Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2025
TENTANG
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
 
Mengingat :
 
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG
PERPAJAKAN.
 
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
| 
   (1)  | 
  
   Penyidikan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik.  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
  dengan dasar Surat Perintah Penyidikan.  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
  (2) dibuat berdasarkan Laporan Kejadian.  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Laporan Kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
  berasal dari kegiatan: 
  | 
 
| 
   (5)  | 
  
   Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
  dengan kegiatan yang terdiri atas: 
  | 
 
| 
   (6)  | 
  
   Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan
  Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan.  | 
 
  
 
Pasal 3
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mempunyai wewenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dalam pelaksanaan tugasnya
berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
 
| 
   (1)  | 
  
   Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
  Pasal 2 ayat (3) minimal memuat: 
  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
  (1) menjadi dasar diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan.  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
  (1) dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan sebagaimana dimaksud pada
  ayat (2) ditandatangani oleh: 
  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan disampaikan
  kepada: 
  | 
 
| 
   (5)  | 
  
   Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang
  disampaikan kepada Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a
  minimal memuat: 
  | 
 
| 
   (6)  | 
  
   Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang
  disampaikan kepada Terlapor atau Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
  huruf b minimal memuat: 
  | 
 
| 
   (7)  | 
  
   Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan disampaikan
  paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.  | 
 
 
 
| 
   (1)  | 
  
   Pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
  huruf a dilakukan terhadap: 
  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
  dengan menyampaikan surat panggilan.  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Saksi atau Tersangka yang dipanggil wajib memenuhi
  Pemanggilan Penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara
  Pidana.  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Surat panggilan harus diterima oleh Saksi atau Tersangka
  yang dipanggil paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal Pemeriksaan yang
  ditentukan dalam surat panggilan.  | 
 
| 
   (5)  | 
  
   Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
  ayat (4), dalam hal Saksi atau Tersangka bersedia, surat panggilan dapat
  disampaikan kepada Saksi atau Tersangka sesaat sebelum dilakukan Pemeriksaan.  | 
 
| 
   (6)  | 
  
   Dalam hal: 
  | 
 
| 
   (7)  | 
  
   Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat
  menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang
  merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.  | 
 
  
Pasal 6
| 
   (1)  | 
  
   Penyidik menyampaikan surat panggilan kedua dalam hal
  surat panggilan pertama telah disampaikan tetapi Saksi atau Tersangka yang
  dipanggil tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar.  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Penyampaian surat panggilan kedua sebagaimana dimaksud
  pada ayat (1) dapat disertai dengan permintaan bantuan kepada penyidik
  pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk membawa Saksi atau
  Tersangka.  | 
 
 
| 
   (1)  | 
  
   Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
  huruf b dilakukan terhadap: 
  | 
 ||||||
| 
   (2)  | 
  
   Dalam Pemeriksaan, Tersangka memiliki hak: 
  | 
 ||||||
| 
   (3)  | 
  
   Dalam hal Tersangka: 
 Penyidik wajib menunjuk penasihat hukum sebagaimana
  diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.  | 
 ||||||
| 
   (4)  | 
  
   Pemeriksaan Saksi atau Ahli dapat dilaksanakan secara: 
  | 
 ||||||
| 
   (5)  | 
  
   Hasil Pemeriksaan dituangkan dalam berita acara
  Pemeriksaan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
  perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum acara pidana.  | 
 ||||||
| 
   (6)  | 
  
   Dalam hal Pemeriksaan perlu dilaksanakan di luar negeri
  maka Penyidik melakukan Pemeriksaan berdasarkan ketentuan Undang-Undang
  Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana.  | 
 
  
| 
   (1)  | 
  
   Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
  huruf c dilakukan terhadap Tersangka berdasarkan permintaan bantuan kepada
  penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh Penyidik.  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Setelah dilakukan Penangkapan sebagaimana dimaksud pada
  ayat (1), Penyidik melakukan Pemeriksaan untuk menentukan perlu atau tidaknya
  dilakukan Penahanan.  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
  huruf d dapat dilakukan terhadap Tersangka sepanjang telah diperiksa sebagai
  Tersangka dan dengan pertimbangan bahwa Tersangka akan: 
  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Penahanan hanya dapat dikenakan atas Tindak Pidana yang
  diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.  | 
 
| 
   (5)  | 
  
   Penahanan dilakukan dengan meminta bantuan kepada
  penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan
  Penahanan dengan menyampaikan permintaan bantuan Penahanan.  | 
 
