Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak
1. | Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. |
2. | Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak. |
3. | Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
4. | Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
5. | Utang adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan langsung dengan perolehan Harta. |
6. | Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.? |
7. | Tunggakan Pajak adalah jumlah pokok pajak yang belum dilunasi berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
8. | Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak. |
9. | Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
10. | Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat Pernyataan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan Harta, Utang, nilai Harta Bersih, penghitungan dan pembayaran Uang Tebusan. |
11. | Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
12. | Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat Keterangan adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri sebagai bukti pemberian Pengampunan Pajak. |
13. | Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Terakhir yang selanjutnya disebut SPT PPh Terakhir adalah:
|
14. | Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak. |
15. | Manajemen Data dan Informasi adalah sistem administrasi data dan informasi Wajib Pajak yang berkaitan dengan Pengampunan Pajak yang dikelola oleh Menteri. |
16. | Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Tempat Wajib Pajak Terdaftar yang selanjutnya disebut Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan Pajak Penghasilan badan atau Pajak Penghasilan orang pribadi. |
17. | Kantor Pelayanan Pajak Tempat Wajib Pajak Terdaftar yang selanjutnya disebut KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan Pajak Penghasilan badan atau Pajak Penghasilan orang pribadi. |
18. | Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri untuk menerima setoran penerimaan negara dan berdasarkan Undang-Undang Pengampunan Pajak ditunjuk untuk menerima setoran Uang Tebusan dan/atau dana yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak. |
19. | Tahun Pajak Terakhir adalah Tahun Pajak yang berakhir pada jangka waktu 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015. |
(1) | Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. |
(2) | Wajib Pajak yang berhak mendapatkan Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak yang mempunyai kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, Wajib Pajak harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak. |
(4) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yaitu Wajib Pajak yang sedang:
|
(1) | Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan. |
(2) | Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak. |
(3) | Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdiri atas kewajiban:
|
(1) | Untuk memperoleh Pengampunan Pajak, Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disampaikan kepada Menteri melalui KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar atau tempat tertentu. |
(2) | Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai identitas Wajib Pajak, Harta, Utang, nilai Harta bersih, dan penghitungan Uang Tebusan, dan dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A Peraturan Menteri ini. |
a. | untuk Wajib Pajak orang pribadi, memuat:
|
b. | untuk Wajib Pajak badan, memuat:
|
(1) | Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) meliputi:
|
(2) | Harta yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir. |
(3) | Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan:
|
(4) | Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada tanggal akhir Tahun Pajak Terakhir sesuai dengan SPT PPh Terakhir. |
(5) | Dalam hal nilai Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta tambahan ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan:
|
(6) | Nilai wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan ayat (5) huruf b merupakan nilai yang menggambarkan kondisi dan keadaan dari aset yang sejenis atau setara berdasarkan perhitungan Wajib Pajak. |
(1) | Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) meliputi:
|
(2) | Utang yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir. |
(3) | Utang yang berkaitan secara langsung dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam daftar Utang pada akhir Tahun Pajak Terakhir. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada tanggal akhir Tahun Pajak Terakhir sesuai dengan SPT PPh Terakhir. |
(5) | Dalam hal nilai Utang yang berkaitan secara langsung dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Utang ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir. |
(6) | Utang yang berkaitan secara langsung dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Utang yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum kebenaran dan keberadaannya yang digunakan langsung untuk memperoleh Harta tambahan tersebut. |
(1) | Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dihitung berdasarkan nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 6 ayat (5) dikurangi nilai Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (5). |
(2) | Untuk menghitung besarnya nilai Utang yang berkaitan secara langsung dengan perolehan Harta tambahan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
(3) | Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pengenaan Uang Tebusan. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak baru memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak setelah tahun 2015 dan belum menyampaikan SPT PPh Terakhir, tambahan Harta bersih yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan seluruhnya diperhitungkan sebagai dasar pengenaan Uang Tebusan. |
