Yayasan, Organisasi Nirlaba yang Tak Luput dari Urusan Pajak
Lazimnya, ketika ingin membentuk organisasi yang orientasinya bukan untuk profit, orang akan memilih Yayasan sebagai bentuk badan hukumnya.
Misalnya, ketika ingin mendirikan Sekolah, Madrasah, Pesantren atau lembaga lain yang berorientasi pada sosial dan lingkungan, umumnya badan hukum yang dipilih adalah Yayasan.
Tapi meskipun nirlaba alias tanpa untung, bukan berarti Yayasan bebas dari segala urusan pajak. Ada beberapa urusan pajak yang tetap melekat pada Yayasan dan organisasi non profit lainnya.
Tulisan ini akan menguraikan aspek pajak yang perlu diperhatikan oleh pengelola Yayasan. Tidak hanya soal urusan administratif, tetapi juga untuk urusan substantif perpajakan.
Kewajiban Memiliki NPWP bagi Yayasan
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan. Tujuannya, untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
Yayasan merupakan bentuk badan hukum yang termasuk ke dalam kategori Wajib Pajak Badan. Karenanya, sebagai Wajib Pajak, Yayasan juga harus mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pasalnya, dalam konteks pajak, Yayasan diperlakukan setara dengan entitas bisnis lainnya, seperti Perseroan Terbatas, Persekutuan, Koperasi maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
NPWP merupakan identitas yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) agar Yayasan dapat menjalankan kewajiban administratif perpajakannya. Adapun pendaftaran sebagai Wajib Pajak dilakukan secara self-assessment oleh Yayasan ke DJP.
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Pajak atas Penghasilan Yayasan
Penghasilan tertentu yang diterima oleh Yayasan merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh).
Penghasilan Yayasan yang Kena Pajak
Beberapa jenis penghasilan Yayasan yang dikenai pajak di antaranya:
- Hasil dari kegiatan operasional atau usaha yang dijalankan Yayasan
- Pendapatan pasif seperti bunga deposito, obligasi, atau Surat Berharga Indonesia (SBI)
- Penghasilan dari persewaan aset atau pemberian izin penggunaan properti
- Keuntungan dari penjualan atau pengalihan kepemilikan aset
Penghasilan Yayasan yang Tidak Kena Pajak
Sementara itu, ada beberapa penghasilan yang tidak dikenai pajak, sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh sebagaimana yang terakhir diubah dengan UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yaitu:
- Bantuan atau sumbangan atau bantuan dari lembaga zakat resmi, termasuk zakat, infak dan sedekah yang diterima badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan pemerintah
- Hibah
- Dividen atau pembagian laba dari entitas lain yang berdomisili di Indonesia
- Bantuan atau hibah yang bersumber dari pemerintah
Bantuan, sumbangan atau hibah yang dibebaskan pajak tersebut berlaku sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan dengan pemberinya.
Pajak atas Sisa Hasil Usaha
Sama seperti badan hukum lainnya, Yayasan juga lazim memperhitungkan jumlah seluruh penghasilan dengan biaya yang dikeluarkan. Dalam konteks Yayasan, selisih positif antara jumlah penghasilan dengan jumlah biaya disebut Sisa Lebih.
Sisa Lebih Usaha yang Bebas PPh
Merujuk Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2020, sisa hasil usaha Yayasan dapat dikecualikan dari objek PPh. Syaratnya, sisa hasil usaha tersebut diinvestasikan kembali untuk kepentingan pengembangan Yayasan.
Berikut ini beberapa kriteria pembebasan PPh atas sisa lebih usaha Yayasan.
1. Bentuk Investasi
Bentuk investasi tersebut di antaranya berupa pembangunan serta pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan maupun penelitian dan pengembangan di Indonesia.