| 
   (6)  | 
  
   Dalam hal diperlukan, Penyidik dapat mengajukan
  permintaan perpanjangan masa Penahanan kepada Penuntut Umum melalui penyidik
  pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.  | 
 
| 
   (1)  | 
  
   Penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
  huruf e meliputi: 
  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
  dilakukan oleh Penyidik dan dilengkapi dengan: 
  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
  ayat (2) huruf b, dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, Penyidik dapat
  melakukan penggeledahan terlebih dahulu dan segera menyampaikan surat
  permintaan penetapan persetujuan penggeledahan kepada Ketua Pengadilan Negeri
  setempat setelah dilakukan penggeledahan.  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
  dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  | 
 
 
 
| 
   (1)  | 
  
   Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
  huruf f dapat dilakukan oleh Penyidik untuk kepentingan pembuktian atau
  jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara.  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Pemblokiran dilakukan oleh Penyidik dengan menyampaikan
  permintaan Pemblokiran Harta Kekayaan kepada Badan Pertanahan Nasional, bank,
  Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi
  lain yang mengelola administrasi data Harta Kekayaan.  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Dalam hal sudah tidak diperlukan Pemblokiran, Penyidik
  dapat meminta pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
  melakukan pembukaan blokir atas Harta Kekayaan dengan menyampaikan permintaan
  pembukaan blokir.  | 
 
 
Pasal 11
| 
   (1)  | 
  
   Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
  huruf f dilakukan terhadap: 
  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
  oleh Penyidik dan dilengkapi dengan: 
  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, tanpa mengurangi
  ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b Penyidik dapat melakukan
  Penyitaan dan segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna
  memperoleh penetapan persetujuan Penyitaan.  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Surat perintah Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat
  (2) huruf a dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam
  Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
  Menteri ini.  | 
 
 
   
Pasal 12
| 
   (1)  | 
  
   Untuk kepentingan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam
  Pasal 10 dan/atau Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Penyidik
  dapat melakukan penelusuran Harta Kekayaan.  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Penelusuran Harta Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
  (1) dilakukan dengan mengidentifikasi asal usul, keberadaan, dan kepemilikan
  Harta Kekayaan.  | 
 
 
| 
   (1)  | 
  
   Penanganan Data Elektronik sebagaimana dimaksud dalam
  Pasal 2 ayat (5) huruf g dapat dilakukan oleh: 
 untuk memperoleh atau mengamankan barang bukti dalam
  Penyidikan.  | 
 ||||
| 
   (2)  | 
  
   Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
  terdiri atas: 
 yang memiliki keahlian dan/atau kompetensi di bidang
  forensik digital.  | 
 
 
| 
   (1)  | 
  
   Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
  huruf h dilakukan untuk kepentingan Penyidikan berdasarkan keputusan
  Pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri.  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
  diterbitkan terhadap: 
  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
  diterbitkan secara selektif dan terukur berdasarkan penelitian dalam hal
  pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2): 
  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
  minimal memuat: 
  | 
 
| 
   (5)  | 
  
   Dalam hal orang yang dikenai Pencegahan memiliki
  kelengkapan identitas lainnya berupa nomor paspor, nomor induk kependudukan,
  alamat, kewarganegaraan, dan pekerjaan, kelengkapan identitas tersebut juga
  harus dicantumkan sebagai bagian identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
  huruf a.  | 
 
| 
   (6)  | 
  
   Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam)
  bulan.  | 
 
| 
   (7)  | 
  
   Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
  disampaikan kepada: 
  | 
 
 
Pasal 15
| 
   (1)  | 
  
   Untuk kepentingan Penyidikan, Menteri dapat menerbitkan
  keputusan perpanjangan masa Pencegahan sebelum jangka waktu Pencegahan
  berakhir.  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Keputusan perpanjangan masa Pencegahan sebagaimana
  dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada: 
  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Keputusan perpanjangan masa Pencegahan minimal memuat: 
  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Dalam hal orang yang dikenai perpanjangan masa Pencegahan
  memiliki kelengkapan identitas lainnya berupa nomor paspor, nomor induk
  kependudukan, alamat, kewarganegaraan, dan pekerjaan, kelengkapan identitas
  tersebut juga harus dicantumkan sebagai bagian identitas sebagaimana dimaksud
  pada ayat (3) huruf a.  | 
 
| 
   (5)  | 
  
   Pencegahan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan masa
  berlaku paling lama 6 (enam) bulan.  | 
 
