Pembahasan UU Perpajakan: Pemerintah Tarik RUU KUP

JAKARTA. Kementerian Keuangan dikabarkan akan menarik rancangan revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dengan alasan yang belum jelas.
Sebagai gantinya, pemerintah mulai mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Informasi yang dihimpun Bisnis, rencana penarikan kembali RUU KUP ini menjadi perbincangan di internal otoritas pajak. Kabar yang beredar, rencana penarikan kembali RUU KUP ini dilakukan setelah sejumlah pejabat di Kemenkeu melakukan pembahasan mengenai kelanjutan UU tersebut.
Sejumlah pejabat baik di kalangan Ditjen Pajak maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum bisa menjelaskan secara detail tentang rencana tersebut.
Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, bahkan meminta supaya semua pihak untuk menunggu perkembangan dari rencana tersebut.
"Kita tunggu saja, nanti ada saatnya disampaikan secara tetapnya," kata Yoga kepada Bisnis, Senin (14/5).
Informasi yang diterima Bisnis, rencananya besok Presiden Joko Widodo segera menggelar rapat terbatas untuk membahas sejumlah undang-undang terkait perpajakan, termasuk opsi untuk menarik kembali draf RUU KUP.
Sementara itu, Arif Yanuar, Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak, bagian yang melakukan pembahasan revisi UU KUP, mengaku belum mengetahui kabar tersebut, meski demikian dia mengakui bahwa saat ini otoritas pajak tengah berupaya mempercepat penyusunan revisi PPh dan PPN.
"Sampai sekarang belum, cuma mungkin mempercepat penyusunan PPN dan PPh," ungkapnya.
Arif menjelaskan bahwa percepatan UU PPh dan PPN ini bukan berarti menggugurkan pembahasan UU KUP karena telah masuk prolegnas, sehingga UU KUP tetap akan dituntaskan. Namun bagi otoritas pajak, bisa saja pembahasan revisi UU KUP, PPh, maupun PPN dilakukan beriringan dibahas sepaket supaya pelaksanaannya juga optimal.
"Kan sudah ada urutannya, sebenarnya paling enak bareng saja. Yang jelas kami dan Badan Kebijakan Fiskal siapkan karena 2 tahun enggak pernah di-review lagi," ungkapnya.
Adapun Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Awan Nurmawan Nuh juga enggan mengomentari kabar tersebut. Dia bahkan menyarankan supaya menanyakannya langsung kepada Dirjen Pajak Robert Pakpahan. "Tanya ke Pak Robert, saya tidak hadir soalnya," ujarnya.
Berdasarkan catatan Bisnis, sebelum kabar tersebut muncul, Kementerian Keuangan juga pernah menarik UU KUP pada November 2016. Saat itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memutuskan untuk menarik kembali draf UU KUP yang sempat diserahkan ke DPR dengan alasan peninjauan kembali sejumlah poin dalam draf RUU tersebut.
Salah satu poin yang di-review adalah mengenai perubahan status kelembagaan Ditjen Pajak menjadi Badan Penerimaan Pajak (BPP) yang lebih otonom dan tak lagi tergantung dengan Kementerian Keuangan. Poin ini cukup krusial lantaran di internal Kemenkeu masih terjadi perdebatan soal konsep kelembagaan Ditjen Pajak.
Jika menilik dokumen pemerintah, sebenarnya ada empat alasan mengapa UU KUP perlu dirombak. Alasan pertama, sesuai dengan bahan pemerintah, perubahan itu untuk mewujudkan pemungutan pajak yang berkeadilan dan berkepastian hukum sehingga peran serta masyarakat sebagai pembayar pajak terdistribusikan tanpa ada pembeda.
Kedua, mewujudkan administrasi perpajakan yang mudah efisien, dan cepat. Ketiga, menyesuaikan administrasi perpajakan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dan keempat, menurunkan biaya kepatuhan pajak (cost of compliance) dan biaya pemungutan pajak (cost of tax collection).
