Sudah 28 Tahun, Ternyata RI Masih Manjakan Singapura
JAKARTA. Tahukah Anda? Singapura hingga saat ini masih mendapatkan perlakuan khusus di Indonesia. Terutama dari sisi perlakuan pajak.
Indonesia dan Singapura menandatangani persetujuan tentang penghindaran pajak dan pencegahan pengelakan pajak atas penghasilan pada 8 Mei 1990.
Keduanya sepakat, investasi dari negara dengan ikon Singa Merlion ini bebas pajak jika berinvestasi di Singapura. Tax treaty atau perjanjian perpajakan antara dua negara ini dibuat dalam rangka mengurangi pengenaan pajak ganda (double taxation) dan berbagai usaha penghindaran pajak.
Aturan yang sudah 28 tahun ini cukup memanjakan Singapura. Misalnya, ketika bank atau sekuritas dari Singapura membeli obligasi atau surat utang Indonesia maka tidak akan dikenakan pajak atas penghasilan berupa bunga. Sementara, bagi investor Indonesia sendiri dikenakan pajak penghasilan bunga obligasi hingga 15%.
"Dalam Tax Treaty RI-Singapura, tepatnya di Pasal 11 ayat 3, berlaku ketentuan yang membebaskan pajak atas imbalan bunga obligasi negara. Kebijakan ini sangat menguntungkan bagi pemegang SBN Indonesia di Singapura," ujar Direktur Eksekutif MUC Tax research Institute, Wahyu Nuryanto saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Selasa (9/10/2018).
Seorang pejabat pemerintahan menilai, aturan ini menjadi celah bagi para pencari keuntungan dengan membeli obligasi dalam negeri dengan menggunakan bank asal Singapura. Terbukti saat ini surat utang pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) yang telah diterbitkan (data per Juli 2018) mencapai Rp 2.200 triliun.
Sebanyak Rp 839,26 triliun atau 37,9% dikuasai oleh asing. Apakah kebanyakan investor dari Singapura?
"Banyak pula investor asing yang hanya mencari return jangka pendek ini ada di SBN. Justru kebanyakan berasal dari Singapura. Mereka ini sebenarnya investor lokal yang menggunakan celah tax treaty dengan Singapura," ungkap seorang pejabat negara yang enggan disebutkan namanya ketika berbincang dengan CNBC Indonesia, Selasa (9/10/2018).
Sebabkan Pelemahan Rupiah
Investor yang membeli obligasi rupiah Indonesia melalui bank atau broker Singapura sudah pasti menggunakan dolar AS. Bank atau broker tersebut akan menukarkan dalam bentuk rupiah untuk membeli SBN dalam negeri.
Namun ketika shock terjadi, investor pasti melepas kepemilikan SBN-nya dan sudah pasti menukarkannya ke dolar kembali. Hal ini membuat dolar menjadi kurang pasokan.
Kepemilikan asing yang cukup tinggi di SBN ini memang membuat Bank Indonesia (BI) khawatir. Kapan saja, investor asing di SBN yang hampir 40% ini bisa dengan mudah melepasnya ketika terjadi sesuatu di dalam negeri.
Besarnya kepemilikan asing, berpotensi terjadinya pembalikan modal (capital reversal) ketika terjadinya gejolak ekonomi dunia.
Dalam mengantisipasi potensi capital reversal di tengah pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat, ada beberapa hal yang bisa dilakukan Bank Indonesia (BI) maupun pemerintah agar dampaknya tidak dirasakan terlalu dalam bagi perekonomian.
Potensi pembalikan arus modal pun masih mungkin terjadi, seiring dengan kenaikan yield US Treasury hingga di atas 3% yang didorong oleh ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed), jelang rapat Federal Open Market Committe (FOMC).
Solusi?
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute, Wahyu Nuryanto mengungkapkan kembali pelemahan rupiah atas tingginya kepemilikan obligasi asing ini sebenarnya bisa diantisipasi.
Pelemahan rupiah terhadap dolar AS salah satunya ditenggarai oleh aksi spekulasi di pasar obligasi. Dalam konteks obligasi negara, saat ini sekitar 40% dipegang oleh asing tersebut, di mana mayoritas transaksi dilakukan di Singapura.
"Perbedaan tarif atas Singapura dan investor lokal ini bisa jadi memunculkan aksi spekulasi di pasar obligasi negara, yang basis transaksinya di Singapura. Namun, sah-sah saja bagi investor untuk melakukan transaksi pembelian atau penjualan obligasi negara RI di Singapura karena ada celah hukum yang memungkinkan," tutur Wahyu.
"Meskipun secara etika menjadi sangat tidak menguntungkan Indonesia dan posisi rupiah pada akhirnya."
Namun, menurutnya akan sangat sulit bagi pemerintah jika harus didorong untuk merevisi tax treaty dengan Singapura. Sebab butuh perundingan yang bisa jadi alot dan membutuhkan waktu tak sebentar.
"Kalau itu untuk jangka panjang, silakan saja, tapi efeknya belum tentu bisa langsung dirasakan ke Rupiah dalam jangka pendek," jelas Wahyu.
Demikian juga jika pemerintah memangkas tarif withholding tax dari 15% menjadi lebih rendah atau bahkan 0%. "Itu juga tidak gampang karena harus mengubah UU PPh," kata Dia.
Yang mungkin bisa dilakukan, menurut Wahyu adalah mengeluarkan kebijakan Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) atas imbalan bunga obligasi di dalam negeri.
Seperti halnya kebijakan serupa yang diterbitkan atas obligasi negara yang diterbitkan di luar negeri atau pasar internasional (PMK 46 /PMK.010/2018).
"Dengan demikian, investor merasa tidak ada bedanya transaksi bond di Singapura atau di Indonesia karena sama-sama tidak kena beban pajak," jelasnya.
"Kalau reksadana saja bisa bebas pajak, seharusnya bunga obligasi negara juga diatur agar bebas pajak. Toh, orientasi penerbitan obligasi kan berutang, untuk support pembiayaan," imbuh Wahyu.
Memang dirasa tidak adil, ketika pemerintah butuh utangan justru investor dibebankan sebuah pajak yang walaupun memang atas imbal hasil yang didapatkan. Sayangnya perlakuan ini hanya untuk investor dalam negeri bukan asing.
Padahal, Indonesia saat ini perlu banyak investor lokal yang setia, bukan memanjakan asing.
https://www.cnbcindonesia.com/market/20181009105526-17-36577/sudah-28-tahun-ternyata-ri-masih-manjakan-singapura/1