Mendorong Kepatuhan Pajak lewat Undian Berhadiah: Mungkinkah di Indonesia?
Gianti Pradipta
|

Bayar pajak bisa menang undian berhadiah? Kedengarannya seperti hal yang tidak lazim dilakukan. Namun, bagi beberapa negara seperti Taiwan ini adalah sebuah fakta. Bahkan, cara ini menjadi salah satu upaya efektif dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Melalui penerapan sistem lotre faktur, Taiwan berhasil meningkatkan perolehan pajak hingga lebih dari 50%.
Secara psikologis, manusia memiliki ketertarikan alami terhadap peluang mendapatkan imbalan besar, dengan risiko atau usaha minimal. Inilah sebabnya undian berhadiah begitu digemari. Dorongan psikologis ini dimanfaatkan pemerintah Taiwan lewat lotre faktur pajak untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan.
Di tengah upaya Indonesia memperluas basis pajak dan memperbaiki rasio perpajakan, relevansi penerapan konsep lotre faktur pajak ini patut untuk dipertimbangkan.
Jika diterapkan dengan tepat, konsep serupa dapat menjadi instrumen inovatif untuk memperkuat kepatuhan pajak di Indonesia. Namun, bagaimana sebenarnya mekanisme sistem lotre faktur ini?
Konsep pengundian faktur seperti tiket lotre oleh otoritas Taiwan dimulai pada 1 Januari 1951. Tujuannya adalah untuk mendorong dan meningkatkan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak (WP) di Taiwan. Pada tahun pertama diterapkan pengundian faktur, otoritas Taiwan mendapatkan kenaikan perolehan pajak sebesar 75% dibandingkan tahun sebelumnya.
Faktur yang diundi tersebut disebut tongyi fapiao atau uniform invoice. Tongyi fapiao adalah faktur yang seragam dan terstandarisasi untuk kepentingan perpajakan yang digunakan pada setiap transaksi jual beli di Taiwan. Tongyi fapiao hanya dapat diterbitkan oleh tempat usaha atau perusahaan yang legal sehingga dokumen tersebut adalah cerminan kepatuhan pajak dari WP.
Pada tanggal 25 November 2024, otoritas pajak Taiwan mengumumkan nomor faktur yang memenangkan lotre atau undian untuk periode September dan Oktober 2024. Pemenang yang memegang faktur bernomor delapan digit yang persis sama dengan hasil undian bisa membawa pulang hadiah sebesar 10 juta dolar Taiwan atau setara Rp 4 miliar.
Dalam satu pengumuman untuk dua bulan periode, otoritas pajak Taiwan mengundi lima nomor faktur yang memenangkan hadiah. Jadi selain satu nomor faktur yang mendapatkan hadiah utama, masih ada empat nomor yang dapat membawa pulang hadiah mulai dari 200 dolar Taiwan (setara Rp 100 ribu) sampai dengan 2 juta dolar Taiwan (setara Rp 1 miliar). Angka yang sangat fantastis bukan?
Hadiah lotre faktur di Taiwan ini mengalami peningkatan secara bertahap dari waktu ke waktu. Terakhir, pada tahun 2011, otoritas pajak di negara tersebut menetapkan hadiah utama atau special prize sebesar 10 juta dolar Taiwan. Untuk mengikuti perkembangan teknologi dan mendorong efisiensi administrasi, pada tahun 2021 mereka juga meluncurkan e-fapiao, yakni versi digital dari faktur seragam yang sebelumnya dicetak secara fisik.
Sistem klaim hadiah pun diatur dengan ketat. Pemenang yang ingin mencairkan hadiah harus menunjukkan fapiao (faktur) asli yang mencantumkan jumlah transaksi secara lengkap. Namun, tidak semua fapiao memenuhi syarat untuk mengikuti undian. Jika nama pembeli yang tercantum adalah lembaga pemerintah, badan usaha milik negara, sekolah negeri, atau institusi militer, maka faktur tersebut otomatis gugur dan tidak dapat diklaim sebagai pemenang.