Pasal 16
| 
   (1)  | 
  
   Dalam keadaan mendesak, Menteri dapat menerbitkan surat
  permintaan Pencegahan.  | 
 ||||||||||
| 
   (2)  | 
  
   Surat permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada
  ayat (1) disampaikan kepada: 
  | 
 ||||||||||
| 
   (3)  | 
  
   Surat permintaan Pencegahan diterbitkan sebelum keputusan
  Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) diterbitkan.  | 
 ||||||||||
| 
   (4)  | 
  
   Menteri harus menyampaikan keputusan Pencegahan kepada
  menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang imigrasi dan
  pemasyarakatan paling lama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak surat
  permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan.  | 
 ||||||||||
| 
   (5)  | 
  
   Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
  (4) keputusan Pencegahan tidak disampaikan, Pencegahan dalam keadaan mendesak
  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan berakhir dan tidak dapat
  diajukan kembali.  | 
 ||||||||||
| 
   (6)  | 
  
   Surat permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada
  ayat (1) minimal memuat: 
 
 
  | 
 ||||||||||
 
Pasal 17
| 
   (1)  | 
  
   Pencegahan berakhir karena: 
  | 
 ||||||||||
| 
   (2)  | 
  
   Menteri dapat melakukan pencabutan Pencegahan dengan
  menerbitkan keputusan pencabutan Pencegahan dengan pertimbangan: 
  | 
 ||||||||||
| 
   (3)  | 
  
   Keputusan pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada
  ayat (2) minimal memuat: 
 
 
  | 
 ||||||||||
| 
   (4)  | 
  
   Keputusan pencabutan Pencegahan disampaikan kepada: 
  | 
 ||||||||||
  
Pasal 18
| 
   (1)  | 
  
   Menteri dapat melimpahkan kewenangan penerbitan: 
  | 
 ||||||||
| 
   (2)  | 
  
   Menteri dapat melimpahkan kewenangan penerbitan surat
  permintaan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dalam
  bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk.  | 
 ||||||||
| 
   (3)  | 
  
   Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
  merupakan Kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum.  | 
 ||||||||
 
| 
   (1)  | 
  
   Penetapan Tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
  ayat (5) huruf i dilakukan dengan ketentuan: 
  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Penetapan Tersangka harus disampaikan melalui
  pemberitahuan penetapan Tersangka paling lama 7 (tujuh) hari setelah
  penetapan Tersangka kepada: 
  | 
 
 
| 
   (1)  | 
  
   Pemberkasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
  huruf j dilakukan oleh Penyidik dengan menyusun berita acara pendapat
  (resume) yang merupakan ikhtisar dan kesimpulan hasil Penyidikan.  | 
 ||||||
| 
   (2)  | 
  
   Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam
  Pasal 2 ayat (5) huruf k kepada Penuntut Umum dilakukan setelah Pemberkasan
  dalam proses Penyidikan selesai.  | 
 ||||||
| 
   (3)  | 
  
   Dalam hal berkas perkara dikembalikan oleh Penuntut Umum
  kepada Penyidik, berkas perkara disampaikan kembali oleh Penyidik kepada
  Penuntut Umum setelah memenuhi petunjuk tertulis terhadap kekurangan isi atau
  materi berkas perkara.  | 
 ||||||
| 
   (4)  | 
  
   Dalam hal berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut
  Umum, Penyidik menyampaikan pemberitahuan perkembangan penanganan perkara
  kepada Tersangka yang disangkakan Tindak Pidana sebagaimana diatur dalam
  Pasal 38, Pasal 39, dan/atau Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
  Cara Perpajakan paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterimanya pemberitahuan
  berkas perkara dinyatakan lengkap.  | 
 ||||||
| 
   (5)  | 
  
   Pemberitahuan perkembangan penanganan perkara sebagaimana
  dimaksud pada ayat (4) minimal memuat: 
  | 
 ||||||
| 
   (6)  | 
  
   Penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti
  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf l dilakukan oleh Penyidik
  kepada Penuntut Umum dalam hal berkas perkara dinyatakan lengkap oleh
  Penuntut Umum.  | 
 ||||||
| 
   (7)  | 
  
   Untuk kepentingan penyerahan tanggung jawab atas
  Tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada
  ayat (6), Penyidik melakukan pemanggilan kepada Tersangka untuk hadir kepada
  Penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.  | 
 ||||||
| 
   (8)  | 
  
