah
bersifat sementara dan dalam kurun/ jangka waktu tertentu dengan
mempertimbangkan aspek pelayanan, keamanan, dan pengawasan keimigrasian. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Huruf a Pariwisata
meliputi kegiatan seperti wisata, berlibur, berekreasi kunjungan
kesejarahan, perhotelan, dan termasuk jasa perhotelan. Huruf b Sosial dan budaya antara lain kegiatan kunjungan keluarga, sosial, budaya, olahraga, seni, dan kesehatan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas Pasal 134 Ayat (1) Kepemilikan rumah tinggal atau hunian bagi Orang Asing dalam ketentuan ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 135 Cukup jelas. Pasal 136 Tempat
Pemeriksaan Imigrasi merupakan Tempat Pemeriksaan Imigrasi yang berada
di KEK dan memiliki fasilitas perangkat layanan pemeriksaan keimigrasian
secara elektronik. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Badan Usaha KEK atas nama PT. X yang telah memperoleh hak guna bangunan atau hak pakai, setelah kawasannya ditetapkan telah beroperasi oleh Dewan Nasional, dapat mengajukan permohonan perpanjangan dan pembaruan hak guna bangunan atau hak pakai sekaligus ke Kantor Pertanahan kabupaten/kota melalui Administrator KEK tanpa menunggu masa berlaku hak guna bangunan atau hak pakai berakhir. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Cukup jelas. Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup jelas. Pasal 165 Cukup jelas. Pasal 166 Cukup jelas. |