Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2025
TENTANG
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG
PERPAJAKAN.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
(1) |
Penyidikan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik. |
(2) |
Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan dasar Surat Perintah Penyidikan. |
(3) |
Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dibuat berdasarkan Laporan Kejadian. |
(4) |
Laporan Kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berasal dari kegiatan:
|
(5) |
Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan kegiatan yang terdiri atas:
|
(6) |
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan
Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan. |
Pasal 3
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mempunyai wewenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dalam pelaksanaan tugasnya
berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(1) |
Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) minimal memuat:
|
(2) |
Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjadi dasar diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan. |
(3) |
Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditandatangani oleh:
|
(4) |
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan disampaikan
kepada:
|
(5) |
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang
disampaikan kepada Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a
minimal memuat:
|
(6) |
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang
disampaikan kepada Terlapor atau Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf b minimal memuat:
|
(7) |
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan disampaikan
paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan. |
(1) |
Pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
huruf a dilakukan terhadap:
|
(2) |
Pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan menyampaikan surat panggilan. |
(3) |
Saksi atau Tersangka yang dipanggil wajib memenuhi
Pemanggilan Penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. |
(4) |
Surat panggilan harus diterima oleh Saksi atau Tersangka
yang dipanggil paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal Pemeriksaan yang
ditentukan dalam surat panggilan. |
(5) |
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), dalam hal Saksi atau Tersangka bersedia, surat panggilan dapat
disampaikan kepada Saksi atau Tersangka sesaat sebelum dilakukan Pemeriksaan. |
(6) |
Dalam hal:
|
(7) |
Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat
menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 6
(1) |
Penyidik menyampaikan surat panggilan kedua dalam hal
surat panggilan pertama telah disampaikan tetapi Saksi atau Tersangka yang
dipanggil tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar. |
(2) |
Penyampaian surat panggilan kedua sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat disertai dengan permintaan bantuan kepada penyidik
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk membawa Saksi atau
Tersangka. |
(1) |
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
huruf b dilakukan terhadap:
|
||||||
(2) |
Dalam Pemeriksaan, Tersangka memiliki hak:
|
||||||
(3) |
Dalam hal Tersangka:
Penyidik wajib menunjuk penasihat hukum sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. |
||||||
(4) |
Pemeriksaan Saksi atau Ahli dapat dilaksanakan secara:
|
||||||
(5) |
Hasil Pemeriksaan dituangkan dalam berita acara
Pemeriksaan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum acara pidana. |
||||||
(6) |
Dalam hal Pemeriksaan perlu dilaksanakan di luar negeri
maka Penyidik melakukan Pemeriksaan berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana. |
(1) |
Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
huruf c dilakukan terhadap Tersangka berdasarkan permintaan bantuan kepada
penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh Penyidik. |
(2) |
Setelah dilakukan Penangkapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyidik melakukan Pemeriksaan untuk menentukan perlu atau tidaknya
dilakukan Penahanan. |
(3) |
Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
huruf d dapat dilakukan terhadap Tersangka sepanjang telah diperiksa sebagai
Tersangka dan dengan pertimbangan bahwa Tersangka akan:
|
(4) |
Penahanan hanya dapat dikenakan atas Tindak Pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. |
(5) |
Penahanan dilakukan dengan meminta bantuan kepada
penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan
Penahanan dengan menyampaikan permintaan bantuan Penahanan. |
(6) |
Dalam hal diperlukan, Penyidik dapat mengajukan
permintaan perpanjangan masa Penahanan kepada Penuntut Umum melalui penyidik
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
(1) |
Penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
huruf e meliputi:
|
(2) |
Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Penyidik dan dilengkapi dengan:
|
(3) |
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, Penyidik dapat
