Rencana Penggunaan Pajak Rokok untuk Tambal BPJS Belum Final
JAKARTA. Pemerintah menyatakan bahwa mekanisme penggunaan pajak rokok untuk menambal defisit penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih belum final.
Rencananya, mekanisme penyalurannya dilakukan dengan membagikan langsung pajak rokok ke JKN yang berada di daerah.
Direktur Dana Perimbangan Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Putut Hary Satyaka tak menampik rencana tersebut. Namun demikian, menurutnya, saat ini pembahasan terus berlangsung dan mekanisme penyaluran pajak rokok masih berupa draf dan belum final.
"Semuanya masih berupa draft dan belum ada yang final, karena perpres juga belum ditetapkan," kata Putut kepada Bisnis, pekan lalu.
Putut menyebut bahwa selama ini ada kecenderungan untuk menyamakan dana bagi hasil (DBH) cukai hasil tembakau atau CHT dengan pajak rokok. Padahal, kendati sama-sama berasal dari produk hasil tembakau, penggunaan dua jenis penerimaan ini untuk kesehatan mekanisme berbeda.
Mekanisme penggunaan DBH CHT sama seperti ketentuan sebelumnya yaitu digunakan oleh daerah minimal 50% untuk mendukung program JKN misalnya untuk fasilitas kesehatan maupun peningkatan kapasitas pelayanan. Dalam hal ini, daerah dapat DBH CHT untuk JKN secara langsung, sepanjang penggunaannya telah diikuti oleh petunjuk penggunaan yang telah diatur.
“Kalau pajak rokok, kami masih menunggu proses Keppres-nya,” ungkapnya.
Adapun untuk mengalokasikan dana bagi hasil (DBH) cukai hasil tembakau (CHT) dan pajak untuk jaminan kesehatan nasional atau JKN pemerintah mengklaim tak perlu persetujuan daerah. Walaupun cara itu bisa dilakukan dengan syarat pajak rokok bisa langsung disalurkan ke JKN yang berada di daerah.
Kepala Sub Direktorat Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Sunaryo menepis anggapan selama ini yang menyatakan bahwa pajak rokok hak pemerintah daerah, semua hal karena sifat cukai adalah pengendalian jadi sifatnya earmarking.
"Harusnya memang dibedakan antara pajak rokok dan DBH. Pajak rokok walaupun pajak daerah tetap earmarking," kata Sunaryo di Jakarta, Senin (13/8).
Meski telah sesuai dengan ketentuan, Sunaryo mengakui bahwa kebijakan ini akan berdampak ke jumlah dana yang akan diterima daerah baik dari DBH maupun pajak rokok. Dalam diskusi di internal otoritas fiskal, pemerintah telah berupaya melihat sejumlah variabel yang mendukung pengalokasian pajak rokok untuk JKN.
"Mana penyebabnya yang paling dominan, jangan sampai semuanya lari ke sini," ungkapnya.
Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan untuk mengalokasikan baik DBH CHT maupun pajak rokok untuk jaminan kesehatan. Kesehatan memang penting, tetapi idealnya pajak rokok harusnya digunakan untuk menunjang daerah penghasil tembakau.
"Karena itu adalah yang sebenarnya konsep dari dana bagi hasil ini. Kalau itu dilakukan ini juga berkaitan antara pusat dan daerah," imbuhnya.
Plt. Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Nugroho Wahyu Widodo sebelumnya mengatakan bahwa jika melihat ketentuan yang ada, penggunaan DBH CHT untuk tujuan kesehatan sudah ada pijakan hukumnya, sehingga tak perlu lagi izin ke daerah.
Pijakan yang dimaksudkan adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.07/2017 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Tunggakan Iuran Jaminan Kesehatan. Secara umum beleid yang diterbitkan tahun lalu itu memberikan ruang kepada pemerintah pusat untuk memotong dana alokasi umum dan dana bagi hasil atau DBH untuk mengatasi defisit dalam pelaksanaan JKN.
Pemotongan sedianya akan dilakukan kepada daerah yang memiliki tunggakan. Tunggakan tersebut adalah jenis tagihan yang sudah melampaui jangka setahun dan sudah dilakukan penagihan secara optimal oleh pihak BPJS. Mekanisme pemotongannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan.
http://koran.bisnis.com/read/20180814/433/827568/defisit-jaminan-kesehatan-nasional-penggunaan-pajak-rokok-belum-final