(1) | Tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atas:
|
(2) | Tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar:
|
(3) | Tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) adalah sebesar:
|
(4) | Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b adalah seluruh Harta Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). |
(1) | Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) merupakan Wajib Pajak yang:
|
(2) | Pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, antara lain dokter, notaris, akuntan, arsitek, atau pengacara. |
a. | surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha yang berisi pencatatan peredaran usaha Wajib Pajak mulai Januari sampai dengan Desember pada Tahun Pajak 2015, bagi Wajib Pajak yang belum memiliki kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; atau |
b. | SPT PPh Terakhir bagi Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. |
(1) | Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Bagi Wajib Pajak yang bermaksud mengalihkan Harta tambahan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Dalam hal Wajib Pajak yang bermaksud mengalihkan Harta tambahan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mengalihkan Harta tambahan dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri, jangka waktu 3 (tiga) tahun dihitung sejak Wajib Pajak menempatkan Harta tambahannya di cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri dimaksud. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mengalihkan Harta tambahan dimaksud ke Bank Persepsi di dalam negeri paling lama pada hari kerja berikutnya sejak Harta tambahan tersebut ditempatkan di cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan Harta tambahan yang berada dan/atau ditempatkan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Surat Pernyataan yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Bagi Wajib Pajak yang menggunakan tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), selain harus melampiri dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan ayat (6), Wajib Pajak dimaksud harus menyampaikan surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F Peraturan Menteri ini. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(8) | Bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan sudah menyampaikan SPT PPh Terakhir, SPT PPh Terakhir tersebut sebagai pengganti surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7). | ||||||||||||||||||||||||||||||
(9) | Dalam hal Wajib Pajak memiliki Harta tidak langsung melalui special purpose vehicle (SPV), Wajib Pajak harus mengungkapkan kepemilikan Harta beserta Utang yang berkaitan secara langsung dengan Harta dimaksud dalam daftar rincian Harta dan Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c dan huruf d. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(10) | Daftar rincian Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c dan daftar rincian Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d, harus disampaikan dalam bentuk salinan digital (softcopy) dan formulir kertas (hardcopy). |
(1) | Penyampaian Surat Pernyataan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||
(2) | Pengertian disampaikan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah Wajib Pajak datang langsung ke KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar atau tempat tertentu. | ||||||||||||||||||||||||
(3) | Tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 meliputi:
| ||||||||||||||||||||||||
(4) | Pengertian surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. | ||||||||||||||||||||||||
(5) | Sebelum menyampaikan Surat Pernyataan dan lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), Wajib Pajak meminta penjelasan mengenai pengisian dan pemenuhan kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pernyataan ke KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar dan tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||||||||||||||||||||||
(6) | Pegawai pada KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar atau pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak di tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memastikan mengenai:
| ||||||||||||||||||||||||
(7) | Setelah meminta penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak membayar Uang Tebusan dan menyampaikan Surat Pernyataan beserta lampirannya. | ||||||||||||||||||||||||
(8) | Bagi Wajib Pajak yang telah menyampaikan Surat Pernyataan beserta lampirannya sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diberikan tanda terima Surat Pernyataan. | ||||||||||||||||||||||||
(9) | Dalam hal Surat Pernyataan:
| ||||||||||||||||||||||||
(10) | Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar menerbitkan Surat Keterangan berdasarkan Surat Pernyataan yang telah diberikan tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (8). |
(1) | Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b harus dibayar lunas ke kas negara melalui Bank Persepsi. |
(2) | Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadministrasikan sebagai Pajak Penghasilan Non Migas Lainnya. |
(3) | Pembayaran Uang Tebusan dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411129 dan Kode Jenis Setoran 512. |
(4) | Pembayaran Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan surat setoran pajak dan/atau bukti penerimaan negara yang berfungsi sebagai bukti pembayaran Uang Tebusan setelah mendapatkan validasi. |
(5) | Surat setoran pajak dan/atau bukti penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang diterbitkan melalui modul penerimaan negara. |
