Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2025

Tue, 25 February 2025

Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2025

TENTANG

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, memberikan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia bagi wajib pajak, dan di sisi lain tetap memberikan perlindungan bagi negara dalam memperoleh hak atas pendapatan negara, perlu mengatur ketentuan mengenai pelaksanaan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan pelunasan atas perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan serta mengatur kembali ketentuan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
  2. bahwa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara belum menampung ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sehingga perlu diganti;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 44E ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang dan ketentuan Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;

 
Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 225, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6994);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 226, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6834);
  5. Peraturan Presiden Nomor 158 Tahun 2024 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 354);
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124 Tahun 2024 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1063);

 

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN.
 

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
  2. Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
  3. Undang-Undang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
  4. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  5. Undang-Undang Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai.
  6. Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
  7. Undang-Undang Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
  8. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang selanjutnya disebut Tindak Pidana adalah perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-Undang Bea Meterai, Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dan Undang-Undang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
  9. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu Tindak Pidana yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
  10. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana.
  11. Penyidikan Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang Tindak Pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
  12. Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan Penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  14. Unit Pelaksana Penegakan Hukum Pidana yang selanjutnya disebut Unit Pelaksana Penegakan Hukum adalah unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang mempunyai wewenang melaksanakan tugas dan fungsi penegakan hukum terhadap Tindak Pidana yang menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak.
  15. Laporan Kejadian adalah laporan tertulis tentang adanya dugaan peristiwa pidana yang terdapat Bukti Permulaan sebagai dasar dilakukan Penyidikan.
  16. Surat Perintah Penyidikan adalah surat yang dikeluarkan oleh atasan Penyidik kepada Penyidik untuk melaksanakan Penyidikan.
  17. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan adalah surat pemberitahuan kepada Penuntut Umum, terlapor, dan/atau tersangka tentang dimulainya Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik.
  18. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka Penyidikan, penuntutan dan peradilan perkara pidana di bidang perpajakan yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri termasuk yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri.
  19. Terlapor dalam dugaan Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Terlapor adalah setiap orang baik orang pribadi maupun Badan yang dilaporkan dalam Laporan Kejadian.
  20. Tersangka adalah setiap orang baik orang pribadi maupun Badan yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah didukung barang bukti, patut diduga sebagai pelaku Tindak Pidana.
  21. Terdakwa adalah Tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.
  22. Ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus yang dapat memberikan keterangan tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan sesuai dengan keahlian yang dimiliki.
  23. Data Elektronik adalah data berbentuk elektronik yang tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi.
  24. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan Tersangka atau Terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan Penyidikan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
  25. Penahanan adalah penempatan Tersangka atau Terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
  26. Pencegahan adalah larangan bersifat sementara terhadap orang untuk keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  27. Penggeledahan Rumah adalah tindakan Penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan/atau tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan barang bukti dan/atau Penangkapan dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
  28. Penggeledahan Badan adalah tindakan Penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan/atau pakaian Tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
  29. Pemeriksaan dalam Penyidikan yang selanjutnya disebut Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan keidentikan Saksi, Ahli, Tersangka, dan/atau barang bukti, maupun tentang dugaan unsur-unsur Tindak Pidana, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam Tindak Pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.
  30. Pemanggilan adalah tindakan untuk menghadirkan Saksi, Ahli, atau Tersangka guna didengar keterangannya sehubungan dengan Tindak Pidana yang terjadi berdasarkan Laporan Kejadian.
  31. Pemblokiran adalah tindakan pengamanan barang yang dikelola oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain, yang meliputi rekening bagi bank, subrekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi lembaga jasa keuangan lainnya dan/atau entitas lain, dengan tujuan agar terhadap barang dimaksud tidak terdapat perubahan apa pun, selain penambahan jumlah atau nilai.
  32. Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dan/atau jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara dalam Penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
  33. Pemberkasan adalah kegiatan untuk memberkaskan isi berkas perkara dengan syarat-syarat yang ditentukan mengenai susunan, penghimpunan, pengikatan, penyegelan, dan penomoran.
  34. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.
  35. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
  36. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang yang mengatur mengenai kejaksaan untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.
  37. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

 
BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

 

(1)

Penyidikan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik.

