Mengurai Aspek Pajak Sektor Pertambangan

Pertambangan merupakan salah satu sektor ekonomi yang penting bagi pemerintah Indonesia. Ekonomi Indonesia, selain didorong oleh tingkat konsumsi masyarakatnya, juga dipengaruhi oleh komoditas hasil tambang.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertambangan dan penggalian pada semester II secara year on year tumbuh 2,03%. Namun, jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan PDB secara keseluruhan yang mencapai 5,12% di semester II, kontribusi pertumbuhan dari sektor pertambangan hanya 0,14%.
Kinerja sektor pertambangan juga memiliki peran penting terhadap penerimaan pajak nasional. Rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak di sektor pertambangan dan penggalian dalam rentang 2019–2023 mencapai 36,97%. Karena itu, penting bagi kita untuk memahami aspek pajak di sektor pertambangan.
Seperti halnya wajib pajak pada umumnya, pelaku usaha di sektor pertambangan memiliki sejumlah kewajiban administrasi perpajakan. Mulai dari wajib mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), hingga menghitung dan membayar pajak terutang, baik Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tergantung transaksi yang dilakukan.
Baca Juga: Profesional MUC Ulas Isu Transfer Pricing Sektor Pertambangan di UPN Veteran Yoyakarta
Menghitung PPh Badan Perusahaan Tambang
Penghitungan PPh perusahaan tambang mengacu pada ketentuan perpajakan yang berlaku umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU PPh. Sesuai ketentuannya, PPh Badan ditetapkan berdasarkan penghitungan penghasilan neto, penghasilan kena pajak, serta tarif yang berlaku.
Objek PPh Perusahaan Tambang
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022 yang telah diubah dengan PP Nomor 18 Tahun 2025, objek Pajak Penghasilan (PPh) di bidang usaha pertambangan meliputi penghasilan yang dihasilkan dari usaha atau yang diperoleh dari penjualan atau pengalihan hasil produksinya.
Selain itu, yang menjadi objek PPh usaha pertambangan juga termasuk penghasilan dari luar usaha dalam bentuk apa pun, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang PPh.
Menghitung Penghasilan Kena Pajak Perusahaan Tambang
Dalam menghitung besarnya PPh terutang perusahaan sektor pertambangan, ditentukan dengan cara penghasilan bruto yang menjadi objek PPh dikurangi dengan biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M), agar dapat diketahui nilai penghasilan kena pajak.
Baca Juga: OECD dan IGF Kolaborasi Rilis Kerangka Kerja Transfer Pricing Penjualan Mineral
Biaya Pengurang Penghasilan Bruto
Adapun jenis biaya yang termasuk kategori 3M di antaranya sebagai berikut:
- Biaya kegiatan penyelidikan umum
- Biaya kegiatan eksplorasi
- Biaya kegiatan studi kelayakan
- Biaya kegiatan operasi produksi
- Biaya kegiatan pascatambang
- Penyusutan maupun amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud atau tidak berwujud yang dimiliki dan digunakan untuk kegiatan 3M, serta amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan biaya lain dengan masa manfaat lebih dari satu tahun
- Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan
- Biaya yang dikeluarkan dalam rangka kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
- Cadangan biaya reklamasi
- Bunga
- Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional
- Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan
- Sumbangan fasilitas pendidikan
- Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
- Biaya pembangunan infrastruktur sosial
Wajib Pajak dalam tahap eksplorasi yang melakukan pengeluaran dengan masa manfaat lebih dari 1 tahun dapat mengkapitalisasi biaya dan mengamortisasi biaya tersebut
Kewajiban Memotong/Memungut PPh
Perusahaan sektor pertambangan juga memiliki kewajiban untuk memotong maupun memungut PPh, antara lain:
1. PPh Pasal 21
Dipotong oleh perusahaan atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan atau atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan.
2. PPh Pasal 23
Dipotong perusahaan tambang atas penggunaan jasa seperti jasa konsultan atau sewa alat berat.
3. PPh Pasal 4 ayat (2)
Dipungut perusahaan atas yang terkait dengan kegiatan operasional perusahaan, misalnya sewa atas tanah atau bangunan.
4. PPh Pasal 26
Dipotong apabila perusahaan melakukan pembayaran kepada pihak luar negeri.
PPN Pertambangan
Merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022, sejumlah barang tambang mentah (selain batu bara) telah ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak (BKP) bersifat strategis yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Barang tambang mentah tersebut meliputi barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
- Minyak mentah
- Gas bumi
- Panas bumi
- Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, feldspar, garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, obsidian, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat, talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatom, tanah liat, tawas (alum), tras, jarosit, zeolit, basal, trakhit, dan belerang
- Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit
- Liquefied Natural Gas (LNG) dan Compressed Natural Gas (CNG)
Kesimpulan
Sektor pertambangan memiliki kontribusi besar, baik terhadap perekonomian maupun penerimaan pajak negara. Dengan kompleksitas kegiatan usaha yang dijalankan, perusahaan tambang wajib memahami kewajiban perpajakan yang berlaku, mulai dari PPh Badan, kewajiban memotong dan memungut pajak, hingga ketentuan PPN atas barang tambang tertentu.
Pemahaman yang baik terhadap regulasi perpajakan akan membantu pelaku usaha pertambangan memenuhi kewajiban administrasi secara benar, mengoptimalkan kepatuhan, serta mengurangi potensi risiko sanksi. Di sisi lain, kepatuhan pajak dari sektor ini akan mendukung penerimaan negara yang berkelanjutan. (NZR/ASP/HFZ)