News

Digitalisasi Ekonomi, Tantangan Sekaligus Potensi Pajak Indonesia



Digitalisasi Ekonomi, Tantangan Sekaligus Potensi Pajak Indonesia

Wahyu Nuryanto, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute menilai Indonesia merupakan salah satu pasar ekonomi digital terbesar di dunia. Itu tercermin dari jumlah pengguna internet yang mencapai kisaran 171 juta orang atau 64,8% dari total populasi penduduk Indonesia (APJII,2018).

Besarnya pasar digital Indonesia terlihat pula dari transaksi ekonomi berbasis elektronik yang jumlahnya mencapai ratusan triliun Rupiah, seperti e-commerce, Financial Technology (Fintech), pembiayaan startup, dan valuasi nilai pasar games nasional.

“Booming ekonomi digital nasional yang mengikuti tren global menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk bisa menghimpun penerimaan perpajakan yang lebih besar lagi,” ujar Wahyu dalam Seminar “Taxation on Digital Economy” yang dihelat MUC Consulting dan Kontan di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (17/7).

Namun, Wahyu menyoroti kesiapan dan kesanggupan otoritas pajak Indonesia untuk bisa memetakan dan memajaki transaksi-transaksi ekonomi digital. Pasalnya, ketentuan perpajakan internasional saat ini hanya memungkinkan pengenaan pajak atas penghasilan non-resident yang bersumber di Indonesia jika non-resident tersebut memiliki physical presence di Indonesia sehingga timbul Bentuk Usaha Tetap (permanent establishment).

Namun di era digital saat ini, yang didominasi oleh GAFA (Google-Amazon-Facebook-Amazon),  kehadiran fisik sudah tidak relevan lagi. Perusahaan-perusahaan raksasa digital (over the top) bisa meraup keuntungan signifikan di Indonesia tanpa harus hadir di Indonesia secara fisik” tuturnya.

Selain Pajak Penghasilan (PPh), tantangan dan peluang lain adalah di bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk transaksi online dari luar negeri, yang barangnya secara fisik jelas pengirimannya, ketentuan pajak PPN yang berlaku saat ini bisa menjadi dasar untuk memajaki. Tinggal bagaimana pengawasannya, terutama di pintu-pintu masuk utama seperti bandara dan pelabuhan, untuk bisa memonitor lalu-lintas barang dan memajaki sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, untuk transaksi digital yang produknya bisa diunduh langsung oleh konsumen di Indonesia, masih menjadi hal yang sulit untuk mengawasi pemajakannya.

Konsensus Global

Fenomena digitalisasi ekonomi saat ini menjadi perhatian global, terutama negara-negara anggota OECD dan G20, karena terkait dengan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Isu perpajakan ekonomi digital menjadi salah satu topik hangat di dunia saat ini. Hal ini tidak terlepas dari adanya ketidak-cocokan antara sistem pajak internasional yang saat ini berlaku dengan model bisnis di era digital.

Atas dasar ini, OECD – G20 dengan melibatkan negara-negara selain anggota OECD maupun G20 dalam bentuk Inclusive Framework sedang fokus mencari solusi bersama dalam menghadapi tantangan perpajakan ekonomi digital. Dalam proposalnya, topik-topik yang menjadi diskursus antara lain mengenai kebijakan hak pemajakan dan pengalokasian penghasilan yang lebih adil dan penerapan instrumen pencegahan penggerusan basis pajak (global anti base erosion proposal).

Dalam hal ini, beberapa usulan pendekatan penentuan hak pemajakan sedang dikaji, yakni berdasarkan kontribusi dan jumlah pengguna (user participation); marketing intangibles; dan kehadiran ekonomi secara signifikan (significant economic presence). Kajian ini diharapkan akan menghasilkan solusi berdasarkan kesepakatan global pada akhir tahun 2020 untuk menjawab tantangan perpajakan ekonomi digital.

Solusi Sementara

Namun, Indonesia perlu meniru banyak negara di dunia yang menerapkan kebijakan pemajakan transaksi digital untuk sementara—tanpa melanggar tax treaty—sampai dengan konsensus global tersebut efektif atau jadi berlaku.

Inggris, misalnya, mengenakan pajak sebesar 25% atas keuntungan yang dialihkan oleh   perusahaan-perusahaan digital multinasional (Diverted Profit Tax). Demikian juga dengan Pemerintah India, yang memperkenalkan jenis pajak baru berupa pengenaan equalization levy sebesar 6% atas penghasilan dari transaksi layanan internet tertentu, seperti dari iklan online. Baru-baru ini Prancis juga menerapkan kebijakan perpajakan serupa, yaitu mengenakan pajak 3% atas penghasilan perusahaan berbasis digital antara lain dari digital advertising dengan batasan jumlah penghasilan tertentu.

Namun, otoritas pajak harus hati-hati dalam menganalisis model bisnis dan pola hidup manusia yang berubah. Pemerintah harus merancang sistem pajak yang lebih adaptif dan solutif bagi Wajib Pajak. “DJP harus dapat mengubah paradigma pelayanan pajak, dari yang sifatnya memaksa menjadi mengajak dengan membangun sistem administrasi yang memudahkan Wajib Pajak.”

Sementara itu, Managing Partner MUC Consulting Sugianto menurutkan Indonesia dan banyak negara lainnya tengah menunggu keputusan para pemimpin negara terkait pemajakan untuk transaksi digital.

Trekait hal itu, MUC Consulting sebagai salah satu perusahaan konsultan pajak, merasa perlu mengambil peran dalam diskursus ini. Untuk itu, MUC dan Kontan menyelenggarakan seminar yang bertajuk Taxation on Digital Economy.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP

Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.
dari server baru