(2)

Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan dasar Surat Perintah Penyidikan.

(3)

Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan Laporan Kejadian.

(4)

Laporan Kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berasal dari kegiatan:

  1. Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana diatur dalam Pasal 43A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. penanganan Tindak Pidana yang diketahui seketika; atau
  3. pengembangan Penyidikan.

(5)

Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan kegiatan yang terdiri atas:

  1. Pemanggilan;
  2. Pemeriksaan;
  3. Penangkapan;
  4. Penahanan;
  5. penggeledahan;
  6. Pemblokiran dan/atau Penyitaan;
  7. penanganan Data Elektronik;
  8. Pencegahan;
  9. penetapan Tersangka;
  10. Pemberkasan;
  11. penyerahan berkas perkara;
  12. penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti; dan/atau
  13. penghentian Penyidikan.

(6)

Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan.

  
 

Pasal 3


Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mempunyai wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

BAB III
DASAR PENYIDIKAN

Pasal 4

 

(1)

Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) minimal memuat:

  1. dasar Penyidikan;
  2. identitas Terlapor atau Tersangka;
  3. identitas tim Penyidik;
  4. perkara yang dilakukan Penyidikan;
  5. waktu terjadinya Tindak Pidana (tempus delictie);
  6. tempat terjadinya Tindak Pidana (locus delictie); dan
  7. identitas Penyidik selaku pejabat pemberi perintah.

(2)

Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan.

(3)

Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh:

  1. Kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum selaku Penyidik; atau
  2. Penyidik yang ditunjuk oleh Kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum dalam hal Kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum bukan Penyidik.

(4)

Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan disampaikan kepada:

  1. Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
  2. Terlapor atau Tersangka.

(5)

Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang disampaikan kepada Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a minimal memuat:

  1. dasar Penyidikan berupa Laporan Kejadian dan Surat Perintah Penyidikan;
  2. jenis perkara, pasal yang dipersangkakan, dan uraian singkat Tindak Pidana yang dilakukan Penyidikan;
  3. identitas Terlapor atau Tersangka; dan
  4. identitas pejabat yang menandatangani Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan.

(6)

Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang disampaikan kepada Terlapor atau Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b minimal memuat:

  1. jenis perkara, pasal yang dipersangkakan, dan uraian singkat Tindak Pidana yang dilakukan Penyidikan;
  2. identitas Terlapor atau Tersangka; dan
  3. identitas pejabat yang menandatangani Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan.

(7)

Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.

 
 

BAB IV
KEGIATAN PENYIDIKAN

Bagian Kesatu
Pemanggilan

Pasal 5

 

(1)

Pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf a dilakukan terhadap:

  1. Saksi;
  2. Ahli; dan/atau
  3. Tersangka.

(2)

Pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan surat panggilan.

(3)

Saksi atau Tersangka yang dipanggil wajib memenuhi Pemanggilan Penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(4)

Surat panggilan harus diterima oleh Saksi atau Tersangka yang dipanggil paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal Pemeriksaan yang ditentukan dalam surat panggilan.

(5)

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam hal Saksi atau Tersangka bersedia, surat panggilan dapat disampaikan kepada Saksi atau Tersangka sesaat sebelum dilakukan Pemeriksaan.

(6)

Dalam hal:

  1. Saksi atau Tersangka merupakan pejabat negara, pejabat pemerintahan, atau pegawai negeri, tata cara Pemanggilan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
  2. Saksi atau Tersangka yang dipanggil berada di luar negeri, Pemanggilan dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana; dan/atau
  3. Terlapor atau Tersangka merupakan Wajib Pajak Badan, Pemanggilan dilakukan terhadap pengurus Wajib Pajak Badan tersebut.

(7)

Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


  

Pasal 6

 

(1)

Penyidik menyampaikan surat panggilan kedua dalam hal surat panggilan pertama telah disampaikan tetapi Saksi atau Tersangka yang dipanggil tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar.

(2)

Penyampaian surat panggilan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan permintaan bantuan kepada penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk membawa Saksi atau Tersangka.