melakukan penggeledahan terlebih dahulu dan segera menyampaikan surat
permintaan penetapan persetujuan penggeledahan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat setelah dilakukan penggeledahan. |
(4) |
Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) |
Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
huruf f dapat dilakukan oleh Penyidik untuk kepentingan pembuktian atau
jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. |
(2) |
Pemblokiran dilakukan oleh Penyidik dengan menyampaikan
permintaan Pemblokiran Harta Kekayaan kepada Badan Pertanahan Nasional, bank,
Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi
lain yang mengelola administrasi data Harta Kekayaan. |
(3) |
Dalam hal sudah tidak diperlukan Pemblokiran, Penyidik
dapat meminta pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
melakukan pembukaan blokir atas Harta Kekayaan dengan menyampaikan permintaan
pembukaan blokir. |
Pasal 11
(1) |
Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
huruf f dilakukan terhadap:
|
(2) |
Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Penyidik dan dilengkapi dengan:
|
(3) |
Dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, tanpa mengurangi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b Penyidik dapat melakukan
Penyitaan dan segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna
memperoleh penetapan persetujuan Penyitaan. |
(4) |
Surat perintah Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini. |
Pasal 12
(1) |
Untuk kepentingan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 dan/atau Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Penyidik
dapat melakukan penelusuran Harta Kekayaan. |
(2) |
Penelusuran Harta Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan mengidentifikasi asal usul, keberadaan, dan kepemilikan
Harta Kekayaan. |
(1) |
Penanganan Data Elektronik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (5) huruf g dapat dilakukan oleh:
untuk memperoleh atau mengamankan barang bukti dalam
Penyidikan. |
||||
(2) |
Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri atas:
yang memiliki keahlian dan/atau kompetensi di bidang
forensik digital. |
(1) |
Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
huruf h dilakukan untuk kepentingan Penyidikan berdasarkan keputusan
Pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri. |
(2) |
Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan terhadap:
|
(3) |
Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan secara selektif dan terukur berdasarkan penelitian dalam hal
pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
(4) |
Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
minimal memuat:
|
(5) |
Dalam hal orang yang dikenai Pencegahan memiliki
kelengkapan identitas lainnya berupa nomor paspor, nomor induk kependudukan,
alamat, kewarganegaraan, dan pekerjaan, kelengkapan identitas tersebut juga
harus dicantumkan sebagai bagian identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a. |
(6) |
Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam)
bulan. |
(7) |
Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada:
|
Pasal 15
(1) |
Untuk kepentingan Penyidikan, Menteri dapat menerbitkan
keputusan perpanjangan masa Pencegahan sebelum jangka waktu Pencegahan
berakhir. |
(2) |
Keputusan perpanjangan masa Pencegahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
|
(3) |
Keputusan perpanjangan masa Pencegahan minimal memuat:
|
(4) |
Dalam hal orang yang dikenai perpanjangan masa Pencegahan
memiliki kelengkapan identitas lainnya berupa nomor paspor, nomor induk
kependudukan, alamat, kewarganegaraan, dan pekerjaan, kelengkapan identitas
tersebut juga harus dicantumkan sebagai bagian identitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a. |
(5) |
Pencegahan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan masa
berlaku paling lama 6 (enam) bulan. |
Pasal 16
(1) |
Dalam keadaan mendesak, Menteri dapat menerbitkan surat
permintaan Pencegahan. |
||||||||||
(2) |
Surat permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada:
|
||||||||||
(3) |
Surat permintaan Pencegahan diterbitkan sebelum keputusan
Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) diterbitkan. |
||||||||||
(4) |
Menteri harus menyampaikan keputusan Pencegahan kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang imigrasi dan
pemasyarakatan paling lama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak surat
permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan. |
||||||||||
(5) |
Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) keputusan Pencegahan tidak disampaikan, Pencegahan dalam keadaan mendesak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan berakhir dan tidak dapat
diajukan kembali. |
||||||||||
(6) |
Surat permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) minimal memuat:
|
Pasal 17
(1) |
Pencegahan berakhir karena:
|
||||||||||
(2) |
Menteri dapat melakukan pencabutan Pencegahan dengan
menerbitkan keputusan pencabutan Pencegahan dengan pertimbangan:
|
||||||||||
(3) |
