MUC Consulting dan Kontan Gelar Seminar Pajak DIgital
JAKARTA. MUC Consulting bekerja sama dengan media investasi dan bisnis Kontan menggelar kegiatan seminar bertajuk "Taxation on Digital Economy". Kegiatan ini dilaksanakan pada Rabu (17/7) di Hotel Ritz Carlton dengan menghadirkan beberapa pembicara yang berasal dari berbagai latar belakang.
Beberapa pembicara yang hadir diantaranya, P. M. John Hutagaol (Direktur Perpajakan Internasiona), Bima Laga (Ketua Bidang Pajak, Infrastruktur dan Cyber Security IdEA), Andrew Sutjipto (Kompas Gramedia) dan Wahyu Nuryanto (Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute).
Hadir sebagai pembicara utama yaitu DIrektur Jenderal Pajak Robert Pakpahan. Dalam pidatonya, Robert menjelaskan mengenai pentingnya ekonomi digital untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Saat ini Indonesia merupakan negara dengan transaksi digital terbesar ketiga di dunia, setelah China dan India. Namun demikian, kondisi itu menimbulkan tantangan lain bagi pemerintah, salah satunya adalah aspek perpajakan.
Saat ini isu pajak atas ekonomi digital merupakan salah satu tema yang tengah dibahas serius oleh sejumlah negara dalam berbagai forum pertemuan. yang terbaru, pada Juni 2019 negara-negara G-20 di Fukuoka Jepang telah mengusulkan untuk menyusun aturan pajak baru khusus untuk transaksi digital, khususnya mengenai pajak atas penghasilan yang diperoleh perusahaan-perusahaan digital seperti Google, Amazon, Facebook.
Proses bisnis digital telah melampaui kemampuan negara-negara untuk memungut pajak. Mekanisme pemungutan pajak yang berlaku saat ini hanya berdasarkan kehadiran fisik sebuah entitas di perusahaan. Padahal, Perusahaan-perusahaan raksasa digital (over the top) bisa meraup keuntungan signifikan di Indonesia tanpa harus hadir di Indonesia secara fisik.
Untuk itu, perlu dibuat konsensus bersama terkait pemajakan atas transaksi digital yang melibatkan banyak negara. G-20 berencana akan merilis konsensus tersebut pada 2020.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengatakan, Indonesia perlu meniru banyak negara di dunia yang menerapkan kebijakan pemajakan transaksi digital untuk sementara—tanpa melanggar tax treaty—sampai dengan konsensus global tersebut efektif atau jadi berlaku.
Inggris, misalnya, mengenakan pajak sebesar 25% atas keuntungan yang dialihkan oleh perusahaan-perusahaan digital multinasional (Diverted Profit Tax). Demikian juga dengan Pemerintah India, yang memperkenalkan jenis pajak baru berupa pengenaan equalization levy sebesar 6% atas penghasilan dari transaksi layanan internet tertentu, seperti dari iklan online.
Baru-baru ini Prancis juga menerapkan kebijakan perpajakan serupa, yaitu mengenakan pajak 3% atas penghasilan perusahaan berbasis digital antara lain dari digital advertising dengan batasan jumlah penghasilan tertentu.
Namun, otoritas pajak harus hati-hati dalam menganalisis model bisnis dan pola hidup manusia yang berubah. Pemerintah harus merancang sistem pajak yang lebih adaptif dan solutif bagi Wajib Pajak. “DJP harus dapat mengubah paradigma pelayanan pajak, dari yang sifatnya memaksa menjadi mengajak dengan membangun sistem administrasi yang memudahkan Wajib Pajak.