 

Bagian Kedua
Pemeriksaan

Pasal 7

 

(1)

Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf b dilakukan terhadap:

  1. Saksi;
  2. Ahli; dan/atau
  3. Tersangka.

(2)

Dalam Pemeriksaan, Tersangka memiliki hak:

  1. diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu Pemeriksaan dimulai;
  2. memberikan keterangan secara bebas kepada Penyidik;
  3. mendapat bantuan juru bahasa;
  4. mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu Pemeriksaan;
  5. mengajukan Saksi dan/atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya;
  6. mengajukan permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  7. meminta turunan dari berita acara Pemeriksaan kepada Penyidik; dan
  8. atas hak-hak lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(3)

Dalam hal Tersangka:

a.

tidak mampu;

b.

diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan

c.

tidak mempunyai penasihat hukum sendiri,

Penyidik wajib menunjuk penasihat hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(4)

Pemeriksaan Saksi atau Ahli dapat dilaksanakan secara:

  1. tatap muka; dan/atau
  2. elektronik.

(5)

Hasil Pemeriksaan dituangkan dalam berita acara Pemeriksaan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum acara pidana.

(6)

Dalam hal Pemeriksaan perlu dilaksanakan di luar negeri maka Penyidik melakukan Pemeriksaan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana.


  

Bagian Ketiga
Penangkapan dan/atau Penahanan

Pasal 8

 

(1)

Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf c dilakukan terhadap Tersangka berdasarkan permintaan bantuan kepada penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh Penyidik.

(2)

Setelah dilakukan Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik melakukan Pemeriksaan untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan Penahanan.

(3)

Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf d dapat dilakukan terhadap Tersangka sepanjang telah diperiksa sebagai Tersangka dan dengan pertimbangan bahwa Tersangka akan:

  1. melarikan diri;
  2. merusak atau menghilangkan barang bukti; dan/atau
  3. mengulangi Tindak Pidana.

(4)

Penahanan hanya dapat dikenakan atas Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

(5)

Penahanan dilakukan dengan meminta bantuan kepada penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan Penahanan dengan menyampaikan permintaan bantuan Penahanan.

(6)

Dalam hal diperlukan, Penyidik dapat mengajukan permintaan perpanjangan masa Penahanan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.



Bagian Keempat
Penggeledahan

Pasal 9

 

(1)

Penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf e meliputi:

  1. Penggeledahan Rumah;
  2. Penggeledahan Badan; dan
  3. penggeledahan benda lainnya yang berhubungan dengan Tindak Pidana.

(2)

Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik dan dilengkapi dengan:

  1. surat perintah penggeledahan; dan
  2. surat izin penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.

(3)

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, Penyidik dapat melakukan penggeledahan terlebih dahulu dan segera menyampaikan surat permintaan penetapan persetujuan penggeledahan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat setelah dilakukan penggeledahan.

(4)

Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
 

Bagian Kelima
Pemblokiran dan/atau Penyitaan

Pasal 10

 

(1)

Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf f dapat dilakukan oleh Penyidik untuk kepentingan pembuktian atau jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara.

(2)

Pemblokiran dilakukan oleh Penyidik dengan menyampaikan permintaan Pemblokiran Harta Kekayaan kepada Badan Pertanahan Nasional, bank, Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi lain yang mengelola administrasi data Harta Kekayaan.

(3)

Dalam hal sudah tidak diperlukan Pemblokiran, Penyidik dapat meminta pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk melakukan pembukaan blokir atas Harta Kekayaan dengan menyampaikan permintaan pembukaan blokir.


 

Pasal 11

 

(1)

Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf f dilakukan terhadap:

  1. barang bukti Tindak Pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan/atau
  2. Harta Kekayaan Tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

(2)

Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik dan dilengkapi dengan:

  1. surat perintah Penyitaan; dan
  2. surat izin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.

(3)

Dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b Penyidik dapat melakukan Penyitaan dan segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh penetapan persetujuan Penyitaan.

(4)

Surat perintah Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 
   

Pasal 12

 

(1)

Untuk kepentingan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan/atau Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Penyidik dapat melakukan penelusuran Harta Kekayaan.

