Menilik Ketentuan Pajak Uang Pensiun
Permohonan uji materi atas Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) membawa angin segar bagi penerima pesangon dan uang pensiun.
Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) belum memutuskan perkara bernomor 170/PUU-XXIII/2025, jika dikabulkan, maka setiap uang pensiun maupun pesangon yang diterima tidak lagi menjadi objek PPh.
Artinya, uang pensiun maupun pesangon akan diterima utuh tanpa potongan pajak.
Terlepas dari perkara tersebut, penting bagi wajib pajak memahami ketentuan pajak yang berlaku terkait uang pensiun.
Lembaga Pengelola dan Penerima Uang Pensiun
Mayoritas pekerja di Indonesia mengikuti program pensiun yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan, baik melalui skema Jaminan Pensiun (JP) maupun Jaminan Hari Tua (JHT).
Selain BPJS Ketenagakerjaan, terdapat beberapa lembaga lain yang dapat mengelola dana pensiun, antara lain:
- Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), yang didirikan oleh perusahaan untuk karyawannya.
- Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), yang dikelola oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa.
- Lembaga khusus untuk pegawai negeri dan TNI/Polri.
Dalam terminologi pajak, uang pensiun merupakan imbalan yang diterima pensiunan atas pekerjaan yang dilakukan di masa lalu.
Adapun yang dimaksud dengan pensiunan meliputi orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima imbalan berupa uang pensiun secara periodik. Sementara ahli waris mencakup janda, duda, anak, maupun ahli waris lainnya.
Aspek Pajak Dana Pensiun
Terkait kewajiban perpajakan dana pensiun, terdapat dua aspek utama yang perlu diperhatikan wajib pajak:
- Perlakuan pajak atas uang pensiun yang diterima pensiunan atau karyawan.
- Aspek pajak atas iuran pensiun yang dibayarkan selama masih bekerja.
Uang Pensiun sebagai Objek PPh Pasal 21
Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas uang pensiun diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16/PMK.03/2010 serta PMK Nomor 168 Tahun 2023 (PMK 168/2023).
Terdapat dua pendekatan untuk pengenaan pajak atas uang pensiun, yakni atas uang pensiun yang dibayarkan secara berkala dan yang dibayarkan sekaligus.
Dasar Pengenaan PPh 21 Pensiun
Merujuk pada beleid tersebut, penghasilan berupa uang pensiun yang diterima secara berkala oleh pensiunan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 non-final. Sementara, penghasilan berupa uang pensiun yang dilakukan sekaligus dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 final
Pengenaan pajak ini juga berlaku atas sebagian uang pensiun yang diterima oleh peserta program pensiun yang masih berstatus pegawai (belum pensiun).
Adapun dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 atas uang pensiun yang diterima secara berkala adalah jumlah penghasilan bruto. Artinya:
- Bagi pegawai tetap yang menerima uang pensiun, dasar pengenaannya adalah jumlah yang diterima.
- Bagi pensiunan, dasar pengenaannya adalah seluruh uang pensiun yang diterima.
Bagi uang pensiun yang dibayarkan sekaligus, penghasilan yang menjadi objek pajak final termasuk
- Pembayaran sebanyak-banyaknya 20% dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus pada saat Pegawai sebagai peserta pensiun atau meninggal dunia,
- Pembayaran manfaat pensiun bulanan yang lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan secara sekaligus, dan
- Pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup.
Tarif PPh 21 Pensiun
Besaran tarif PPh Pasal 21 atas uang pensiun dibedakan berdasarkan jenis pembayaran uang pensiun yang dilakukan.
Untuk pembayaran uang pensiun yang dilakukan berkala, besaran tarif PPh Pasal 21 yang digunakan mengikuti ketentuan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) bulanan. Besarnya PPh Pasal 21 terutang dihitung menggunakan tarif efektif bulanan dikalikan dengan jumlah penghasilan bruto yang diterima oleh Pensiunan dalam satu masa pajak.
Jumlah bruto yang dimaksud adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pembayar uang terkait pensiun berkala dalam satu masa pajak.