   Dalam hal Tersangka: 
 untuk kepentingan penyerahan kepada Penuntut Umum, dapat
  dilakukan permintaan bantuan Penangkapan dan Penahanan terhadap Tersangka
  kepada pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.  | 
 
 
  
| 
   (1)  | 
  
   Penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
  ayat (5) huruf m dilakukan oleh Penyidik dalam hal: 
  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Penghentian Penyidikan diberitahukan kepada: 
  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Dalam hal Penyidikan dihentikan namun masih terdapat
  barang bukti dan/atau Harta Kekayaan yang disita, kecuali untuk penghentian
  Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d karena Tersangka
  meninggal dunia, Penyidik wajib mengembalikan barang bukti dan/atau Harta
  Kekayaan yang disita tersebut kepada: 
  | 
 
 
| 
   (1)  | 
  
   Menteri mengajukan permintaan penghentian Penyidikan
  kepada Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) berdasarkan
  permohonan penghentian Penyidikan dari Wajib Pajak atau Tersangka sepanjang
  belum dilakukan penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti ke
  Penuntut Umum.  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud
  pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk surat permohonan penghentian
  Penyidikan oleh Wajib Pajak atau Tersangka kepada Menteri melalui Direktur
  Jenderal Pajak.  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Wajib Pajak atau Tersangka yang dapat mengajukan
  permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu: 
  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Permohonan penghentian Penyidikan dibuat dengan
  ketentuan: 
  | 
 
| 
   (5)  | 
  
   Permohonan penghentian Penyidikan disampaikan dengan
  melampirkan bukti atas pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c
  berupa Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan
  dengan Surat Setoran Pajak.  | 
 
| 
   (6)  | 
  
   Ketentuan mengenai contoh format surat permohonan
  penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam
  Lampiran huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
  Menteri ini.  | 
 
 
Pasal 23
| 
   (1)  | 
  
   Penghentian Penyidikan hanya dilakukan setelah Wajib
  Pajak atau Tersangka melakukan pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
  ayat (4) huruf c berupa: 
  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Penerapan sanksi administratif berupa denda sebagaimana
  dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: 
  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Penerapan sanksi administratif secara alternatif dan
  kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan contoh
  sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak
  terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.  | 
 
  
Pasal 24
| 
   (1)  | 
  
   Untuk mengetahui jumlah yang harus dilunasi sebagaimana
  dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Wajib Pajak atau Tersangka harus mengajukan
  permintaan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat
  (1), Direktur Jenderal Pajak memberikan tanggapan secara tertulis paling lama
  1 (satu) bulan terhitung sejak permintaan diterima.  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Dalam hal tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
  belum memuat jumlah yang harus dilunasi, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan
  informasi secara tertulis yang memuat jumlah yang harus dilunasi setelah
  diperoleh alat bukti yang cukup untuk menghitung jumlah yang harus dilunasi
  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Terhadap tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
  atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah memuat jumlah
  yang harus dilunasi, Wajib Pajak atau Tersangka dapat melakukan pelunasan
  menggunakan Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang
  disamakan dengan Surat Setoran Pajak.  | 
 
| 
   (5)  | 
  
   Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan pemberian
  tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan informasi sebagaimana
  dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk delegasi kepada Kepala Unit Pelaksana
  Penegakan Hukum.  | 
 
| 
   (6)  | 
  
   Dalam hal telah dilakukan penetapan Tersangka, pelunasan
  dengan Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan
  dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
  dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak Tersangka.  | 
 
| 
   (7)  | 
  
   Dalam hal Wajib Pajak atau Tersangka hanya membayar
  sebagian dari jumlah yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
  Penyidikan dilanjutkan dan jumlah yang telah dibayar oleh Wajib Pajak atau
  Tersangka dapat diperhitungkan sebagai: 
  | 
 
| 
   (8)  | 
  
   Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan
  pemulihan kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi
  administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 44B ayat (2) huruf a atau huruf
  b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan/atau pemulihan
  atas jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
  pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi
  administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 44B ayat (2) huruf c
  Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.  | 
 
| 
   (9)  | 
  
   Penghitungan jumlah yang harus dilunasi sebagaimana
  dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik.  | 
 
| 
   (10)  | 
  
   Dalam hal diperlukan, Penyidik dapat meminta bantuan ahli
  perpajakan dalam melakukan penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (9).  | 
 
| 
   (11)  | 
  
   Ahli perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (10)
  merupakan orang yang memiliki keahlian khusus berdasarkan kompetensi dan
  kecakapannya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan
  keterangan dan/atau pendapat mengenai peraturan perpajakan dan penghitungan
  jumlah yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dalam
  penanganan Tindak Pidana.  | 
 