Pengadaan sarana dan prasarana berupa:
- Peralatan kelas
- Barang/peralatan pendidikan maupun penelitian dan pengembangan
- Peralatan olahraga
- Komputer
- Kendaraan bus
- Minibus atau kendaraan sejenis untuk antar jemput mahasiswa
- Kendaraan untuk pegawai tertentu
Pembangunan dan pengadaan prasarana berupa:
- Gedung
- Tanah
- Laboratorium
- Perpustakaan
- Ruang komputer
- Kantor
- Asrama mahasiswa
- Rumah dinas guru, dosen atau karyawan
Kegiatan tersebut harus bersifat terbuka kepada pihak manapun yang mendapat pengesahan dari instansi terkait.
2. Jangka Waktu Realisasi Investasi
Batas waktu investasi sisa lebih Yayasan maksimal dilakukan dalam empat tahun sejak sisa hasil lebih diperoleh.
3. Dialokasikan untuk Dana Abadi
Salah satu bentuk penggunaan dana alokasi untuk pembangunan maupun sarana dan prasarana adalah untuk penggunaan dana abadi Yayasan. Dana abadi merupakan dana yang sifatnya abadi untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan maupun penelitian dan pengembangan yang tidak dapat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional.
4. Menyampaikan Laporan
Yayasan wajib menyampaikan laporan jumlah sisa lebih yang digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana ke Kantor Pajak tempat terdaftar sebagai lampiran SPT Tahunan Badan. Selain itu, Yayasan juga harus membuat catatan mengenai rincian penggunaan sisa lebih yang dilengkapi dengan bukti pendukung.
5. Sisa Lebih Usaha yang Dikenakan PPh
Jika sisa lebih usaha Yayasan tidak diinvestasikan atau diinvestasikan tetapi tidak sesuai ketentuan, maka sisa lebih usaha Yayasan tersebut wajib dilaporkan sebagai tambahan objek PPh dalam SPT Tahunan PPh dan terutang PPh Badan ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Contoh:
Yayasan A memperoleh sisa lebih usaha di Tahun 2018 sebesar Rp 1.500.000.000. Selama tahun 2019-2022, Yayasan A telah menggunakan sisa lebih tersebut untuk pembangunan dan pengadaan sarana prasarana sesuai ketentuan dengan jumlah Rp 1.450.000.000.
Sehingga, terdapat sisa lebih usaha sebesar Rp 50.000.000 di akhir 2022 yang belum digunakan. Dengan demikian, sisa lebih tahun pajak 2018 yang belum digunakan tersebut diakui sebagai objek PPh Badan di 31 Desember 2022 dan dilaporkan sebagai penghasilan dalam SPT Tahunan PPh Badan 2022 sebagai koreksi fiskal negatif.
Ketentuan PPN dalam Operasional Yayasan
Umumnya, jasa atau layanan yang disediakan Yayasan tergolong sebagai Jasa Kena Pajak (JKP) namun mendapat fasilitas berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN)-nya tidak dipungut.
Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022, terdapat beberapa Jasa Kena Pajak yang dibebaskan PPN.
Dari daftar JKP yang dibebaskan PPN tersebut, beberapa di antaranya lazim diberikan oleh Yayasan, baik jasa di bidang pendidikan, kesehatan ataupun kegiatan sosial lain.
Berikut ini daftar JKP yang dibebaskan dari pungutan PPN:
- Jasa pelayanan kesehatan medis
- Jasa pelayanan sosial
- Jasa pengiriman surat dengan prangko
- Jasa keuangan
- Jasa asuransi
- Jasa pendidikan
- Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
- Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri
- Jasa tenaga kerja
- Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
- Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
- Jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum
- Jasa yang diterima oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia dalam rangka penyediaan data batas, peta hasil topografi, peta hasil hidrografi, dan foto udara wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.
Jasa pelayanan yang dibebaskan dari pengenaan PPN merupakan layanan sosial tertentu yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau organisasi nirlaba. (NZR/ASP/HFZ)