(2)

Penelusuran Harta Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengidentifikasi asal usul, keberadaan, dan kepemilikan Harta Kekayaan.


 

Bagian Keenam
Penanganan Data Elektronik

Pasal 13

 

(1)

Penanganan Data Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf g dapat dilakukan oleh:

a.

Penyidik; atau

b.

Penyidik bersama-sama dengan tenaga ahli,

untuk memperoleh atau mengamankan barang bukti dalam Penyidikan.

(2)

Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

a.

pegawai Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau

b.

pihak dari luar Direktorat Jenderal Pajak,

yang memiliki keahlian dan/atau kompetensi di bidang forensik digital.


 

Bagian Ketujuh
Pencegahan

Pasal 14

 

(1)

Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf h dilakukan untuk kepentingan Penyidikan berdasarkan keputusan Pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri.

(2)

Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan terhadap:

  1. Tersangka; dan/atau
  2. Saksi.

(3)

Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan secara selektif dan terukur berdasarkan penelitian dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2):

  1. diindikasikan akan meninggalkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
  2. diragukan iktikad baiknya dalam proses Penyidikan.

(4)

Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

  1. identitas pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dikenai Pencegahan meliputi:
    1. nama lengkap;
    2. jenis kelamin;
    3. tempat dan tanggal lahir atau umur; dan
    4. foto;
  2. alasan Pencegahan; dan
  3. jangka waktu Pencegahan.

(5)

Dalam hal orang yang dikenai Pencegahan memiliki kelengkapan identitas lainnya berupa nomor paspor, nomor induk kependudukan, alamat, kewarganegaraan, dan pekerjaan, kelengkapan identitas tersebut juga harus dicantumkan sebagai bagian identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a.

(6)

Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

(7)

Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:

  1. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang imigrasi dan pemasyarakatan paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal penerbitan keputusan dengan permintaan untuk dilaksanakan; dan
  2. pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), keluarga pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atau perwakilan negara pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penerbitan keputusan.


 

Pasal 15

 

(1)

Untuk kepentingan Penyidikan, Menteri dapat menerbitkan keputusan perpanjangan masa Pencegahan sebelum jangka waktu Pencegahan berakhir.

(2)

Keputusan perpanjangan masa Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:

  1. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang imigrasi dan pemasyarakatan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (6) berakhir; dan
  2. pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), keluarga pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), atau perwakilan negara pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) di Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penerbitan keputusan.

(3)

Keputusan perpanjangan masa Pencegahan minimal memuat:

  1. identitas pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) yang dikenai perpanjangan masa Pencegahan meliputi:
    1. nama lengkap;
    2. jenis kelamin;
    3. tempat dan tanggal lahir atau umur; dan
    4. foto;
  2. alasan perpanjangan masa Pencegahan; dan
  3. jangka waktu perpanjangan masa Pencegahan.

(4)

Dalam hal orang yang dikenai perpanjangan masa Pencegahan memiliki kelengkapan identitas lainnya berupa nomor paspor, nomor induk kependudukan, alamat, kewarganegaraan, dan pekerjaan, kelengkapan identitas tersebut juga harus dicantumkan sebagai bagian identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a.

(5)

Pencegahan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan masa berlaku paling lama 6 (enam) bulan.



Pasal 16

 

(1)

Dalam keadaan mendesak, Menteri dapat menerbitkan surat permintaan Pencegahan.

(2)

Surat permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:

  1. pejabat imigrasi pada direktorat yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang Pencegahan; atau
  2. pejabat imigrasi pada tempat pemeriksaan imigrasi atau unit pelaksana teknis yang membawahi tempat pemeriksaan imigrasi, untuk melakukan Pencegahan.

(3)

Surat permintaan Pencegahan diterbitkan sebelum keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) diterbitkan.

(4)

Menteri harus menyampaikan keputusan Pencegahan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang imigrasi dan pemasyarakatan paling lama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak surat permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan.

(5)

Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) keputusan Pencegahan tidak disampaikan, Pencegahan dalam keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan berakhir dan tidak dapat diajukan kembali.

