Petunjuk Teknis Penghitungan Bruto Disiapkan
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tengah mempersiapkan penerbitan aturan turunan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain Menghitung Peredaran Bruto.
Aturan dalam peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Pajak ini diharapkan bisa mengakhiri polemik mengenai implementasi PMK tersebut.
Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Yunirwansyah menjelaskan bahwa aturan yang bakal diterbitkan bulan ini berisi tentang penjelasan secara mendetail mengenai mekanisme pelaksanaan metode 'cara lain' menghitung peredaran bruto.
Pria yang kerap disapa Wawan ini mencontohkan, di dalam PMK 15/2018 yang memuat delapan cara untuk menghitung peredaran bruto dan belum diatur tahapan pelaksanaan delapan metode tersebut.
Sementara itu, dalam aturan teknis ini, otoritas pajak telah menetapkan mekanisme pelaksanaannya yang akan dilakukan secara urut dari metode pertama hingga ke delapan.
"Nanti di dalam aturan ini, proses pelaksanaannya akan dilakukan secara urut, misalnya kalau cara nomor 1 tak bisa dilakukan baru cara kedua, ketiga, dan selanjutnya," kata Yunirwansyah di Lombok, Rabu (19/4) malam.
Adapun delapan metode penghitungan alternatif yang bisa menjadi rujukan pemeriksa pajak sesuai PMK itu meliputi penelusuran transaksi tunai dan nontunai; sumber dan penggunaan dana; satuan atau volume; penghitungan biaya hidup; pertambahan kekayaan bersih; berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) atau hasil pemeriksaan tahun pajak sebelumnya; proyeksi nilai ekonomi; atau penghitungan rasio.
Yunirwansyah juga mengakui, meski telah dipertegas dalam aturan teknis tersebut, ada satu poin yang berpotensi bermasalah karena ada unsur subjektivitas dari pemeriksa. Poin yang dimaksud adalah penghitungan peredaran bruto menggunakan proyeksi nilai ekonomi.
Menurutnya, mekanisme untuk menghitung proyeksi nilai ekonomi ini misalnya dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah variabel misalnya asumsi makro ekonominya mulai dari inflasi termasuk kondisi ekonomi.
"Memang agak sedikit subjektif, tetapi pemeriksaannya tetap objektif, lagian paling sampai metode keenam sudah selesai. Poin ke tujuh ini sangat jarang," jelasnya.
Cara lain penghitungan peredaran bruto diterapkan untuk memberikan pegangan kepada pemeriksa pajak saat melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang tak melakukan pembukuan atau pencatatan. Aturan ini juga mendorong kepada wajib pajak supaya melakukan mekanisme tersebut.
"Jadi ini hanya untuk pemeriksaan saja, sekaligus memberikan kepastian bagi pemeriksa maupun wajib pajak," jelasnya.
Di pihak lain, pengenaan PPh final bagi wajib pajak usaha kecil dan menengah akan dikenakan opsional dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.46/2013. Wajib pajak UKM nantinya bisa memilih untuk dikenakan tarif final yang rencananya akan diubah dari 1% ke 0,5% atau menggunakan mekanisme secara umum yang artinya WP UKM melakukan pencatatan atau pembukuan.
"Kan ada WP yang merugi juga, nanti akan diterapkan opsional pakai final atau cara normal, jadi kalau rugi WP ya enggak bayar," kata Yunirwansyah.
Selain itu, lanjut Yunirwansyah, pengenaan tarif final bagi WP UKM atau yang omsetnya di bawah Rp4,8 miliar juga akan dibatasi. WP UKM tak bisa menggunakan tarif tersebut secara terus menerus, tetapi dibatasi masa waktu misalnya tiga tahun.
"Setelah tiga tahun mereka harus bisa melakukan pencatatan atau pembukuan, jadi ini harus mendidik," jelasnya.
Konsep ini lanjut, Yunirwansyah diterapkan untuk menciptakan keadilan bagi WP, artinya pemerintah terus mendorong supaya WP juga disiplin untuk melakukan pembukuan.
Format regulasi yang sudah masuk tahap akhir pembahasan ini juga bertujuan supaya tarif PPh final ini benar-benar digunakan oleh WP UKM.
Bisnis Indonesia