Opinion

Singapura Resmi Adopsi Amount B, Bagaimana dengan Indonesia? 

Choirunisa Nadilla, Meiliana |

Singapura Resmi Adopsi Amount B, Bagaimana dengan Indonesia? 

Melalui e-Tax Guide edisi 8, Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) secara resmi mengadopsi penerapan Simplified and Streamlined Approach (SSA) yang merupakan implementasi dari ketentuan Amount B yang dirumuskan OECD. Tujuannya, untuk mempermudah penentuan harga atas transaksi pemasaran dan distribusi rutin antarpihak afiliasi yang memenuhi syarat.

Amount B merupakan bagian dari Pilar 1, bersama dengan Amount A yang telah diinisiasi oleh OECD dan G20 sejak 2016. Amount A adalah mekanisme untuk mengalokasikan sebagian keuntungan perusahaan multinasional ke negara tempat konsumen berada. Implementasi Amount A cenderung lambat karena adanya penolakan dari AS.

Sedangkan, Amount B adalah mekanisme yang bertujuan untuk menyederhanakan dan menstandardisasi perlakuan pajak atas aktivitas pemasaran dan distribusi dasar, khususnya bagi entitas yang menjalankan fungsi penjualan rutin di pasar lokal. 

Berbeda dengan Amount A yang penuh penolakan, Amount B cenderung lebih diterima. Sejumlah negara sudah mulai merumuskan mekanisme ini di peraturan domestiknya, bahkan AS mulai mengadopsi aturan pada Desember 2024. 

Uji Coba Amount B di Singapura

Uji coba penerapan SSA secara resmi akan dimulai dari 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2028. Selama masa uji coba, Wajib Pajak boleh memilih untuk menggunakan SSA sepanjang memenuhi kondisi kualifikasi yang ditetapkan. 

Wajib Pajak yang menggunakan SSA diwajibkan mengacu pada Section 19 dan Lampiran Bab IV OECD Transfer Pricing Guidelines yang berjudul “Special considerations for baseline distribution activities”.

IRAS juga menegaskan bahwa hasil analisis penentuan harga berdasarkan SSA akan dianggap sesuai dengan prinsip arm’s length. Setelah masa uji coba berakhir, IRAS akan menilai apakah SSA layak diadopsi secara permanen. 

Baca Juga: Mengenal Ragam Metode Penentuan Harga Transfer

Antisipasi Pajak Berganda

Meskipun demikian, penerapan SSA oleh Wajib Pajak di Singapura tidak secara otomatis mengikat otoritas pajak di yurisdiksi lain tempat pihak afiliasi berada. Jika terjadi potensi pajak berganda akibat perbedaan perlakuan antara Singapura dan negara mitra, Wajib Pajak dapat mengajukan penyelesaian melalui Mutual Agreement Procedure (MAP) berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang berlaku. 

Sementara itu, bagi Wajib Pajak yang memilih tidak menggunakan SSA, penentuan harga tetap harus berdasarkan prinsip arm’s length sebagaimana ketentuan transfer pricing yang berlaku umum. Termasuk, kewajiban penyusunan TP Documentation jika transaksinya tidak termasuk dalam kategori pengecualian.

Singapura menjadi salah satu negara pionir yang mengintegrasikan SSA ke dalam kebijakan transfer pricing domestiknya. Langkah ini menandai kemajuan signifikan atas upaya global menyederhanakan penentuan harga transaksi afiliasi di bawah Pilar 1 Amount B. 

Baca Juga: Pertegas Ketentuan TP Documentation, IRAS Rilis e-Tax Guide Transfer Pricing Guidelines 8th Edition

Berikan Kepastian Hukum

Secara prinsip, pembaruan ini bertujuan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan terkait transaksi afiliasi serta memastikan bahwa praktik penentuan harga tetap konsisten dengan arm’s length principle.

Lebih jauh, adopsi SSA juga menunjukkan komitmen IRAS untuk menawarkan mekanisme penyederhanaan yang dapat mengurangi beban kepatuhan yang selama ini menjadi tantangan utama. 