Keputusan pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) minimal memuat:
|
||||||||||
(4) |
Keputusan pencabutan Pencegahan disampaikan kepada:
|
Pasal 18
(1) |
Menteri dapat melimpahkan kewenangan penerbitan:
|
||||||||
(2) |
Menteri dapat melimpahkan kewenangan penerbitan surat
permintaan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dalam
bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk. |
||||||||
(3) |
Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan Kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum. |
(1) |
Penetapan Tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (5) huruf i dilakukan dengan ketentuan:
|
(2) |
Penetapan Tersangka harus disampaikan melalui
pemberitahuan penetapan Tersangka paling lama 7 (tujuh) hari setelah
penetapan Tersangka kepada:
|
(1) |
Pemberkasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
huruf j dilakukan oleh Penyidik dengan menyusun berita acara pendapat
(resume) yang merupakan ikhtisar dan kesimpulan hasil Penyidikan. |
||||||
(2) |
Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (5) huruf k kepada Penuntut Umum dilakukan setelah Pemberkasan
dalam proses Penyidikan selesai. |
||||||
(3) |
Dalam hal berkas perkara dikembalikan oleh Penuntut Umum
kepada Penyidik, berkas perkara disampaikan kembali oleh Penyidik kepada
Penuntut Umum setelah memenuhi petunjuk tertulis terhadap kekurangan isi atau
materi berkas perkara. |
||||||
(4) |
Dalam hal berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut
Umum, Penyidik menyampaikan pemberitahuan perkembangan penanganan perkara
kepada Tersangka yang disangkakan Tindak Pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 38, Pasal 39, dan/atau Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterimanya pemberitahuan
berkas perkara dinyatakan lengkap. |
||||||
(5) |
Pemberitahuan perkembangan penanganan perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) minimal memuat:
|
||||||
(6) |
Penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf l dilakukan oleh Penyidik
kepada Penuntut Umum dalam hal berkas perkara dinyatakan lengkap oleh
Penuntut Umum. |
||||||
(7) |
Untuk kepentingan penyerahan tanggung jawab atas
Tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), Penyidik melakukan pemanggilan kepada Tersangka untuk hadir kepada
Penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. |
||||||
(8) |
Dalam hal Tersangka:
untuk kepentingan penyerahan kepada Penuntut Umum, dapat
dilakukan permintaan bantuan Penangkapan dan Penahanan terhadap Tersangka
kepada pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
(1) |
Penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (5) huruf m dilakukan oleh Penyidik dalam hal:
|
(2) |
Penghentian Penyidikan diberitahukan kepada:
|
(3) |
Dalam hal Penyidikan dihentikan namun masih terdapat
barang bukti dan/atau Harta Kekayaan yang disita, kecuali untuk penghentian
Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d karena Tersangka
meninggal dunia, Penyidik wajib mengembalikan barang bukti dan/atau Harta
Kekayaan yang disita tersebut kepada:
|
(1) |
Menteri mengajukan permintaan penghentian Penyidikan
kepada Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) berdasarkan
permohonan penghentian Penyidikan dari Wajib Pajak atau Tersangka sepanjang
belum dilakukan penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti ke
Penuntut Umum. |
(2) |
Permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk surat permohonan penghentian
Penyidikan oleh Wajib Pajak atau Tersangka kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal Pajak. |
(3) |
Wajib Pajak atau Tersangka yang dapat mengajukan
permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
|
(4) |
Permohonan penghentian Penyidikan dibuat dengan
ketentuan:
|
(5) |
Permohonan penghentian Penyidikan disampaikan dengan
melampirkan bukti atas pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c
berupa Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan
dengan Surat Setoran Pajak. |
(6) |
Ketentuan mengenai contoh format surat permohonan
penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam
Lampiran huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini. |
Pasal 23
(1) |
Penghentian Penyidikan hanya dilakukan setelah Wajib
Pajak atau Tersangka melakukan pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (4) huruf c berupa:
|
(2) |
Penerapan sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
|
(3) |
Penerapan sanksi administratif secara alternatif dan
kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 24
(1) |
Untuk mengetahui jumlah yang harus dilunasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Wajib Pajak atau Tersangka harus mengajukan
permintaan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(2) |
Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Direktur Jenderal Pajak memberikan tanggapan secara tertulis paling lama
1 (satu) bulan terhitung sejak permintaan diterima. |
(3) |
Dalam hal tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum memuat jumlah yang harus dilunasi, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan
