Ketika Upaya Hukum Paripurna Terbentur Sistem Arsip Pengadilan Pajak
Syifa Kamila Akbar,

Bayangkan Anda seorang pengusaha yang berjuang mendapatkan keadilan atas sengketa pajak yang sudah bertahun-tahun menguras energi dan biaya.
Setelah melewati proses panjang hingga ke Pengadilan Pajak, Anda masih merasa putusan yang dijatuhkan tidak adil. Satu-satunya harapan yang tersisa adalah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
Namun, bukannya mendapat titik terang, berkas permohonan Anda justru dikembalikan karena dianggap tidak lengkap. Padahal, semua dokumen sudah diverifikasi oleh Pengadilan Pajak sebelum diajukan.
Lantas, di mana letak kesalahannya? Apakah ini murni kelalaian administrasi, atau ada masalah lebih besar dalam sistem kearsipan Pengadilan Pajak?
Baca Juga: Peninjauan Kembali, Upaya Hukum Terakhir Perkara Pajak
Upaya Terakhir Mencari Keadilan Pajak
Proses Peninjauan Kembali (PK) merupakan harapan terakhir, alias yang paling paripurna bagi Wajib Pajak, untuk mendapatkan keadilan dalam sengketa perpajakan. Meskipun, sejatinya upaya pajak sudah final dengan terbitnya Putusan Pengadilan Pajak.
Tetapi, PK memberikan kesempatan terakhir bagi wajib pajak untuk mendapatkan keadilan, dengan dasar adanya bukti baru atau kekhilafan hakim dalam putusan sebelumnya.
Hanya saja, di balik harapan tersebut, ada realitas yang sering kali menghadirkan tantangan yang tidak ringan. Salah satu masalah utama yang muncul adalah pengembalian berkas oleh Mahkamah Agung akibat ketidaklengkapan dokumen.
Ujung pangkal dari persoalan ini datang dari sistem arsip pengadilan pajak. Pasalnya, pengadilan pajak merupakan institusi yang berwenang melakukan verifikasi awal proses PK.
Baca Juga: Simak, Tata Cara dan Prosedur Pengajuan Banding Perkara Pajak
Prosedur Peninjauan Kembali Pajak
Untuk mengajukan PK, wajib pajak harus melengkapi sejumlah dokumen penting, seperti Memori PK, fotokopi Putusan Pengadilan Pajak, bukti pembayaran biaya perkara, serta dokumen legalitas lainnya jika permohonan diajukan melalui kuasa hukum. Dokumen-dokumen ini menjadi syarat mutlak agar permohonan dapat diproses lebih lanjut.
Namun, sejak tahun 2024, banyak kasus pengembalian berkas PK oleh Mahkamah Agung dengan alasan tidak lengkap. Padahal, dokumen tersebut sudah diverifikasi dan diterima oleh Pengadilan Pajak.
Menurut catatan Panitera Pengadilan Pajak, hingga 25 September 2024 sebanyak 800 berkas permohonan PK dikembalikan Mahkamah Agung karena dinilai kurang lengkap.
Beberapa dokumen yang sering dianggap tidak lengkap antara lain fotokopi akta perusahaan, softcopy file RTF Memori PK, dan dokumen pendukung lainnya.
Menurut Pasal 15 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2018 (PERMA 7/2018), berkas PK harus disusun dalam dua bundel: Bundel A yang berisi dokumen-dokumen pendukung dari para pihak yang bersengketa dan Bundel B yang berisi dokumen yang akan dikirimkan ke Mahkamah Agung. Setiap bundel harus dijahit atau dijilid dengan rapi agar memudahkan verifikasi.
Dalam praktiknya, banyak berkas yang tidak lengkap berasal dari bundel yang seharusnya sudah diverifikasi oleh Pengadilan Pajak. Jika memang dokumen tersebut telah diterima secara lengkap di loket C Pengadilan Pajak, mengapa masih ada kelengkapan yang dipermasalahkan di tingkat Mahkamah Agung? Apakah ada celah dalam sistem administrasi yang menyebabkan berkas yang sudah lengkap menjadi tidak lengkap dalam proses pengiriman?
Baca Juga: Perhatikan Hal Ini Sebelum Ajukan Banding Perkara Pajak
Urgensi Reformasi Sistem Arsip Berbasis Digital
Dengan diberlakukannya sistem elektronik berdasarkan Surat Panitera MA Nomor 712/PAN/HK1.2.3/IV/2024, diharapkan permasalahan seperti ini bisa diminimalkan. Mulai 1 Mei 2024, berkas PK dan kasasi dikirimkan secara elektronik, tanpa perlu lagi pengiriman berkas cetak ke Mahkamah Agung.
Langkah ini tentu menjadi harapan besar bagi para pencari keadilan di bidang perpajakan. Digitalisasi seharusnya mampu menciptakan proses yang lebih cepat, sederhana, dan efisien. Selain itu, sistem ini dapat mengurangi risiko kehilangan atau kekurangan dokumen akibat faktor administratif.
Namun, tanpa perbaikan sistem arsip dan transparansi dalam proses verifikasi, mekanisme digital pun bisa mengalami kendala yang sama. Oleh karena itu, perbaikan menyeluruh dalam manajemen dokumen di Pengadilan Pajak tetap menjadi kebutuhan mendesak agar keadilan bagi Wajib Pajak tidak terhambat oleh kesalahan administratif yang seharusnya bisa dicegah.
Pada akhirnya, reformasi sistem administrasi perpajakan harus menjadi prioritas utama. Wajib Pajak yang sudah menjalani proses panjang mencari keadilan tidak seharusnya terbebani oleh birokrasi yang tidak efisien. Kepercayaan terhadap sistem hukum pajak hanya bisa terjaga jika prosesnya benar-benar transparan dan akuntabel.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.