(6) | Dalam hal terjadi kesalahan penulisan Kode Akun Pajak dan/atau Kode Jenis Setoran pada surat setoran pajak atau bukti penerimaaan negara, Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak melakukan pemindahbukuan ke Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(1) | Tunggakan Pajak yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c merupakan Tunggakan Pajak berdasarkan Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, surat keputusan, atau putusan, yang diterbitkan sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan. | ||||||
(2) | Terhadap Tunggakan Pajak yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
| ||||||
(3) | Cara penghitungan besarnya Tunggakan Pajak yang dilakukan secara proporsional antara besarnya pokok pajak dengan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G Peraturan Menteri ini. |
(1) | Untuk mengetahui jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d, sebelum menyampaikan Surat Pernyataan Wajib Pajak harus meminta informasi secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui kepala unit pelaksana pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H Peraturan Menteri ini. | ||||||||
(2) | Kepala unit pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan menugaskan pemeriksa bukti permulaan atau penyidik untuk melakukan penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||||
(3) | Untuk melakukan penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemeriksa bukti permulaan atau penyidik dapat meminta pendapat ahli. | ||||||||
(4) | Atas permintaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
| ||||||||
(5) | Pembayaran pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411129 dan Kode Jenis Setoran 513. | ||||||||
(6) | Apabila Wajib Pajak tidak melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan dan tidak menyampaikan Surat Pernyataan, dalam batas waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diberikan informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku ketentuan sebagai berikut:
| ||||||||
(7) | Dalam hal:
|
(1) | Dalam hal Wajib Pajak telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum tahun 2016 dan belum melaporkan SPT PPh Terakhir setelah berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak, berlaku ketentuan sebagai berikut:
| ||||
(2) | Bagi Wajib Pajak yang memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak setelah tahun 2015, Wajib Pajak tidak harus melampirkan fotokopi SPT PPh Terakhir dalam Surat Pernyataan. |
(1) | Dalam rangka Pengampunan Pajak, Wajib Pajak menyampaikan permohonan pencabutan atas permohonan dan/atau pengajuan upaya hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, dan angka 6, yang meliputi:
| ||||||||||||
(2) | Termasuk dalam pengertian pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah pemindahbukuan atas kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan surat pemberitahuan. | ||||||||||||
(3) | Pengajuan permohonan pencabutan atas pengajuan upaya hukum berupa banding, gugatan, dan/atau peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f angka 7, angka 8, dan angka 9 kepada Pengadilan Pajak, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan pajak. | ||||||||||||
(4) | Permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) disampaikan oleh Wajib Pajak sebelum penyampaian Surat Pernyataan. |
(1) | Berdasarkan surat pernyataan mencabut permohonan dan/atau pengajuan atas upaya hukum yang dilampirkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) huruf g, Wajib Pajak dianggap mencabut seluruh permohonan dan/atau pengajuan upaya hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak mencabut permohonan dan/atau pengajuan upaya hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, surat keputusan, dan putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan ayat (3), mempunyai kekuatan hukum tetap dan pokok pajak yang terutang merupakan Tunggakan Pajak yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c. |
(1) | Atas penyampaian Surat Pernyataan, Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar menerbitkan Surat Keterangan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal tanda terima Surat Pernyataan, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J dalam Peraturan Menteri ini dan mengirimkannya kepada Wajib Pajak. | ||||
(2) | Apabila jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar belum menerbitkan Surat Keterangan, Surat Pernyataan yang disampaikan Wajib Pajak dianggap diterima sebagai Surat Keterangan. | ||||
(3) | Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar menerbitkan Surat Keterangan. | ||||
(4) | Dalam hal terdapat:
Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar dapat menerbitkan surat pembetulan atas Surat Keterangan. |
(1) | Setiap Surat Pernyataan yang disampaikan oleh Wajib Pajak dan telah memperoleh tanda terima Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (10), dihitung sebagai 1 (satu) kali penyampaian Surat Pernyataan. | ||||||||
(2) | Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu terhitung sejak Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. | ||||||||
(3) | Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan kedua atau ketiga dalam periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Surat Pernyataan tersebut dapat disampaikan sebelum atau setelah Surat Keterangan atas Surat Pernyataan yang pertama atau kedua yang sebelumnya diterbitkan. | ||||||||
(4) | Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dengan ketentuan bahwa Wajib Pajak harus memasukkan nilai Harta bersih yang tercantum dalam:
| ||||||||
(5) | Penyampaian Surat Pernyataan kedua atau ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak, antara lain:
| ||||||||
(6) | Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan kedua atau ketiga yang mengungkapkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, terhadap penghitungan besarnya Uang Tebusan berlaku ketentuan sebagai berikut:
| ||||||||
(7) | Cara penghitungan besarnya Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K Peraturan Menteri ini. | ||||||||
(8) | Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan kedua atau ketiga yang mengungkapkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan huruf c, tarif Uang Tebusan yang semula menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) menjadi menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2). |
(1) | Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan memperoleh fasilitas Pengampunan Pajak berupa:
| ||||||||
(2) | Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atas perintah kepala unit penyidikan. |
(1) | Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan dan membayar Uang Tebusan atas Harta tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan yang belum dibaliknamakan atas nama Wajib Pajak, harus melakukan pengalihan hak menjadi atas nama Wajib Pajak. | ||||||||
(2) | Atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan, dalam hal:
| ||||||||
(3) | Harta tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan yang dapat dibaliknamakan dan dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Harta tambahan yang telah diperoleh dan/atau dimiliki Wajib Pajak sebelum Akhir Tahun Pajak Terakhir. | ||||||||
(4) | Pajak Penghasilan yang terutang atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebaskan dengan terlebih dahulu memperoleh surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diberikan fasilitas Pengampunan Pajak. | ||||||||
(5) | Permohonan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan oleh Wajib Pajak yang memperoleh Surat Keterangan ke KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar sebelum dilakukan pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan melampirkan:
| ||||||||
(6) | Surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berisi pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang bagi pihak yang mengalihkan Harta tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan dan berlaku sepanjang digunakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan dan membayar Uang Tebusan atas Harta berupa saham yang belum dibaliknamakan atas nama Wajib Pajak, harus melakukan pengalihan hak menjadi atas nama Wajib Pajak. | ||||||
(2) | Pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan dalam hal terdapat perjanjian pengalihan hak dalam jangka waktu paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2017. | ||||||
(3) | Harta berupa saham yang dapat dibaliknamakan dan dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Harta tambahan yang telah diperoleh dan/atau dimiliki Wajib Pajak sebelum akhir Akhir Tahun Pajak Terakhir dan belum pernah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sampai dengan SPT PPh Terakhir. | ||||||
(4) | Untuk dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan yang terutang atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan saham yang diberikan fasilitas Pengampunan Pajak. | ||||||
(5) | Permohonan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan oleh Wajib Pajak yang memperoleh Surat Keterangan ke Kantor Pelayanan Pajak dengan melampirkan:
| ||||||
(6) | Surat keterangan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berisi pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang bagi pihak yang mengalihkan Harta berupa saham dan berlaku sepanjang digunakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Atas permohonan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 25 ayat (5), dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan diterima lengkap, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau pengalihan saham yang diberikan fasilitas Pengampunan Pajak. |
(2) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan, permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 25 ayat (5) dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Apabila sampai dengan tanggal 31 Desember 2017, Wajib Pajak tidak mengalihkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1), atas pengalihan hak yang dilakukan dikenai pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan. |
(1) | Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Gugatan, Putusan Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan dan belum dilunasi, tetap dijadikan dasar bagi:
| ||||||
(2) | Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Gugatan, Putusan Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan, tidak dapat dijadikan dasar bagi:
| ||||||
(3) | Dalam hal terdapat Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan yang mengakibatkan timbulnya kewajiban pembayaran imbalan bunga bagi Direktorat Jenderal Pajak, atas kewajiban dimaksud menjadi hapus. |
(1) | Dalam rangka Pengampunan Pajak, Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak secara jabatan membatalkan Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Surat Keputusan Keberatan. | ||||
(2) | Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, dan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, dan surat keputusan untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak dan Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan. | ||||
(3) | Pembatalan Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, dan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah Wajib Pajak memperoleh Surat Keterangan. | ||||