Selain itu, terdapat ketentuan penghitungan PPh atas uang pensiun yang diterima secara berkala oleh pensiunan pada masa pajak terakhir.
Perhitungannya dilakukan seperti melakukan perhitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai di masa Desember. Yang jadi pembeda, penghasilan neto yang dihitung berasal dari seluruh jumlah bruto uang pensiun yang diterima dalam waktu satu tahun, dikurangi dengan biaya pensiun dan zakat atau sumbangan wajib keagamaan.
Untuk pembayaran uang pensiun yang dilakukan sekaligus, besaran tarif PPh Pasal 21 atas uang pensiun dibedakan berdasarkan jumlah uang pensiun yang diterima:
- Uang pensiun hingga Rp50 juta dikenakan tarif 0%
- Uang pensiun di atas Rp50 juta dikenakan tarif 5%
Ketentuan ini berlaku untuk jumlah kumulatif uang pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan dalam jangka waktu maksimal dua tahun.
Pemotongan PPh 21 Pensiun
Pemotongan dilakukan oleh DPPK, DPLK, atau lembaga lain yang membayarkan uang pensiun, baik atas pembayaran uang pensiun yang dilakukan secara berkala maupun sekaligus. Selain memotong, lembaga tersebut juga wajib menghitung, menyetorkan, dan melaporkan PPh Pasal 21 setiap Masa Pajak.
Kewajiban tersebut tetap berlaku meskipun nilai uang pensiun yang dibayarkan Rp50 juta ke bawah (tarif 0%).
Selanjutnya, pemotong wajib memberikan bukti pemotongan PPh 21 kepada penerima pensiun, baik diminta maupun tidak.
Biaya Pensiun sebagai Pengurang Penghasilan Bruto
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah perlakuan atas iuran pensiun yang dibayarkan selama karyawan masih aktif bekerja.
Terdapat pengecualian pengenaan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 atas iuran terkait program pensiun dan hari tua yang dibayarkan kepada dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua yang dibayar pemberi kerja.
Adapun dana pensiun tersebut yaitu yang telah disahkan oleh Menteri atau mendapat izin OJK. Sedangkan badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja tersebut pendiriannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, iuran pensiun yang dibayarkan karyawan melalui pemberi kerja diperbolehkan menjadi pengurang dalam menghitung penghasilan neto untuk satu tahun pajak.
Sebagai contoh, pemberi kerja mengikuti program Jaminan Pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan dengan detail iuran 2% dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1% dibayarkan oleh pegawai melalui pemberi kerja.
Komponen iuran pensiun sebesar 2% yang dibayarkan pemberi kerja setiap bulannnya tidak masuk ke dalam penghasilan bruto untuk menghitung PPh Pasal 21 bulanan. Sementara, komponen iuran pensiun 1% yang dibayarkan oleh pegawai, akan menjadi pengurang penghasilan untuk perhitungan ulang PPh Pasal 21 di masa Desember.
Bagi Pensiunan, terdapat biaya pensiun yang dapat menjadi komponen pengurang penghasilan bruto dalam perhitungan kembali PPh Pasal 21 di masa terakhir.
Merujuk Pasal 11 PMK 168/2023, besarnya iuran pensiun yang dapat dikurangkan ditetapkan 5% dari penghasilan bruto, dengan batas maksimal Rp2,4 juta per tahun atau Rp200.000 per bulan.
Apabila seseorang menerima uang pensiun dari lebih dari satu lembaga, maka biaya pensiun dihitung terpisah pada masing-masing lembaga.
Kesimpulan
Uang pensiun pada dasarnya tetap menjadi objek PPh Pasal 21, kecuali jika Mahkamah Konstitusi memutuskan sebaliknya dalam perkara uji materi yang sedang berlangsung.
Pemahaman yang baik terhadap ketentuan pajak ini penting agar pensiunan maupun karyawan aktif dapat memastikan kepatuhan pajak dan optimalisasi manfaat pensiun sesuai ketentuan yang berlaku. (ASP/NZR/HFZ)