(6)

Surat permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

  1. identitas pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) yang dikenai Pencegahan dalam keadaan mendesak meliputi:

1.

nama lengkap;

2.

jenis kelamin;

3.

tempat dan tanggal lahir atau umur; dan

4.

foto;

dan

  1. alasan Pencegahan dalam keadaan mendesak.


 

Pasal 17

 

(1)

Pencegahan berakhir karena:

  1. jangka waktu Pencegahan yang ditetapkan telah habis;
  2. dicabut berdasarkan keputusan tertulis oleh Menteri atau pejabat yang berwenang menetapkan Pencegahan;
  3. dicabut oleh pejabat yang menetapkan Pencegahan berdasarkan putusan pengadilan tata usaha negara yang berkekuatan hukum tetap; atau
  4. berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bebas atas perkara yang menjadi alasan Pencegahan.

(2)

Menteri dapat melakukan pencabutan Pencegahan dengan menerbitkan keputusan pencabutan Pencegahan dengan pertimbangan:

  1. Tersangka mengajukan permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. Tersangka menyerahkan Harta Kekayaan untuk dilakukan Penyitaan oleh Penyidik dengan nilai paling sedikit sama dengan kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  3. Saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b tidak ditetapkan sebagai Tersangka; dan/atau
  4. untuk kepentingan umum atau pertimbangan kemanusiaan.

(3)

Keputusan pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:

  1. identitas pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) yang dikenai Pencegahan meliputi:

1.

nama lengkap;

2.

jenis kelamin;

3.

tempat dan tanggal lahir atau umur; dan

4.

foto;

dan

  1. alasan pencabutan Pencegahan.

(4)

Keputusan pencabutan Pencegahan disampaikan kepada:

  1. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang imigrasi dan pemasyarakatan, paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal penerbitan keputusan pencabutan Pencegahan; dan
  2. pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), keluarga pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), atau perwakilan negara pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) di Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penerbitan keputusan pencabutan Pencegahan.


  

Pasal 18

 

(1)

Menteri dapat melimpahkan kewenangan penerbitan:

a.

keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1);

b.

keputusan perpanjangan masa Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1); dan

c.

keputusan pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),

dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak.

(2)

Menteri dapat melimpahkan kewenangan penerbitan surat permintaan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk.

(3)

Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum.


 

Bagian Kedelapan
Penetapan Tersangka

Pasal 19

 

(1)

Penetapan Tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf i dilakukan dengan ketentuan:

  1. didasarkan pada paling sedikit 2 (dua) alat bukti; dan
  2. telah dilakukan Pemeriksaan sebagai Saksi.

(2)

Penetapan Tersangka harus disampaikan melalui pemberitahuan penetapan Tersangka paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan Tersangka kepada:

  1. Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan melampirkan:
    1. Laporan Kejadian;
    2. Surat Perintah Penyidikan;
    3. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan; dan
    4. berita acara penetapan Tersangka; dan
  2. Tersangka.


 

Bagian Kesembilan
Pemberkasan, Penyerahan Berkas Perkara, dan Penyerahan Tanggung Jawab atas Tersangka dan Barang Bukti

Pasal 20

 

(1)

Pemberkasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf j dilakukan oleh Penyidik dengan menyusun berita acara pendapat (resume) yang merupakan ikhtisar dan kesimpulan hasil Penyidikan.

(2)

Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf k kepada Penuntut Umum dilakukan setelah Pemberkasan dalam proses Penyidikan selesai.

(3)

Dalam hal berkas perkara dikembalikan oleh Penuntut Umum kepada Penyidik, berkas perkara disampaikan kembali oleh Penyidik kepada Penuntut Umum setelah memenuhi petunjuk tertulis terhadap kekurangan isi atau materi berkas perkara.

(4)

Dalam hal berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum, Penyidik menyampaikan pemberitahuan perkembangan penanganan perkara kepada Tersangka yang disangkakan Tindak Pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 38, Pasal 39, dan/atau Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterimanya pemberitahuan berkas perkara dinyatakan lengkap.