Sebagai informasi, negara yang memiliki nama resmi Republic of China (RoC) ini bukanlah satu-satunya yang menerapkan lotre faktur. Menyusul kesuksesan Taiwan, beberapa negara lain ikut menerapkan sistem serupa diantaranya, Yunani, Italia, Latvia, Malta, Portugal, dan Slovakia. Namun, tidak semua negara dapat menjalankannya secara mulus. Sebab, penerapan lotre faktur melibatkan sistem yang kompleks dan saling terhubung antara pelaku usaha dan otoritas pajak.
Meski demikian, sistem ini tetap dianggap sebagai pendekatan yang menyenangkan untuk mendorong kepatuhan pajak. Berdasarkan riset Profesor Junmin Wan dari Universitas Fukuoka terkait implementasi lotre fapiao di Tiongkok, tercatat bahwa pada tahun 2002, pemerintah mengalokasikan hadiah lotre sebesar 30 juta yuan (setara Rp 65 miliar), sementara penerimaan pajak yang dihasilkan mencapai 900 juta yuan (sekitar Rp 2 triliun). Perlu dicatat, hadiah lotre tersebut juga dikenakan pajak sebesar 20%.
Namun dalam praktiknya, potensi kecurangan tetap ada. Misalnya, pelaku usaha bisa saja tidak menerbitkan fapiao kepada pelanggan dan menggantinya dengan potongan harga. Selain itu, transaksi fiktif juga dapat direkayasa untuk memperoleh fapiao yang digunakan sebagai kredit pajak atau pengurang penghasilan bruto.
Potensi Implementasi di Indonesia
Lalu, apakah konsep lotre pajak ini memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, yang perlu dipastikan terlebih dahulu adalah kesiapan sistem untuk mendukung kebijakan lotre pajak. Dalam konteks ini, Indonesia sebenarnya sudah memiliki infrastruktur yang dapat dimanfaatkan, yaitu sistem faktur pajak elektronik (e-Faktur).
Format faktur pajak yang telah berlaku saat ini berpotensi untuk difungsikan layaknya fapiao di Tiongkok. Kode faktur pajak dapat dijadikan sebagai nomor undian untuk menentukan pemenang hadiah lotre. Sistem pencatatan faktur yang tersedia saat ini juga telah dirancang sedemikian rupa agar tidak terjadi duplikasi nomor, sehingga aspek keunikan yang krusial dalam undian, sudah terpenuhi.
Sebagai gambaran potensi pemanfaatannya, mari kita lihat kinerja penerimaan negara dari sektor ini. Pada kuartal IV tahun 2024, penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tercatat tumbuh signifikan sebesar 8,6% (yoy), mencapai Rp828,5 triliun. Besarnya penerimaan ini mencerminkan tingginya volume transaksi yang tercatat menggunakan faktur pajak. Dari jumlah tersebut, dapat dirinci kembali berapa transaksi yang menggunakan format faktur pajak kertas (hardcopy), berapa yang menggunakan e-faktur, dan berapa yang menggunakan dokumen lain yang dipersamanakan dengan faktur pajak.
Pertanyaan berikutnya, apakah seluruh format faktur pajak tersebut dapat dikategorikan sebagai tongyi fapiao atau uniform invoice yang layak diikutsertakan dalam skema undian? Klasifikasi ini penting agar kebijakan dapat diterapkan secara tepat sasaran, sekaligus menjamin keadilan dan integritas sistem undian.
Setelah aspek teknis dan administratif tersebut terpenuhi, tantangan berikutnya adalah memastikan adanya minat dari WP untuk berpartisipasi dalam program lotre, serta menentukan besaran hadiah yang ideal. Hadiah harus cukup menarik untuk mendorong partisipasi, namun tidak boleh terlalu besar hingga membebani keuangan negara. Oleh karena itu, diperlukan riset mendalam dan simulasi kebijakan yang cermat untuk menemukan titik keseimbangan antara daya tarik dan efisiensi fiskal.
