Pencairan Restitusi Akan Jadi 1 Bulan
JAKARTA. Proses pencairan restitusi akan dipangkas dari yang biasanya memakan waktu selama satu hingga dua tahun menjadi sekitar satu bulan. Selain bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pelaku usaha, upaya ini juga menjadi salah satu bagian dari reformasi perpajakan.
Adapun mekanisme percepatan pencairan restitusi ini dilakukan misalnya dengan menerapkan standar tertentu seperti bagi para wajib pajak atau tercatat memiliki reputasi patuh. Salah satu tolok ukurnya adalah seorang wajib pajak dinyatakan telah memenuhi dari aspek kepabeanan maupun pajaknya.
Direktur Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Fajar Doni mengatakan, mekanisme untuk mengukur tingkat kepatuhan wajib pajak yakni dengan proses kerja sama antara otoritas pajak dengan otoritas kepabeanan dalam berbagai macam kerja sama,
termasuk melakukan joint data dan analisis.
"Percepatan restitusi hanya kepada mereka yang punya MITA dan AEO," kata Fajar, Selasa, (27/3/2018).
Dalam konteks kepabeanan, ketentuan mengenai siapa saja yang berhak menerima percepatan pencairan restitusi pajak itu dibagi dalam dua kategori. Kategori pertama adalah perusahaan yang masuk dalam Mitra Utama kepabeanan. Kedua adalah authorized economic operator atau AEO.
MITA menurut Fajar adalah perusahaan yang memiliki reputasi yang baik selama enam bulan terakhir, tidak memiliki tunggakan perpajakan, dan pelanggaran perpajakan. Selain itu, perusahaan yang masuk kategori ini adalah perusahaan yang selama enam bulan terkahir berturut-turut berada di jalur hijau, Sedangkan AEO dinilai berdasarkan kepatuhan terhadap kepatuhan kepabeanan dan cukai termasuk berbagai sitem mulai dari pengelolaan data, keamanan kargo, keamanan pegawai. sampai sistem perencanaan dan pelaksanaan pemantauan, pengukuran, analisis, dan peningkatan sistem.
"Ada banyak benefit yang bisa didapatkan terkait hal ini, misalnya diakui oleh seluruh negara world custom forum, kemudahan audit, hingga kesempatan memperluas investasi,"jelasnya.
Dalam konteks pajak, otoritas pajak saat ini masih mempelajari rencana percepatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau restitusi kepada wajib pajak berisiko rendah.
Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Arif Yanuar mengatakan, fokus pendalaman yang dilakukan oleh pemerintah adalah mekanisme pengembalian sesuai dengan Pasal 17 C dan 17 D Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) serta Pasal 9 ayat 4 C Undang-Undang PPN. "Pelaksanaan dari pasal-pasal tersebut yang sedang kami pelajari," kata Arif belum lama ini.
Pasal 17 C UU KUP mengatur mengenai kriteria tertentu bagi wajib pajak. Kriteria ini diterapkan untuk penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Inti dari proses penelitian ini adalah penerbitan surat keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak paling lama tiga bulan untuk PPh atau satu bulan untuk PPN.
Pasal 17 D menjelaskan setelah dilakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Dirjen Pajak menerbitakan surat keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Sedangkan Pasal 9 ayat 4 C UU PPN menjelaskan mengenai pengusaha kena pajak (PKP) yang berisiko rendah.
PKP yang dimaksud sesuai ketentuan tersebut juga terkait dengan mekanisme mengenai penelitian pengembalian kelebihan pembayaran pajak. "Jadi pelaksanaan dari pasal-pasal tersebut," tukasnya.
Adapun, restitusi juga bagian dari upaya otoritas pajak untuk memperbaiki mekanisme pemeriksaan. Apalagi saat ini pemeriksaan sering menjadi sengketa dan tak jarang berakhir dengan sengketa di pengadilan pajak.
Seperti diketahui, tren sengketa pajak yang diajukan di pengadilan pajak terus meningkat. Tahun 2017 lalu, berdasarkan catatan Pengadilan Pajak, sengketa pajak yang diajukan oleh atau ditujukan ke Ditjen Pajak sebanyak 7.648 atau bertambah 568 sengketa dari 2016.
Kenaikan juga tampak dari jumlah sengketa yang telah diselesaikan, tahun lalu jumlah sengketa pajak yang diselesaikan turun dibandingkan dengan tahun lalu yakni dari 12.852 turun menjadi 10.859.
Bisnis Indonesia