informasi secara tertulis yang memuat jumlah yang harus dilunasi setelah
diperoleh alat bukti yang cukup untuk menghitung jumlah yang harus dilunasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1). |
(4) |
Terhadap tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah memuat jumlah
yang harus dilunasi, Wajib Pajak atau Tersangka dapat melakukan pelunasan
menggunakan Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang
disamakan dengan Surat Setoran Pajak. |
(5) |
Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan pemberian
tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk delegasi kepada Kepala Unit Pelaksana
Penegakan Hukum. |
(6) |
Dalam hal telah dilakukan penetapan Tersangka, pelunasan
dengan Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan
dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak Tersangka. |
(7) |
Dalam hal Wajib Pajak atau Tersangka hanya membayar
sebagian dari jumlah yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Penyidikan dilanjutkan dan jumlah yang telah dibayar oleh Wajib Pajak atau
Tersangka dapat diperhitungkan sebagai:
|
(8) |
Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan
pemulihan kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 44B ayat (2) huruf a atau huruf
b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan/atau pemulihan
atas jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 44B ayat (2) huruf c
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(9) |
Penghitungan jumlah yang harus dilunasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik. |
(10) |
Dalam hal diperlukan, Penyidik dapat meminta bantuan ahli
perpajakan dalam melakukan penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (9). |
(11) |
Ahli perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (10)
merupakan orang yang memiliki keahlian khusus berdasarkan kompetensi dan
kecakapannya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan
keterangan dan/atau pendapat mengenai peraturan perpajakan dan penghitungan
jumlah yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dalam
penanganan Tindak Pidana. |
Pasal 25
(1) |
Dalam hal Tindak Pidana dilakukan oleh lebih dari 1
(satu) Wajib Pajak atau Tersangka, jumlah yang harus dilunasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dihitung sesuai dengan proporsi yang menjadi
beban masing-masing Wajib Pajak atau Tersangka. |
(2) |
Penghitungan proporsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan:
|
(3) |
Dalam hal proses Penyidikan telah menetapkan lebih dari 1
(satu) Tersangka masing-masing Tersangka memiliki hak untuk mengajukan
permohonan penghentian Penyidikan disertai dengan pelunasan sesuai dengan
proporsi untuk dirinya sendiri. |
(4) |
Permohonan penghentian Penyidikan oleh masing-masing
Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan tanpa menunggu
pemulihan kerugian pada pendapatan negara atau pemulihan atas jumlah pajak
dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau
bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) secara
keseluruhan. |
(5) |
Penghitungan proporsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan contoh penghitungan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini. |
Pasal 26
(1) |
Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian atas
permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(2). |
(2) |
Dalam hal permohonan telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan hasil
penelitian dan memberikan rekomendasi penghentian Penyidikan secara tertulis
kepada Menteri. |
(3) |
Dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat
pemberitahuan penolakan secara tertulis kepada Wajib Pajak atau Tersangka
bahwa permohonan ditolak. |
(4) |
Berdasarkan rekomendasi Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mengajukan permintaan penghentian
Penyidikan kepada Jaksa Agung. |
(5) |
Dalam hal permohonan Wajib Pajak atau Tersangka ditolak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jumlah yang telah dibayar oleh Wajib
Pajak dapat diperhitungkan sebagai bagian pelunasan atau pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (7). |
(6) |
Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan penelitian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk delegasi kepada kepala Unit Pelaksana
Penegakan Hukum. |
(7) |
Surat pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini. |
Pasal 27
(1) |
Berdasarkan permintaan Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (4), Jaksa Agung memberikan keputusan atas permintaan
penghentian Penyidikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak
tanggal surat permintaan. |
(2) |
Dalam hal keputusan dari Jaksa Agung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa menyetujui permintaan penghentian Penyidikan, berlaku
ketentuan:
|
(3) |
Dalam hal keputusan dari Jaksa Agung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa menolak permintaan penghentian Penyidikan, berlaku
ketentuan:
|
(4) |