(5)

Pemberitahuan perkembangan penanganan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) minimal memuat:

  1. dugaan Tindak Pidana;
  2. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan/atau jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditambah dengan sanksi administratif berupa denda; dan
  3. hak Tersangka untuk memanfaatkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

(6)

Penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf l dilakukan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum dalam hal berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum.

(7)

Untuk kepentingan penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Penyidik melakukan pemanggilan kepada Tersangka untuk hadir kepada Penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(8)

Dalam hal Tersangka:

a.

belum atau tidak dilakukan Penahanan;

b.

dikhawatirkan akan melarikan diri; dan

c.

tidak kooperatif,

untuk kepentingan penyerahan kepada Penuntut Umum, dapat dilakukan permintaan bantuan Penangkapan dan Penahanan terhadap Tersangka kepada pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 
  

Bagian Kesepuluh
Penghentian Penyidikan

Pasal 21

 

(1)

Penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf m dilakukan oleh Penyidik dalam hal:

  1. Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. tidak terdapat cukup bukti;
  3. peristiwa tersebut bukan merupakan Tindak Pidana; atau
  4. demi hukum.

(2)

Penghentian Penyidikan diberitahukan kepada:

  1. Penuntut Umum;
  2. penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
  3. Tersangka, keluarga, atau penasihat hukumnya, melalui surat pemberitahuan penghentian Penyidikan.

(3)

Dalam hal Penyidikan dihentikan namun masih terdapat barang bukti dan/atau Harta Kekayaan yang disita, kecuali untuk penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d karena Tersangka meninggal dunia, Penyidik wajib mengembalikan barang bukti dan/atau Harta Kekayaan yang disita tersebut kepada:

  1. pihak yang dilakukan Penyitaan;
  2. pihak yang paling berhak;
  3. pihak yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan; atau
  4. pihak yang ditunjuk berdasarkan putusan pengadilan.


 

BAB V
PENGHENTIAN PENYIDIKAN UNTUK KEPENTINGAN PENERIMAAN NEGARA

Pasal 22

 

(1)

Menteri mengajukan permintaan penghentian Penyidikan kepada Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) berdasarkan permohonan penghentian Penyidikan dari Wajib Pajak atau Tersangka sepanjang belum dilakukan penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti ke Penuntut Umum.

(2)

Permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk surat permohonan penghentian Penyidikan oleh Wajib Pajak atau Tersangka kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak.

(3)

Wajib Pajak atau Tersangka yang dapat mengajukan permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:

  1. Wajib Pajak atau Tersangka orang pribadi yang melakukan Tindak Pidana;
  2. wakil Wajib Pajak Badan atau wakil Tersangka Badan yang melakukan Tindak Pidana; atau
  3. pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan Tindak Pidana.

(4)

Permohonan penghentian Penyidikan dibuat dengan ketentuan:

  1. dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  2. memuat pernyataan pengakuan bersalah;
  3. memuat pernyataan telah melakukan pelunasan sebagaimana diatur dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
  4. ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tidak boleh dikuasakan.

(5)

Permohonan penghentian Penyidikan disampaikan dengan melampirkan bukti atas pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c berupa Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.

(6)

Ketentuan mengenai contoh format surat permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


 

Pasal 23

 

(1)

Penghentian Penyidikan hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau Tersangka melakukan pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) huruf c berupa:

  1. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara;
  2. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; dan/atau
  3. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

(2)

Penerapan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:

  1. dalam hal Wajib Pajak atau Tersangka diancam secara alternatif lebih dari 1 (satu) sanksi pidana, diterapkan sanksi administratif yang paling tinggi; atau
  2. dalam hal Wajib Pajak atau Tersangka diancam secara kumulatif lebih dari 1 (satu) sanksi pidana, diterapkan sanksi administratif secara kumulatif.

(3)

Penerapan sanksi administratif secara alternatif dan kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


  

Pasal 24

 

(1)

Untuk mengetahui jumlah yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Wajib Pajak atau Tersangka harus mengajukan permintaan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.

(2)

Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memberikan tanggapan secara tertulis paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permintaan diterima.