  
Pasal 25
| 
   (1)  | 
  
   Dalam hal Tindak Pidana dilakukan oleh lebih dari 1
  (satu) Wajib Pajak atau Tersangka, jumlah yang harus dilunasi sebagaimana
  dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dihitung sesuai dengan proporsi yang menjadi
  beban masing-masing Wajib Pajak atau Tersangka.  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Penghitungan proporsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
  dilakukan dengan mempertimbangkan: 
  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Dalam hal proses Penyidikan telah menetapkan lebih dari 1
  (satu) Tersangka masing-masing Tersangka memiliki hak untuk mengajukan
  permohonan penghentian Penyidikan disertai dengan pelunasan sesuai dengan
  proporsi untuk dirinya sendiri.  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Permohonan penghentian Penyidikan oleh masing-masing
  Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan tanpa menunggu
  pemulihan kerugian pada pendapatan negara atau pemulihan atas jumlah pajak
  dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau
  bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) secara
  keseluruhan.  | 
 
| 
   (5)  | 
  
   Penghitungan proporsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
  dilakukan sesuai dengan contoh penghitungan sebagaimana tercantum dalam
  Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
  Menteri ini.  | 
 
 
Pasal 26
| 
   (1)  | 
  
   Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian atas
  permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
  (2).  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Dalam hal permohonan telah memenuhi ketentuan sebagaimana
  dimaksud dalam Pasal 22, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan hasil
  penelitian dan memberikan rekomendasi penghentian Penyidikan secara tertulis
  kepada Menteri.  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
  dimaksud dalam Pasal 22, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat
  pemberitahuan penolakan secara tertulis kepada Wajib Pajak atau Tersangka
  bahwa permohonan ditolak.  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Berdasarkan rekomendasi Direktur Jenderal Pajak
  sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mengajukan permintaan penghentian
  Penyidikan kepada Jaksa Agung.  | 
 
| 
   (5)  | 
  
   Dalam hal permohonan Wajib Pajak atau Tersangka ditolak
  sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jumlah yang telah dibayar oleh Wajib
  Pajak dapat diperhitungkan sebagai bagian pelunasan atau pembayaran
  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (7).  | 
 
| 
   (6)  | 
  
   Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan penelitian
  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian pemberitahuan sebagaimana
  dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk delegasi kepada kepala Unit Pelaksana
  Penegakan Hukum.  | 
 
| 
   (7)  | 
  
   Surat pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud pada
  ayat (3) dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam
  Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
  Menteri ini.  | 
 
Pasal 27
| 
   (1)  | 
  
   Berdasarkan permintaan Menteri sebagaimana dimaksud dalam
  Pasal 26 ayat (4), Jaksa Agung memberikan keputusan atas permintaan
  penghentian Penyidikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak
  tanggal surat permintaan.  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Dalam hal keputusan dari Jaksa Agung sebagaimana dimaksud
  pada ayat (1) berupa menyetujui permintaan penghentian Penyidikan, berlaku
  ketentuan: 
  | 
 
| 
   (3)  | 
  
   Dalam hal keputusan dari Jaksa Agung sebagaimana dimaksud
  pada ayat (1) berupa menolak permintaan penghentian Penyidikan, berlaku
  ketentuan: 
  | 
 
| 
   (4)  | 
  
   Dalam hal Jaksa Agung menolak permintaan penghentian
  penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tindak lanjut atas pelunasan
  yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak atau Tersangka dalam Surat Setoran
  Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran
  Pajak dilaksanakan setelah terdapat putusan pengadilan yang telah mempunyai
  kekuatan hukum tetap.  | 
 
| 
   (5)  | 
  
   Dalam hal berkas permintaan penghentian Penyidikan
  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan oleh Jaksa Agung untuk
  dilengkapi dan/atau diperbaiki, Menteri dapat menyampaikan kembali permintaan
  penghentian Penyidikan kepada Jaksa Agung.  | 
 
| 
   (6)  | 
  
   Berdasarkan permintaan dari Menteri sebagaimana dimaksud
  pada ayat (5), Jaksa Agung memberikan keputusan atas permintaan penghentian
  Penyidikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak
  tanggal surat permintaan tersebut disampaikan kembali.  | 
 
| 
   (7)  | 
  
   Surat pemberitahuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
  ayat (2) huruf a dan surat pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud pada
  ayat (3) huruf a dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam
  Lampiran huruf G dan huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
  Peraturan Menteri ini.  | 
 