Selain perubahan secara substansial, perubahan itu juga mengubah sistematika dan tata urutannya. Komposisi perubahan substansinya bahkan lebih dari 50%. Dari jumlah bagian misalnya, UU KUP tahun 1983 hanya terdiri 11 bagian, tahun 2007 11 bagian, sedangkan RUU KUP yang dibahas saat ini berlipat menjadi 23 bagian. Jumlah pasal pun demikian dari 50 pada 1983, tahun 2007 menjadi 70 pasal, RUU KUP berlipat sebanyak 129 pasal.
Perombakan besar dilakukan karena sistematika penyajian dalam UU KUP existing belum sesuai dengan alur proses bisnis administrasi perpajakan. Selain itu, karena telah berubah sebanyak empat kali, beberapa substansi dalam UU KUP saat ini tak sesuai dengan pengelompokan bagian.
DPR mengaku belum mendapatkan informasi terkait rencana pemerintah untuk menarik kembali draf RUU KUP.
Wakil Ketua Komisi XI Achmad Hafisz Tohir mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum mendapatkan pemberitahuan dari pemerintah terkait kabar untuk menarik kembali RUU KUP. "Saya belum terima suratnya," kata Hafisz melalui pesan singkatnya, Senin (14/5).
Adapun, anggota Komisi XI DPR M. Misbakhun mengatakan, kalaupun akan ditarik tinggal mekanismenya yang perlu ditentukan. Draf RUU KUP yang mengirimkan adalah presiden, sehingga seharusnya yang menarik juga harus presiden.
Pun kalaupun sudah ditentukan, DPR sebenarnya tinggal menunggu surat presidennya, yang intinya menjelaskan bahwa penarikan draf UU KUP ini berasal dari presiden.
"Kalau mau ditarik ya harus sesuai mekanisme penarikan melalui Surpres lewat Sekretariat Negara," ungkapnya.
DPR sendiri saat ini tengah menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) UU KUP. Dalam DIM salah satu fraksi, ketentuan keterbukaan informasi yang diatur dalam rancangan revisi UU KUP tampaknya diusulkan untuk dihilangkan. Usulan penghilangan pasal tentang keterbukaan informasi ini dianggap sebagai kemunduran bagi reformasi perpajakan.
Pembatasan tentang ketentuan yang mengatur keterbukaan informasi itu disebutkan dalam DIM RUU KUP yang diperoleh Bisnis. DIM milik salah satu fraksi itu menyoroti sejumlah pasal krusial mengenai keterbukaan informasi yang menunjang kinerja otoritas pajak.
Pasal 31 ayat 4 yang mengatur soal keterbukaan informasi dari sejumlah instansi pemerintah maupun swasta misalnya, draf RUU KUP versi pemerintah mengatur setiap instansi publik maupun privat baik yang berbentuk asosiasi atau lembaga wajib memberikan informasi ke otoritas pajak. Pasal itu juga menganulir poin mengenai kerahasiaan bagi setiap informasi yang diatur dalam undang-undang.
Namun, usulan DIM ini justru menginginkan supaya ketentuan seperti yang tercantum dalam rancangan revisi UU KUP dihapus alias ditiadakan. Usulan untuk menganulir pasal keterbukaan informasi ini secara tidak langsung juga bertentangan langkah pemerintah yang tengah mendorong keterbukaan informasi di bidang perpajakan, salah satunya di sektor keuangan.
Pengamat Pajak dari Universitas Pelita Harapan Roni Bako menganggap pembahasan revisi UU KUP tetap harus ditentukan.
Dia menyebutkan bahwa besar kemungkinan kabar penarikan draf UU KUP itu lebih ke rencana perbaikan substansi misalnya terkait badan penerimaan pajak (BPP).
"Kayaknya terkait itu, pasti ada dasarnya kenapa muncul kabar seperti itu," kata Roni, Senin (14/5).
Kalaupun pemerintah ingin membahas UU PPh dan PPN secara bersamaan, menurutnya, penyelesaian UU KUP cukup krusial apalagi menyangkut detail mengenai substansi dan mekanisme perpajakan.