(4) | Pembatalan Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, dan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak, yang:
|
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan atas Putusan Banding, Putusan Gugatan, dan/atau Putusan Peninjauan Kembali yang terkait dengan hak dan kewajiban perpajakan untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir yang diterima oleh Wajib Pajak setelah memperoleh Surat Keterangan. | ||||||
(2) | Dalam surat pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan bahwa putusan dimaksud tidak dapat dijadikan dasar untuk:
|
(1) | Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak secara jabatan menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda yang belum dilunasi yang terdapat pada:
| ||||||||
(2) | Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | ||||||||
(3) | Penghapusan atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah Wajib Pajak memperoleh Surat Keterangan. | ||||||||
(4) | Penghapusan atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah yang wilayah kerjanya meliputi kantor pelayanan pajak yang mengadministrasikan penghapusan sanksi administrasi. | ||||||||
(5) | Kepala Kantor Wilayah menerbitkan Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi Secara Jabatan Dalam Rangka Pengampunan Pajak. | ||||||||
(6) | Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi Secara Jabatan Dalam Rangka Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diterbitkan untuk satu atau lebih produk hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||||
(7) | Dalam hal Surat Keterangan telah diterbitkan dan Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi belum diterbitkan, atas sanksi administrasi tersebut dihapuskan dengan tidak dilakukan penerbitan Surat Tagihan Pajak. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan telah memperoleh tanda terima Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8), tindakan pemeriksaan untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, ditangguhkan. |
(2) | Penangguhan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak tanggal diterimanya Surat Pernyataan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keterangan. |
(3) | Apabila Wajib Pajak memperoleh Surat Keterangan, tindakan pemeriksaan dihentikan terhitung sejak tanggal diterbitkannya Surat Keterangan. |
(4) | Penghentian pemeriksaan dilakukan dengan membuat laporan penghentian pemeriksaan dalam rangka Pengampunan Pajak. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan telah memperoleh tanda terima Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8), tindakan pemeriksaan bukti permulaan untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, ditangguhkan. | ||||||||||
(2) | Penangguhan pemeriksaan bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimulai sejak tanggal diterimanya Surat Pernyataan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keterangan. | ||||||||||
(3) | Berdasarkan Surat Keterangan, pemeriksaan bukti permulaan dihentikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(1) | Dalam hal Wajib Pajak yang sedang dilakukan penyidikan telah memperoleh tanda terima Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8), tindakan penyidikan untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, ditangguhkan. | ||||||||||||
(2) | Penangguhan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak tanggal diterimanya Surat Pernyataan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keterangan. | ||||||||||||
(3) | Berdasarkan Surat Keterangan, penyidikan dihentikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(1) | Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan tidak berhak:
| ||||||||
(2) | Dalam hal Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir setelah Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku, pembetulan surat pemberitahuan tersebut dianggap tidak disampaikan. | ||||||||
(3) | Dalam hal Wajib Pajak telah mengompensasikan kerugian fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak setelah Tahun Pajak Terakhir, atas Surat Pemberitahuan tersebut wajib dilakukan pembetulan. | ||||||||
(4) | Dalam hal Wajib Pajak telah mengompensasikan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b pada Surat Pemberitahuan untuk masa pajak setelah akhir Tahun Pajak Terakhir, atas Surat Pemberitahuan tersebut wajib dilakukan pembetulan. | ||||||||
(5) | Terhadap sanksi administrasi yang timbul akibat adanya pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menghapuskan sanksi administrasi dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak. |
a. | surat berharga Negara Republik Indonesia; |
b. | obligasi Badan Usaha Milik Negara; |
c. | obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah; |
d. | investasi keuangan pada Bank Persepsi; |
e. | obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; |
f. | investasi infrastruktur melalui kerja sama Pemerintah dengan badan usaha; |
g. | investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh Pemerintah; dan/atau |
h. | bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | pembayaran Uang Tebusan; |
b. | pengalihan Harta berupa dana dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
(1) | Wajib Pajak yang telah menggunakan tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar yang memuat:
| ||||||||
(2) | Laporan pengalihan dan realisasi investasi Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan secara berkala dengan ketentuan sebagai berikut:
| ||||||||
(3) | Laporan penempatan Harta tambahan yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan secara berkala dengan ketentuan sebagai berikut:
| ||||||||