 
Pasal 28
Dalam hal Wajib Pajak atau Tersangka telah memperoleh informasi jumlah yang
harus dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) atau ayat (3)
namun:
| 
   a.  | 
  
   Wajib Pajak atau Tersangka tidak atau belum melakukan
  pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4);  | 
 
| 
   b.  | 
  
   Direktur Jenderal Pajak menolak permohonan penghentian
  Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) yang diajukan oleh
  Wajib Pajak atau Tersangka; atau  | 
 
| 
   c.  | 
  
   Jaksa Agung menolak permintaan penghentian Penyidikan
  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3),  | 
 
serta berkas perkara Penyidikan telah dinyatakan lengkap,
tanggung jawab atas Tersangka beserta barang bukti diserahkan oleh Penyidik
kepada Penuntut Umum.
 
 
Pasal 29
| 
   (1)  | 
  
   Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada Direktur
  Jenderal Pajak untuk: 
  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Unit Pelaksana
  Penegakan Hukum menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak
  atau Tersangka atas persetujuan atau penolakan permintaan penghentian
  Penyidikan dari Jaksa Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.  | 
 
| 
   (1)  | 
  
   Dalam hal tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti
  telah diserahkan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum, Tersangka dapat
  melakukan pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).  | 
 ||||
| 
   (2)  | 
  
   Dalam hal diperlukan, Penuntut Umum dapat mengajukan
  permintaan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak atas informasi jumlah
  pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).  | 
 ||||
| 
   (3)  | 
  
   Atas permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
  (2), Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum
  menyampaikan informasi sebagai berikut: 
 dengan memperhitungkan jumlah yang telah disetor ke kas
  negara menggunakan Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang
  disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
  (7).  | 
 ||||
| 
   (4)  | 
  
   Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
  paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak surat permintaan informasi
  diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.  | 
 
 
Pasal 31
Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, Terdakwa tetap dapat
melunasi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).
 
 
Pasal 32
Pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Kejaksaan Republik Indonesia mengenai
penyelesaian perkara tindak pidana di bidang perpajakan untuk kepentingan
penerimaan negara.
 
  
| 
   (1)  | 
  
   Penanganan Penyidikan di luar yurisdiksi Indonesia atau
  lintas batas negara dilakukan dengan menggunakan permintaan bantuan timbal
  balik dalam masalah pidana dengan memperhatikan perjanjian, ketentuan,
  dan/atau konvensi internasional serta ratifikasinya.  | 
 
| 
   (2)  | 
  
   Bantuan timbal balik meliputi tindakan-tindakan yang
  diambil dalam penanganan Tindak Pidana sebagaimana diatur dalam peraturan
  perundang-undangan mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana.  | 
 
  
Tata cara terkait:
| 
   a.  | 
  
   penyampaian permohonan dan dokumen oleh Wajib Pajak atau
  Tersangka; dan  | 
 
| 
   b.  | 
  
   penerbitan serta pengiriman keputusan dan dokumen yang
  dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pajak,  | 
 
dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur
mengenai ketentuan perpajakan dalam rangka pelaksanaan sistem inti administrasi
perpajakan.
 
 
Permintaan jumlah yang harus dilunasi dalam rangka permohonan penghentian
Penyidikan yang disampaikan dan belum diberikan tanggapan sampai dengan
Peraturan Menteri ini berlaku, diberikan tanggapan paling lama 1 (satu) bulan
terhitung sejak Peraturan Menteri ini berlaku.
 
 
Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku:
| 
   a.  | 
  
   Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 tentang
  Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang
  Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara (Berita Negara Republik
  Indonesia Tahun 2016 Nomor 538); dan  | 
 
| 
   b.  | 
  
   Pasal 108 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang
  Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
  2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak
  Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum
  dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor
  153),  | 
 
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
 
  
Pasal 37
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
  
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
 
 
 
 
| 
   Ditetapkan di Jakarta  | 
 
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Februari 2025
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DHAHANA PUTRA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2025 NOMOR 121