Cerita Miring Gijzeling
JAKARTA. Pertengahan tahun lalu, saat Ken Dwijugiasteadi memimpin Direktorat Jenderal Pajak, instruksi mengenai penyanderaan atau gijzeling disampaikan ke semua Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Tak tanggungtanggung secara lugas Ken meminta jajarannya melakukannya setiap hari. “Setiap hari harus ada satu penanggung pajak yang disandera,” kata Ken waktu itu.
Pernyataan Ken tentu ditanggapi secara serius oleh KPP. Setiap hari Ditjen Pajak terus memburu para penanggung pajak. Puluhan orang dikirim ke hotel prodeo. Tujuan awalnya memang cukup baik, selain meningkatkan penerimaan pajak, gijzeling juga cukup efektif membuat penanggung pajak nakal jera.
Namun belakangan, kisah yang semula heroik itu berubah menjadi cerita miring. Perubahan alur cerita itu muncul, ketika tersiar kabar pelaksanaan gijzeling yang diduga dilakukan secara tebang pilih.
Kasak kusuk ini pun berkembang menjadi polemik, terutama pertanyaan soal siapa yang seharusnya bertanggung jawab jika penanggung pajak lebih dari seorang. Kasus yang menimpa Ronny Wijaya (RW) barangkali bisa menjadi contoh.
Informasi yang dihimpun Bisnis mengungkapkan, RW merupakan salah satu direktur di PT Dutasari Citralaras (DCL) yang disandera oleh Direktorat Jenderal Pajak. Usut punya usut, penyanderaan itu dilakukan lantaran perseroan menunggak pajak senilai Rp3,8 miliar.
Adapun nama PT Dutasari Citralaras sebenarnya sudah tak asing lagi bagi telinga awam. Perusahaan ini, banyak disebut dalam perkara korupsi proyek sarana olahraga Hambalang. Konon salah satu orang dekat mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum berada di dalamnya. Selain kasus Hambalang, perusahaan ini juga pernah disebut menggunakan faktur fiktif.
Surat dakwaan Mantan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga Deddy Kusdinar misalnya mengungkap, sebagian saham PT DCL dimiliki oleh Athiyyah Laila, istri terpidana kasus korupsi Hambalang Anas Urbaningrum. Perusahaan ini adalah sub-kontraktor yang mendapatkan proyek dalam pembangunan sarana olah raga tersebut senilai Rp328 miliar.
Selain Athiyyah, sosok penting lainnya dalam perusahaan ini adalah sang Direktur Utama Machfud Suroso yang memiliki saham 40% yang belakangan sempat membantah keterlibatan istri Anas dalam perkara tersebut dan Munadi Herlambang. Machfud sendiri telah divonis oleh hakim pengadilan tindak pidana korupsi.
Penyanderaan RW bermula saat perusahaan yang kerap disingkat PT DCL menunggak pajak sekitar Rp3,8 miliar. Namun karena Machfud Suroso, sang Direktur Utama, telah meringkuk di hotel prodeo lantaran terjerat kasus Hambalang, RW yang notabene hanya memegang saham 20%, dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas tunggakan pajak tersebut. Walau demikian, Athiyyah dan Munadi yang sama-sama memiliki saham 20% nyaris tak tersentuh tangan otoritas pajak.
Sebagai penanggung pajak tunggal, pada 18 Desember 2017 RW kemudian dijebloskan ke rumah tahanan. Namun, selang beberapa saat kemudian, dia dikabarkan telah membayar tunggakan pajak sebesar Rp700 juta. Nilai pembayaran Rp700 juta dihitung berdasarkan kepemilikan saham RW sebesar 20%. Selain itu, RW juga telah menyerahkan sertifi kat ruko yang nilainya melebihi utang pajak ke juru sita pajak.