Pajak sewa pesawat bebani maskapai
Konsumen jadi sasaran kenaikan biaya
JAKARTA: Maskapai penerbangan nasional keberatan terhadap pajak sewa pesawat udara sebesar 20% mulai 1 Januari 2010, yang ditetapkan dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Emirsyah Satar menyatakan seluruh maskapai nasional keberatan terhadap with holding tax atau pajak sewa pesawat karena menimbulkan biaya tambahan yang cukup besar.
"Peraturan Dirjen Pajak tersebut harus ditinjau lagi, paling tidak jangan diberlakukan secepat itu," kata Emirsyah yang juga Dirut PT Garuda Indonesia, Rabu.
Menurut dia, negara lain tidak ada yang mengenakan pajak sewa pesawat karena perusahaan penyewaan pesawat (lessor) mendaftarkan pesawat yang dimilikinya sebagai special purpose vehicle (SPV), sehingga mendapat perlakuan khusus perpajakan.
"Di Indonesia, SPV yang dikenai pajak definisinya tidak jelas sehingga semuanya dikenakan pajak," ujar Emirsyah.
Dia menerangkan pengenaan pajak sewa pesawat sebesar 20% akan menurunkan daya saing maskapai, sekaligus merugikan konsumen angkutan udara.
Emirsyah memperkirakan seluruh maskapai nasional harus mengeluarkan dana sekitar US$96 juta per tahun untuk biaya tambahan itu. Perkiraan itu dengan asumsi 400 unit pesawat sipil di Indonesia berstatus sewa dari total 500-600 unit pesawat yang beroperasi. Saat ini, harga sewa pesawat termurah rata-rata US$100.000 per bulan sehingga total ongkos sewa 400 pesawat itu mencapai US$40 juta. "Berarti pajak 20% dari angka tersebut adalah US$8 juta per bulan dan jika dikalikan dengan 12 bulan, muncul kewajiban US$96 juta per tahun," paparnya.
Emirsyah mengatakan harga sewa pesawat berteknologi lebih canggih diperkirakan US$150.000 per bulan, sehingga dengan asumsi kena pajak 20% maka sewa pesawat akan menjadi US$180.000 per bulan.
"Bila ini yang terjadi, maskapai domestik pasti akan membebankan pajak itu kepada konsumen sehingga tarif penerbangan juga akan naik," ujarnya.
Untuk itu, dia berpendapat peraturan Dirjen Pajak itu harus dihapuskan karena akan merugikan konsumen dan maskapai penerbangan di dalam negeri.
Segera dibahas
Menanggapi keresahan maskapai tersebut, Departemen Perhubungan berjanji segera membahas masalah perpajakan itu dengan Departemen Keuangan.
"Kami segera membahasnya dengan Departemen Keuangan, tentunya setelah memperoleh masukan dari INACA," kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Dephub Bambang S. Ervan.
Aturan perpajakan itu dinilai memberatkan maskapai penerbangan yang telah menandatangani kontrak penyewaan pesawat udara secara jangka panjang. Sejumlah maskapai yang telah menandatangani kontrak sewa pesawat antara lain Garuda, Mandala Airlines, Batavia Air, dan Sriwijaya Air.
Namun, Bambang meminta maskapai menyampaikan permasalahan dengan perhitungan yang jelas dan transparan tentang masalah pajak tersebut. "Dephub mengharapkan INACA menyampaikan permasalahan dengan perhitungan yang jelas dan transparan," tuturnya.
Sekjen INACA Tengku Burhanuddin sebelumnya mengatakan maskapai kini resah terhadap rencana Ditjen Pajak tersebut. "Maskapai resah karena harus membayar pajak 20% untuk sewa pesawat dan membayar penuh biaya sewa kepada pemilik," katanya.
Dia mengatakan maskapai akan menanggung biaya tambahan untuk sewa pesawat yang sebelumnya tidak dikenai pajak. "Kalau sewa beberapa pesawat yang nilainya US$1 juta, maskapai harus membayar US$1,2 juta," ungkapnya.
Ditjen Pajak diminta meninjau kembali aturan itu untuk meringankan beban maskapai.
Bisnis Indonesia
http://ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=7784&q=&hlm=1