Dalam hal Jaksa Agung menolak permintaan penghentian
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tindak lanjut atas pelunasan
yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak atau Tersangka dalam Surat Setoran
Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran
Pajak dilaksanakan setelah terdapat putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. |
(5) |
Dalam hal berkas permintaan penghentian Penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan oleh Jaksa Agung untuk
dilengkapi dan/atau diperbaiki, Menteri dapat menyampaikan kembali permintaan
penghentian Penyidikan kepada Jaksa Agung. |
(6) |
Berdasarkan permintaan dari Menteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Jaksa Agung memberikan keputusan atas permintaan penghentian
Penyidikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak
tanggal surat permintaan tersebut disampaikan kembali. |
(7) |
Surat pemberitahuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan surat pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf G dan huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini. |
Pasal 28
Dalam hal Wajib Pajak atau Tersangka telah memperoleh informasi jumlah yang
harus dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) atau ayat (3)
namun:
a. |
Wajib Pajak atau Tersangka tidak atau belum melakukan
pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4); |
b. |
Direktur Jenderal Pajak menolak permohonan penghentian
Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) yang diajukan oleh
Wajib Pajak atau Tersangka; atau |
c. |
Jaksa Agung menolak permintaan penghentian Penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), |
serta berkas perkara Penyidikan telah dinyatakan lengkap,
tanggung jawab atas Tersangka beserta barang bukti diserahkan oleh Penyidik
kepada Penuntut Umum.
Pasal 29
(1) |
Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada Direktur
Jenderal Pajak untuk:
|
(2) |
Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Unit Pelaksana
Penegakan Hukum menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak
atau Tersangka atas persetujuan atau penolakan permintaan penghentian
Penyidikan dari Jaksa Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. |
(1) |
Dalam hal tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti
telah diserahkan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum, Tersangka dapat
melakukan pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1). |
||||
(2) |
Dalam hal diperlukan, Penuntut Umum dapat mengajukan
permintaan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak atas informasi jumlah
pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
||||
(3) |
Atas permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum
menyampaikan informasi sebagai berikut:
dengan memperhitungkan jumlah yang telah disetor ke kas
negara menggunakan Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang
disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(7). |
||||
(4) |
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak surat permintaan informasi
diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. |
Pasal 31
Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, Terdakwa tetap dapat
melunasi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).
Pasal 32
Pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Kejaksaan Republik Indonesia mengenai
penyelesaian perkara tindak pidana di bidang perpajakan untuk kepentingan
penerimaan negara.
(1) |
Penanganan Penyidikan di luar yurisdiksi Indonesia atau
lintas batas negara dilakukan dengan menggunakan permintaan bantuan timbal
balik dalam masalah pidana dengan memperhatikan perjanjian, ketentuan,
dan/atau konvensi internasional serta ratifikasinya. |
(2) |
Bantuan timbal balik meliputi tindakan-tindakan yang
diambil dalam penanganan Tindak Pidana sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana. |
Tata cara terkait:
a. |
penyampaian permohonan dan dokumen oleh Wajib Pajak atau
Tersangka; dan |
b. |
penerbitan serta pengiriman keputusan dan dokumen yang
dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pajak, |
dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur
mengenai ketentuan perpajakan dalam rangka pelaksanaan sistem inti administrasi
perpajakan.
Permintaan jumlah yang harus dilunasi dalam rangka permohonan penghentian
Penyidikan yang disampaikan dan belum diberikan tanggapan sampai dengan
Peraturan Menteri ini berlaku, diberikan tanggapan paling lama 1 (satu) bulan
terhitung sejak Peraturan Menteri ini berlaku.
Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku:
a. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 tentang
Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 538); dan |
b. |
Pasal 108 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor
153), |
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 37
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Februari 2025
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DHAHANA PUTRA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2025 NOMOR 121