Pajak Barang Dan Jasa Dicabut, Ini Dampaknya Bagi Malaysia
JAKARTA. Beberapa hari setelah meraih kemenangan mengesankan dalam pemilu Malaysia, pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad sudah memberi manuver fiskal yang berpotensi berisiko dengan menggantikan pajak barang dan jasa (goods and service tax/GST) dengan bea penjualan dan jasa.
Pekan ini, Kementerian Keuangan mengatakan akan menurunkan GST menjadi nol persen mulai tanggal 1 Juni 2018 dan memperkenalkan kembali pajak penjualan untuk menutupi kekurangan pendapatan.
Kenaikan harga minyak, hal yang positif bagi pengekspor energi seperti Malaysia, juga akan mendukung pemasukan, kata kementerian itu.
Namun, sejumlah analis tidak yakin.
Ketika dikombinasikan dengan perputaran dari bantuan langsung tunai, subsidi bahan bakar yang dijanjikan oleh pemerintah saat ini serta besarnya hutang eksternal negara dan rendahnya cadangan, pajak penjualan tidak terlalu menenangkan, kata Hamish Pepper, Head of Forex and Emerging Market Macro Strategy Research untuk Asia di Barclays.
"Kita bisa melihat defisit fiskal Malaysia tahun depan setidaknya 4,3% terhadap PDB," dia memperingatkan. Jumlah tersebut meningkat dari desifit 3% di tahun 2017.
"Posisikan itu dalam konteks utang pemerintah terhadap PDB yang sudah berada di atas 50%," dan gambaran akhirnya mengkhawatirkan, tambahnya.
Kemerosotan fiskal paska pemilu adalah faktor utama untuk investasi asing, kata Pepper. Meski terlalu awal untuk menarik segala kesimpulan, "hal itu sangat berada di tangan pemerintah untuk melakukan hal yang tepat bagi investor dan lembaga pemeringkat," tambahnya.
Jika GST dihapuskan "tanpa langkah penyesuaian," itu akan memberi peringkat negatif ke Malaysia, menurut Moody's Investor Services.