Manufaktur dongkrak pajak
Kontribusi sektor pertambangan & pertanian masih minim
JAKARTA: Realisasi penerimaan pajak sepanjang semester I/2010 mencapai Rp264,1 triliun atau 44,5% dari target Rp661 triliun untuk tahun ini, dengan penerimaan terbesar dari sektor pengolahan atau manufaktur.
Adapun kontribusi pajak dari sektor pertanian dan kehutanan serta sektor pertambangan dan penggalian masih minim.
Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo baru-baru ini juga menyatakan akan mendalami penerimaan pajak dari kedua sektor usaha tersebut karena realisasi setoran pajaknya bertolak belakang dibandingkan dengan pertumbuhan sektor usahanya.
Direktur Kepatuhan, Potensi dan Penerimaan Ditjen Pajak, Sumihar Petrus Tambunan, menyebutkan setoran pajak dari sektor pertambangan dan penggalian sepanjang paruh pertama tahun ini baru sebesar Rp15,88 triliun, berada di urutan kelima setelah empat sektor lainnya.
Setoran pajak dari sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan bahkan turun menjadi Rp6,74 triliun dibandingkan dengan Rp7,62 triliun pada semester I tahun lalu.
"Kami belum menganalisis penyebab penurunan [setoran pajak dari sektor] ini. Namun, mungkin saja karena ada tarif diskon PPh untuk UMKM [usaha kecil menengah di sektor tersebut]," katanya, kemarin.
Untuk penerimaan dari sektor pertambangan, Sumihar menyebutkan, setoran pajak yang diterima hingga akhir semester I lalu masih dalam bentuk rupiah, sedangkan untuk pajak yang dalam bentuk dolar AS belum masuk ke dalam sistem modul penerimaan negara (MPN).
"Kami belum dapat dolarnya. [Pendapatan pajak dari sektor pertambangan] yang dolar belum masuk ke MPN," katanya.
Adapun penerimaan pajak dari sektor pengolahan yang memberikan kontribusi terbesar mencapai Rp95,85 triliun, disusul sektor perdagangan besar dan eceran, perantara keuangan, serta sektor transportasi, pergudangan, dan komunikasi. (lihat infografis)
Ahmad Erani Yustika, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (Indef), mengatakan rendahnya penerimaan pajak dari sektor pertambangan tidak bisa langsung diartikan sebagai akibat dari upaya penghindaran pembayaran pajak (tax avoidance) yang dilakukan pelaku usaha di sektor itu.
"Mereka [pelaku usaha di bidang pertambangan] memang pada awal tahun ini melakukan konsolidasi, setelah pada 2009 ada masalah yang berkaitan dengan beberapa kasus besar misalnya soal investasi yang merosot atau produksinya juga mulai turun," jelasnya.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa menilai tren penerimaan pajak tidak sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terus melaju.
Menurut dia, hal itu tecermin pada realisasi penerimaan pajak semester I/2010 yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak pada tahun lalu, pada saat kondisi perekonomian kurang bagus.
"Penerimaan pajak harus dibandingkan dengan kondisi perekonomian tahun-tahun sebelumnya. Bukan hanya fokus pada angka realisasinya."
Purbaya menambahkan di tengah fundamental perekonomian yang cukup baik, realisasi penerimaan pajak seharusnya minimal sudah 50%. "Kata orang [Ditjen] Pajak, kalau dalam 6 bulan pertama tidak sampai 50%, biasanya target tidak tercapai."
Persentase penerimaan pajak semester I/2010 naik tipis menjadi 44,5% dari total target penerimaan 2010, dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak periode yang sama 2009 yang mencapai 43,8% dari total target.
Pajak impor
Sementara itu, Sumihar menyebutkan tingginya kontribusi setoran pajak dari sektor pengolahan sejalan dengan besarnya peran sektor tersebut dalam perekonomian nasional, yang tecermin pada produk domestik bruto (PDB).
"Sumbangan dari sektor pengolahan memang selalu yang paling tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Porsi penerimaan PDB kita yang terbesar memang dari industri pengolahan," katanya.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi industri pengelolaan terhadap PDB pada kuartal I/2010 mencapai 25,4%, paling tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya.
Akan tetapi, Ahmad Erani menilai besarnya sumbangan setoran pajak dari sektor manufaktur bukan mencerminkan tingginya daya saing industri nasional. Dia memperkirakan penerimaan pajak terbesar dari sektor itu adalah untuk jenis pajak pertambahan nilai (PPN), bukan pajak penghasilan (PPh).
"Konten impor dalam industri kita itu 10%-60%, cukup besar. Bahan-bahan yang diimpor itu kan kena pajak impor. Jadi, itu [besarnya setoran pajak dari sektor pengolahan] belum tentu mencerminkan daya saing industri kita," jelasnya.
Dalam kesempatan berbeda, Dirjen Bea dan Cukai Thomas Sugijata menyebutkan realisasi pajak dalam rangka impor (PDRI) sepanjang semester I/2010 masih lebih bagus dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Menurut dia, hal tersebut mengindikasikan meningkatnya impor, terutama impor bahan baku dan barang modal. "Dengan adanya FTA, ada pengaruh terhadap tarif [bea masuk] menjurus ke 0%. Namun, dengan naiknya volume pajak, PDRI juga naik," tuturnya.
Harian Bisnis Indonesia
http://ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=9610&q=&hlm=1