(3)

Dalam hal tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum memuat jumlah yang harus dilunasi, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan informasi secara tertulis yang memuat jumlah yang harus dilunasi setelah diperoleh alat bukti yang cukup untuk menghitung jumlah yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).

(4)

Terhadap tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah memuat jumlah yang harus dilunasi, Wajib Pajak atau Tersangka dapat melakukan pelunasan menggunakan Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.

(5)

Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan pemberian tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk delegasi kepada Kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum.

(6)

Dalam hal telah dilakukan penetapan Tersangka, pelunasan dengan Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak Tersangka.

(7)

Dalam hal Wajib Pajak atau Tersangka hanya membayar sebagian dari jumlah yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidikan dilanjutkan dan jumlah yang telah dibayar oleh Wajib Pajak atau Tersangka dapat diperhitungkan sebagai:

  1. bagian pelunasan pada saat telah dilakukan penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti ke Penuntut Umum;
  2. bagian pelunasan pada saat perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan; atau
  3. pembayaran pidana denda.

(8)

Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 44B ayat (2) huruf a atau huruf b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan/atau pemulihan atas jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 44B ayat (2) huruf c Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

(9)

Penghitungan jumlah yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik.

(10)

Dalam hal diperlukan, Penyidik dapat meminta bantuan ahli perpajakan dalam melakukan penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (9).

(11)

Ahli perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) merupakan orang yang memiliki keahlian khusus berdasarkan kompetensi dan kecakapannya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan keterangan dan/atau pendapat mengenai peraturan perpajakan dan penghitungan jumlah yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dalam penanganan Tindak Pidana.


  

Pasal 25

 

(1)

Dalam hal Tindak Pidana dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) Wajib Pajak atau Tersangka, jumlah yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dihitung sesuai dengan proporsi yang menjadi beban masing-masing Wajib Pajak atau Tersangka.

(2)

Penghitungan proporsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

  1. kontribusi terhadap kerugian yang ditimbulkan berdasarkan alat bukti yang ditemukan;
  2. manfaat yang diterima Wajib Pajak atau Tersangka;
  3. derajat kesalahan dan perbuatan; dan/atau
  4. pertimbangan lainnya yang dapat menggambarkan peran Wajib Pajak atau Tersangka dalam Tindak Pidana.

(3)

Dalam hal proses Penyidikan telah menetapkan lebih dari 1 (satu) Tersangka masing-masing Tersangka memiliki hak untuk mengajukan permohonan penghentian Penyidikan disertai dengan pelunasan sesuai dengan proporsi untuk dirinya sendiri.

(4)

Permohonan penghentian Penyidikan oleh masing-masing Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan tanpa menunggu pemulihan kerugian pada pendapatan negara atau pemulihan atas jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) secara keseluruhan.

(5)

Penghitungan proporsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan contoh penghitungan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


 

Pasal 26

 

(1)

Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian atas permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2).

(2)

Dalam hal permohonan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan hasil penelitian dan memberikan rekomendasi penghentian Penyidikan secara tertulis kepada Menteri.

(3)

Dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan penolakan secara tertulis kepada Wajib Pajak atau Tersangka bahwa permohonan ditolak.

(4)

Berdasarkan rekomendasi Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mengajukan permintaan penghentian Penyidikan kepada Jaksa Agung.

(5)

Dalam hal permohonan Wajib Pajak atau Tersangka ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jumlah yang telah dibayar oleh Wajib Pajak dapat diperhitungkan sebagai bagian pelunasan atau pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (7).

(6)

Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk delegasi kepada kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum.

(7)

Surat pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



Pasal 27

 

(1)

Berdasarkan permintaan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), Jaksa Agung memberikan keputusan atas permintaan penghentian Penyidikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.