(4) | Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan oleh Wajib Pajak atau kuasa yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar dapat menerbitkan dan mengirimkan surat peringatan paling cepat 1 ( satu) bulan setelah batas akhir periode penyampaian Surat Pernyataan dalam hal:
| ||||
(2) | Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar dapat menerbitkan surat peringatan dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dan/atau ayat (3) sampai dengan batas akhir penyampaian laporan dimaksud. |
(1) | Wajib Pajak harus menyampaikan:
| ||||
(2) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau menyampaikan tanggapan namun diketahui bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan/atau Pasal 13 ayat (5) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:
| ||||
(3) | Wajib Pajak yang tidak menyampaikan laporan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dianggap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan/atau Pasal 13 ayat (5) huruf a, dan terhadap Wajib Pajak dimaksud berlaku ketentuan sebagai berikut:
| ||||
(4) | Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menetapkan Pajak Penghasilan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak. | ||||
(5) | Pembayaran Pajak Penghasilan dan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411129 dan Kode Jenis Setoran 514. |
(1) | Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Uang Tebusan yang disebabkan oleh:
| ||||||
(2) | Terhadap kelebihan pembayaran Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak meneliti secara jabatan terhadap kebenaran kelebihan pembayaran Uang Tebusan tersebut. | ||||||
(3) | Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak mengembalikan kelebihan pembayaran Uang Tebusan dalam hal:
| ||||||
(4) | Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam laporan hasil penelitian. | ||||||
(5) | Terhadap laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang terdapat kelebihan pembayaran Uang Tebusan yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat pembetulan atau disampaikannya Surat Pernyataan kedua atau ketiga dimaksud. | ||||||
(6) | Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. |
(1) | Dalam hal ditemukan adanya kesalahan hitung dalam Surat Keterangan yang mengakibatkan kekurangan pembayaran Uang Tebusan, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat klarifikasi kepada Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran Uang Tebusan dimaksud dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat klarifikasi diterbitkan. |
(2) | Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir Wajib Pajak tidak melunasi kekurangan pembayaran Uang Tebusan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pembetulan atas Surat Keterangan yang berisi penyesuaian nilai Harta. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud. | ||||||||
(2) | Termasuk dalam pengertian Harta yang belum atau kurang diungkapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
| ||||||||
(3) | Dalam hal terdapat tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar. | ||||||||
(4) | Terhadap surat ketetapan pajak kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku ketentuan sebagai berikut:
| ||||||||
(5) | Pembayaran jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam surat ketetapan pajak kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411129 dan Kode Jenis Setoran 515. |
(1) | Terhadap Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir, berlaku ketentuan sebagai berikut:
| ||||||||
(2) | Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar. | ||||||||
(3) | Terhadap surat ketetapan pajak kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku ketentuan sebagai berikut:
| ||||||||
(4) | Pembayaran jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam surat ketetapan pajak kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411129 dan Kode Jenis Setoran 516. |
(1) | Bagi Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak dan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan menurut ketentuan Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, harus membukukan selisih antara nilai Harta bersih yang disampaikan dalam Surat Pernyataan dikurangi dengan nilai Harta bersih yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT PPh Terakhir, sebagai tambahan atas saldo laba ditahan dalam neraca. |
(2) | Harta tambahan yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan berupa aktiva tidak berwujud, tidak dapat diamortisasi untuk tujuan perpajakan. |
(3) | Harta tambahan yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan berupa aktiva berwujud, tidak dapat disusutkan untuk tujuan perpajakan. |
(1) | Segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak hanya dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan. |
(2) | Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan pada badan peradilan pajak. |
(1) | Menteri menyelenggarakan Manajemen Data dan Informasi dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak. |
(2) | Menteri memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain.? |
(4) | Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan Wajib Pajak sendiri. |
(5) | Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak. |
(1) | Lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 13 ayat (2) huruf b, ayat (5) huruf b, ayat (6) huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (7), dan Pasal 38 ayat (2) huruf b, serta ayat (3) huruf b, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Pedoman teknis yang diperlukan dalam rangka pengisian dokumen-dokumen dalam rangka Pengampunan Pajak yang tercantum dalam Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Juli 2016 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG P. S. BRODJONEGORO |