Hal ini menjadi semakin relevan jika melihat konteks fiskal Indonesia ke depan. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, target rasio perpajakan ditetapkan sebesar 10,09%–10,29%, yang kemudian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ditetapkan sebesar 10,24% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Target ini sedikit lebih rendah dibandingkan realisasi tahun 2023 yang mencapai 10,31%. Penurunan ini menandakan bahwa ruang fiskal akan menjadi lebih terbatas, dan belanja negara akan disusun lebih selektif.
Tantangan Fiskal, Sosial, dan Hukum
Dalam kondisi ruang fiskal yang ketat, muncul pertanyaan lanjutan, apakah realistis bagi negara untuk mengalokasikan anggaran hadiah lotre pajak, di tengah upaya menjaga efisiensi pemungutan? Dikutip dari situs Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pemerintah selama ini berupaya menekan rasio biaya operasional pemungutan pajak (cost of collection) di bawah 1%. Sebagai pembanding, Taiwan yang telah lama menjalankan sistem lotre pajak, berhasil menjaga cost of collection-nya tetap rendah pada angka 0,84% di tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan insentif seperti lotre pajak bukan tidak mungkin diterapkan secara efisien, asalkan dikelola dengan baik dan berbasis sistem yang terintegrasi.
Namun, di luar aspek teknis dan fiskal, ada pertimbangan penting lainnya, yaitu penguatan landasan hukum dan penerimaan masyarakat terhadap konsep lotre pajak. Tidak dapat dimungkiri, sebagian masyarakat masih mengaitkan lotre dengan praktik perjudian. Pandangan ini berpotensi menimbulkan resistensi terhadap kebijakan, terutama jika tidak disertai komunikasi yang memadai. Sehingga, pemerintah perlu membangun narasi yang tepat, menjelaskan bahwa lotre pajak bukan bentuk perjudian, melainkan strategi untuk mendorong kepatuhan dan transparansi pajak dalam transaksi.
Selain itu, aspek keadilan dan inklusivitas dalam penerapan kebijakan juga perlu diperhatikan, termasuk soal siapa saja yang berhak menjadi peserta dan menerima hadiah lotre. Di Taiwan, penerima hadiah tidak dibatasi hanya pada warga negara atau Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN). Turis asing yang melakukan transaksi dan menerima fapiao juga secara otomatis diikutsertakan dalam undian. Jika kebijakan serupa diterapkan di Indonesia, perlu ada pertimbangan khusus mengenai batasan kepesertaan ini, karena tidak menutup kemungkinan adanya keberatan dari Masyarakat, apabila warga negara asing turut berpeluang menjadi pemenang hadiah dari dana publik.
Di sisi lain, dari sudut pandang WP, sistem lotre justru bisa menjadi insentif yang menyenangkan. Bagi mereka yang telaten menyimpan faktur pajak, pengumuman undian bisa menjadi momen yang ditunggu-tunggu setiap periodenya. Selain menumbuhkan kebiasaan administrasi perpajakan yang tertib, sistem ini juga memberi rasa timbal balik nyata bagi WP yang patuh. Pada akhirnya, kita tahu bahwa people respond to incentives dan lotre pajak bisa menjadi salah satu bentuk insentif yang efektif untuk meningkatkan kepatuhan sukarela.
Dengan kata lain, meskipun tidak bebas dari tantangan, penerapan sistem lotre pajak tetap layak untuk dikaji lebih lanjut. Jika dirancang dengan matang, baik dari sisi hukum, fiskal, sosial, maupun teknis, kebijakan ini dapat menjadi inovasi yang menarik dalam memperkuat sistem perpajakan Indonesia, terutama dari sisi peningkatan kepatuhan pajak. (KEN)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.