(2)

Dalam hal keputusan dari Jaksa Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa menyetujui permintaan penghentian Penyidikan, berlaku ketentuan:

  1. Menteri menyampaikan surat pemberitahuan persetujuan secara tertulis kepada Wajib Pajak atau Tersangka; dan
  2. proses Penyidikan terhadap Wajib Pajak atau Tersangka dihentikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Dalam hal keputusan dari Jaksa Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa menolak permintaan penghentian Penyidikan, berlaku ketentuan:

  1. Menteri menyampaikan surat pemberitahuan penolakan secara tertulis kepada Wajib Pajak atau Tersangka; dan
  2. proses Penyidikan terhadap Wajib Pajak atau Tersangka dilanjutkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4)

Dalam hal Jaksa Agung menolak permintaan penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tindak lanjut atas pelunasan yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak atau Tersangka dalam Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak dilaksanakan setelah terdapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(5)

Dalam hal berkas permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan oleh Jaksa Agung untuk dilengkapi dan/atau diperbaiki, Menteri dapat menyampaikan kembali permintaan penghentian Penyidikan kepada Jaksa Agung.

(6)

Berdasarkan permintaan dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Jaksa Agung memberikan keputusan atas permintaan penghentian Penyidikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal surat permintaan tersebut disampaikan kembali.

(7)

Surat pemberitahuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan surat pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G dan huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


 

Pasal 28


Dalam hal Wajib Pajak atau Tersangka telah memperoleh informasi jumlah yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) atau ayat (3) namun:

a.

Wajib Pajak atau Tersangka tidak atau belum melakukan pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4);

b.

Direktur Jenderal Pajak menolak permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) yang diajukan oleh Wajib Pajak atau Tersangka; atau

c.

Jaksa Agung menolak permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3),

serta berkas perkara Penyidikan telah dinyatakan lengkap, tanggung jawab atas Tersangka beserta barang bukti diserahkan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum.
 
 

Pasal 29

 

(1)

Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada Direktur Jenderal Pajak untuk:

  1. mengajukan permintaan penghentian Penyidikan kepada Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4); atau
  2. menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak atau Tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a atau Pasal 27 ayat (3) huruf a.

(2)

Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak atau Tersangka atas persetujuan atau penolakan permintaan penghentian Penyidikan dari Jaksa Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.



BAB VI
PERMINTAAN INFORMASI KERUGIAN PADA PENDAPATAN NEGARA

Pasal 30

 

(1)

Dalam hal tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti telah diserahkan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum, Tersangka dapat melakukan pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).

(2)

Dalam hal diperlukan, Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak atas informasi jumlah pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Atas permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum menyampaikan informasi sebagai berikut:

a.

kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dan/atau huruf b; dan/atau

b.

jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c,

dengan memperhitungkan jumlah yang telah disetor ke kas negara menggunakan Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (7).

(4)

Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak surat permintaan informasi diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.


 

Pasal 31


Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, Terdakwa tetap dapat melunasi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).
 
 

Pasal 32


Pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Kejaksaan Republik Indonesia mengenai penyelesaian perkara tindak pidana di bidang perpajakan untuk kepentingan penerimaan negara.
 
  

BAB VII
PENANGANAN PENYIDIKAN DI LUAR YURISDIKSI INDONESIA ATAU LINTAS BATAS NEGARA

Pasal 33

 

(1)

Penanganan Penyidikan di luar yurisdiksi Indonesia atau lintas batas negara dilakukan dengan menggunakan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan memperhatikan perjanjian, ketentuan, dan/atau konvensi internasional serta ratifikasinya.

(2)

Bantuan timbal balik meliputi tindakan-tindakan yang diambil dalam penanganan Tindak Pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana.


  

BAB VIII
PENYAMPAIAN DOKUMEN

Pasal 34


Tata cara terkait:

a.

penyampaian permohonan dan dokumen oleh Wajib Pajak atau Tersangka; dan

b.

penerbitan serta pengiriman keputusan dan dokumen yang dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pajak,

dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai ketentuan perpajakan dalam rangka pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan.
 
 

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 35


Permintaan jumlah yang harus dilunasi dalam rangka permohonan penghentian Penyidikan yang disampaikan dan belum diberikan tanggapan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku, diberikan tanggapan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak Peraturan Menteri ini berlaku.
 
 

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 36


Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku:

a.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 538); dan

b.

Pasal 108 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153),

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
 
  

Pasal 37


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
  
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
 
 
 
 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Februari 2025
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Februari 2025
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DHAHANA PUTRA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2025 NOMOR 121

 


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP

Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.
dari server baru