News

Menyoal tax holiday



Menyoal tax holiday

Insentif pajak bukan jaminan masuknya modal asing ke Indonesia

Persoalan tax holiday kembali marak diberitakan di berbagai media dengan tujuan menarik investor mau menanamkam modalnya di Indonesia. Perdebatan perlu tidaknya diberikan tax holiday bagi dunia usaha seringkali menjadi persoalan yang tidak pernah selesai.

Padahal mau tidaknya investor menanamkan modal tidak semata-mata didasari pada aspek ada tidaknya tax holiday.

Sejak UU No. 1/1967 tentang PMA diganti dengan UU No. 25/2007, fasilitas perpajakan yang diberikan kepada investor adalah berupa pengurangan penghasilan neto, pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, pembebasan atau penangguhan PPN atas impor barang modal, penyusutan atau amortisasi yang dipercepat,

dan keringanan PBB khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau kawasan tertentu (Pasal 18).

Lalu, Pasal 31A UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh mengatur bahwa Wajib Pajak (WP) yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah tertentu diberi fasilitas perpajakan pertama, pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang dilakukan; kedua, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; ketiga, kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 tahun, dan keempat, pengenaan PPh dividen 10% atau lebih rendah menurut perjanjian perpajakan.

Bahkan pemerintah secara tegas menerbitkan PP 1/2007 yang diubah dengan PP 62/2008 mengenai fasilitas PPh untuk penanaman modal di bidang-bidang tertentu dan atau di daerah tertentu. Fasilitas tersebut tampaknya dipandang kurang oleh dunia usaha sehingga perlu fasilitas lain berupa pembebasan pajak (tax holiday).

Menyoal tax holiday yang terus mengemuka, barangkali perlu diberikan contoh perbandingan fasilitas pajak yang diatur dalam UU PPh maupun tax holiday yang diminta dunia usaha. Misalnya, tahun 2007 A Corporation, sebuah perusahaan Hong Kong, menanamkan modalnya di Indonesia sebesar Rp. 100 miliar dengan mendirikan PT. ABC di bidang industri garmen.

Berdasarkan fasilitas tax holiday, tentu saja tidak ada PPh perusahaan untuk jangka waktu 5 tahun walaupun perusahaan mendapatkan untung. Sebaliknya berdasarkan fasilitas pajak, menurut PP 1/2007, PT ABC akan mendapatkan pengurangan penghasilan neto, penyusutan dipercepat dan kompensasi kerugian sampai 10 tahun.

Seandainya tahun 2007 sampai tahun 2009 PT ABC mengalami kerugian masing-masing sebesar 20, 15, dan 5 dan tahun 2010 sampai 2012 mendapat untung masing-masing sebesar 5, 15 dan 30, maka selama 5 tahun (2007 sampai 2011) PT ABC tidak membayar pajak. PT ABC baru dikenakan pajak pada 2012 dengan tarif tertinggi misalkan 30%.

Untuk kasus yang sama, apabila PT ABC mendapatkan fasilitas pajak sesuai UU PPh jo. PP 1/2007, PT ABC akan membayar PPh nihil dari tahun 2007 sampai tahun 2012. Artinya, dengan 5 tahun skema tax holiday, PT ABC harus bayar pajak yaitu PPh Badan dengan rate sampai 30% karena tidak ada lagi kerugian yang boleh dikompensasikan dalam tahun 2012. Sementara itu, menurut PP 1/2007, dalam tahun 2012 PT ABC belum membayar pajak karena masih ada kerugian.

Dengan contoh kasus di atas, disimpulkan bahwa fasilitas pajak yang diatur dalam Pasal 31A UU PPh ternyata jauh lebih baik dibandingkan pemberian tax holiday yang diinginkan kalangan dunia usaha. Dengan kata lain, tax holiday tidak memberikan jaminan harapan akan masuknya modal asing ke Indonesia.

Banyaknya usulan soal insentif pajak tentu boleh-boleh saja. Akan tetapi, perlu diperhatikan karena persoalannya tidak sesederhana seperti yang diinginkan dunia usaha.

UU menegaskan bahwa insentif pajak dapat diberikan, tetapi dengan kriteria yang salah satunya adalah berupa industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Menentukan industri yang tergolong pionir tentu tidak mudah dan pemerintah saat ini belum selesai merumuskannya. Diperlukan aturan yang jelas serta syarat-syarat yang sangat ketat. Selain itu perlu dikaji pula bagaimana dampaknya secara luas. Oleh karena itu, membicarakan insentif pajak boleh saja sepanjang mempunyai tujuan dan syarat yang sangat jelas.

Kepastian hukum

Setiap negara tentu memerlukan investasi asing seperti halnya Indonesia. Sejak UU PMA diberlakukan, terlihat hukum telah membuktikan kemampuannya mengarahkan dan mengatur strategi pembangunan. Perbaikan iklim investasi sangat diharapkan guna melanjutkan program pembangunan yang telah disusun.

Jika ingin diurutkan, iklim investasi yang diharapkan dunia usaha umumnya adalah pertama, memangkas high cost economy; kedua, biaya infrastruktur seperti transportasi dan telekomunikasi; ketiga, faktor buruh (tenaga kerja) maupun ketentuan ketenagakerjaan; keempat, kecepatan proses perizinan; kelima, kepastian hukum dalam berusaha; keenam, pajak.

Artinya, persoalan kebijakan pajak bagi investor sering kali tidak direspons dengan baik karena tidak sesuai dengan kebutuhan investor. Lalu, apa yang paling dibutuhkan?

Mengambil contoh investor bidang perkebunan saat berlakunya UU PMA 1967, para penanam modal enggan menanamkan modalnya di Indonesia dengan empat alasan yaitu kepastian hukum, keuntungan, stabilitas politik-ekonomi, dan kesuburan tanah (Prof. Charles Himawan, 2003).

Kepastian hukum di sini terkait bagaimana kepastian memperoleh hak guna usaha (HGU) yang menjadi dualisme kewenangan apakah dikeluarkan oleh Departemen Pertanian atau Departemen Dalam Negeri.

Demikian juga dengan UU Kepailitan, yang sempat heboh karena memailitkan perusahaan Asuransi Manulife yang cukup sehat hanya karena ketentuannya yang dipandang tidak memiliki kepastian hukum yang jelas. UU ini pun akhirnya diamendemen.

Bahkan ketika UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah diberlakukan, timbul konflik antarprovinsi dengan kabupaten/kota mengenai perbedaan penafsiran Pasal 11 Ayat 2 yang memberikan kewenangan secara wajib kepada kabupaten atau kota untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal.

Akhirnya, segala kebijakan penanaman modal yang diinginkan investor baik dari dalam maupun dari luar negeri, pajak bukanlah merupakan faktor penentu. Kepastian hukum merupakan faktor dominan yang diharapkan semua pihak.

Bisnis Indonesia

http://ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=7785&q=&hlm=1


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP

Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.
dari server baru