Pendekatan ini sekaligus menjawab berbagai kelemahan analisis pembanding tradisional, mulai dari keterbatasan perusahaan sebanding, variasi kualitas data lintas negara, hingga tingginya biaya benchmarking tahunan. Dengan format yang lebih praktis dan konsisten, SSA diharapkan dapat meningkatkan kepastian bagi Wajib Pajak serta mendorong efisiensi bagi otoritas pajak.

Tantangan dan Keterbatasan 

Meskipun menawarkan kepastian, penerapan SSA tidak lepas dari sejumlah tantangan.

Pertama, margin standar bersifat generik dan global sehingga tidak selalu mencerminkan kondisi ekonomi riil pada setiap industri atau negara. Perbedaan tingkat persaingan, struktur biaya, serta dinamika pasar, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia dan kawasan ASEAN, dapat menyebabkan margin Amount B tidak sepenuhnya selaras dengan tingkat profitabilitas aktual. 

Tantangan ini semakin signifikan di tengah fluktuasi ekonomi yang cepat, baik akibat pandemi, perubahan geopolitik, volatilitas harga komoditas, maupun gangguan rantai pasok. Dalam situasi tertentu, bahkan distributor rutin pun dapat mengalami kerugian yang wajar, sesuatu yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam skema margin standar Amount B.

Kedua, penerapan SSA tetap memerlukan evaluasi kualitatif yang mendalam. Wajib Pajak harus membuktikan bahwa transaksi mereka memenuhi kriteria sebagai baseline distribution activities, termasuk tidak memiliki unique intangibles, tidak menanggung economically significant risks, serta tidak mendistribusikan komoditas atau barang digital. Dengan demikian, meskipun labelnya “simplified”, beban dokumentasi tetap signifikan.

Ketiga, OECD menetapkan Amount B sebagai mekanisme opsional sehingga tingkat adopsinya tidak seragam antarnegara. Kondisi ini berpotensi menciptakan fragmentasi kebijakan dan ketidakpastian baru, terutama bagi negara dengan intensitas transaksi lintas batas yang tinggi.

Meskipun Amount B menggunakan one-sided method dengan menetapkan margin standar bagi distributor rutin, pendekatan satu sisi ini tidak otomatis menghilangkan perbedaan penilaian antarnegara. Hasil analisis tetap menentukan alokasi laba dua yurisdiksi sehingga negara mitra dapat menolak margin standar tersebut apabila dianggap tidak sejalan dengan pendekatan tradisional mereka.

Akibatnya, risiko pajak berganda tetap dapat terjadi ketika satu negara menerapkan SSA sedangkan negara mitra tetap menggunakan benchmarking tradisional. Ketidaksinkronan ini berpotensi menghambat corresponding adjustment dan membuka ruang sengketa transfer pricing sehingga efektivitas Amount B tetap sangat bergantung pada penerimaan lintas negara.

Arah Indonesia ke Depan

Pertanyaannya, akankah Indonesia mengikuti langkah Singapura atau justru memilih pendekatan berbeda dalam membangun kebijakan transfer pricing ke depan?

Hingga saat ini Indonesia belum secara resmi menerapkan Amount B. Namun, mengacu pada OECD Transfer Pricing Country Profiles kebijakan Amount B sedang dipertimbangkan dan dievaluasi oleh DJP.

Bagi DJP, penerapan Amount B dapat meningkatkan kemampuan untuk mengawasi dan menegakkan kepatuhan transfer pricing secara efektif. Dengan mekanisme ini, penerapan standar transfer pricing dapat menjadi lebih praktis tanpa memerlukan sumber daya keuangan atau administratif yang signifikan. 

Jika Indonesia mempertimbangkan penerapan Amount B, maka penyesuaian terhadap PMK 172/2023 hampir tidak terhindarkan. Hal ini karena regulasi saat ini masih sepenuhnya bertumpu pada benchmarking tradisional dan fleksibilitas pemilihan tested party.

Dengan demikian, harmonisasi regulasi menjadi prasyarat penting agar implementasi Amount B selaras dengan standar internasional. Mari kita tunggu langkah Indonesia selanjutnya.

Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP

Contact Us

Head Office - Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Branch Office - Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.

Integrity & Responsibility

Good Corporate Citizenship

Whistleblowing

Privacy Policy


© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.
dari server baru