Realisasi Pemungutan Pajak Anjlok
JAKARTA. Dengan dirilisnya realisasi pertumbuhan ekonomi 2017 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) awal bulan ini, kinerja sejumlah indikator Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak terpantau turun tajam dibandingkan dengan beberapa tahun belakangan.
Yon Arsal Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyatakan, salah satu faktor yang memengaruhi penerimaan pajak adalah pertumbuhan ekonomi. Rumus idealnya, setiap 1% pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), seharusnya bisa berdampak ke 1% penerimaan pajak.
Tetapi tahun lalu, dengan realisasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,07% dan infl asi 3,6%, seharusnya pertumbuhan alamiah penerimaan pajak sebesar 8,67%.
Namun yang terjadi, realisasi penerimaan pajak hanya sebesar Rp1.151 triliun (itupun sudah termasuk PPh migas) atau hanya tumbuh 4,08%, yang berarti pertumbuhannya masih di bawah pertumbuhan penerimaan alamiah.
"Kalau kita anggap elastisitas itu sama dengan 1, maka setiap 1% pertumbuhan ekonomi berdampak ke penerimaan pajak sebesar 1%, tetapi yang terjadi tahun lalu kan lain," kata Yon di Jakarta, Senin (12/2).
Dengan kondisi pertumbuhan penerimaan pajak yang jeblok karena di bawah pertumbuhan alamiah, maka penerimaan pajak juga dipastikan kian tak elastis.
Sebagai ilustrasi, jika pertumbuhan penerimaan pajak hanya 4,08% dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,07%, maka kinerja tax buoyancy hanya 0,8%.
Kinerja tax buoyancy (elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan domestik bruto) yang rendah menunjukan kemampuan memungut pajak pemerintah masih sangat lemah. Rentetan kinerja yang anjlok itu juga memengaruhi rasio pajak yang tercatat tumbuh paling rendah sejak 2009.
Jika dihitung, penerimaan pajak tahun lalu sebesar Rp1.151 triliun dan PDB sebesar Rp13.588 triliun maka rasio pajak terhadap PDB hanya 8,4%. Angka itu semakin rendah jika, mengeluarkan variabel penerimaan PPh migas, maka rasio pajak sebenarnya hanya 8,1%.
Selain persoalan kinerja penerimaan pajak yang kian jeblok, kalau dilihat hasil laporan Badan Pusat Statisik (BPS) awal bulan ini, pertumbuhan penerimaan Pajak Pertembahan Nilai (PPN) juga tak sejalan dengan kemampuan konsumsi masyarakat.
Pertumbuhan penerimaan PPN tumbuh sekitar 16%, sedangkan konsumsi rumah tangga malah tumbuh 4,95% atau terendah dalam 5 tahun terakhir.
Terkait hal itu, Yon menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi memang bukan satu-satunya faktor dalam menopang penerimaan pajak. Faktor lain yakni aktivitas extra effort, sebagai bagian untuk menaikkan tingkat kepatuhan, juga menjadi penentu pertumbuhan penerimaan pajak khususnya PPN.
"Artinya kenapa [pertumbuhan] konsumsi tidak sama dengan PPN, nah ini selain karena pertumbuhan real, juga karena perbaikan administrasi yang menyebabkan PPN tumbuh dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga," jelas Yon.
Yon juga menjelaskan, implementasi pengampunan pajak yang berakhir Maret tahun kemarin juga berimplikasi pada pertumbuhan penerimaan PPN. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu faktor utama dalam menopang penerimaan pajak.
"Ada pengusaha yang sadar kalau omset mereka melebihi pengusaha kena pajak [PKP], jadi mereka akhirnya mulai membayar PPN tahun lalu," imbuhnya.
Jika menilik data penerimaan 2017, realisasi PPN sebesar Rp480,73 triliun atau tumbuh 16,62% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kinerja PPN tersebut ditopang oleh penerimaan PPN dalam negeri sebesar Rp315,37 triliun tumbuh 15,52% dan PPN impor Rp149 triliun atau tumbuh 21,36%.
Perlu Gebrakan
Rapor kinerja penerimaan pajak yang kian anjlok ini perlu disikapi pemerintah dengan membuat gebrakan besar supaya kinerjanya berangsur positif.
Apalagi, dengan target pertumbuhan penerimaan pajak tahun ini yang membengkak sebagai dampak dari shortfall penerimaan pajak tahun lalu.
Rendahnya tax buoyancy sebenarnya harus menjadi perhatian. Pertama, artinya untuk mencapai pertumbuhan penerimaan pajak yang diharapkan, maka dibutuhkan pertumbuhan PDB yang lebih tinggi lagi. Padahal, peluang meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga sedang mengalami tekanan.
Kedua, upaya untuk menciptakan sistem pajak yang memberikan ruang pada aktivitas ekonomi juga belum tentu berhasil dalam meningkatkan penerimaan pajak jangka pajak. Di banyak negara, reformasi pajak berorientasi pada pertumbuhan dan aktivitas ekonomi dengan asumsi bisa meningkatkan basis pajak yang diharapkan memberikan penerimaan lebih besar.
Ketiga, sudah saatnya ada penelaahan yang lebih baik mengenai rendahnya tax buoyancy. Hal ini bisa diurai dari melihat kaitan antara komposisi sektor ekonomi, komposisi sektor tenaga kerja, serta komposisi struktur penerimaan pajak per sektor.
Bisnis Indonesia