Pajak Ekonomi Digital : Konsesus Global Ekonomi Digital Sulit Tercapai
JAKARTA. Rencana penetapan pajak untuk aktivitas ekonomi digital tak berjalan mulus. Pasalnya, masing-masing yurisdiksi yang tergabung dalam Inclusive Framework on BEPS (IF BEPS) belum menyepakati skema pemajakan terhadap ekonomi digital.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol mengakui bahwa internal IF BEPS terpecah ke dalam dua kubu. Kubu pertama yakni negara yang menginginkan solusi jangka pendek, sedangkan yang kedua adalah negara yang menginginkan keberadaan konsesus global dalam hal pemajakan ekonomi digital.
Khusus yang menginginkan konsesus global, mereka telah memberikan waktu kepada Task Force on Digital Economy (TFDE) untuk menyelesaikan rekomendasinya paling lama sampai dengan tahun 2020 mendatang.
Namun, bagi negara yang menginginkan solusi jangka pendek, mereka telah menerbitkan regulasi pemajakan bagi pelaku ekonomi digital misalnya yang dilakukan Inggris dengan diverted profit tax atau India dengan equalization levy.
“Nah pekan depan, kami akan berangkat ke Lima, Peru untuk membahas ini. Kita perlu ada komitmen atau konsensus terkait perlakuan perpajakan terhadap digital economy,” kata John saat ditemui di kantornya, Jumat (22/6).
John menjelaskan bahwa langkah negara-negara seperti Inggris dan India bakal menyulitkan komunitas global untuk mencapai konsesus. Selain itu, pemungutan tanpa konsesus global, juga berpotensi menimbulkan persoalan perpajakan misalnya mengenai pemajakan berganda atau sengketa pajak lainnya sebagai akibat implementasi kebijakan yang sifatnya parsial.
Meski demikian, dia tak memungkiri bahwa masing-masing negara memiliki agenda yang tak sama dalam IF BEPS tersebut. Selain negara yang menginginkan hak pemajakan terhadap ekonomi digital, sebagian negara justru bersikap kebalikannya atau tidak ingin memajaki digital economy.
“Kami tetap melihat perkembangannya, tetapi tetap menginginkan adanya global konsesus,” jelasnya.
Adapun Maret lalu, IF BEPS menerbitkan Interim Report 2018. Laporan itu mengungkapkan perkembangan terbaru dalam dunia pemajakan digital. Namun demikian secara umum, laporan itu hanya mengulang hasil laporan yang terdahulu dan masih berkutat mengenai masalah perkembangan ekonomi digital dan model bisnisnya, meskipun ada penegasan lebih mendetail di beberapa bagian.
Interim report banyak mengulas tentang aksi unilateral, mulai dari memodifikasi Bentuk Usaha Tetap (BUT), mekanisme withholding tax, pengenaan pajak final, hingga adanya rezim khusus bagi perusahaan multinasional di bidang digital. Ulasan ini bisa saja mengidentifikasikan TFDE menyerah atas derasnya aksi unilateral yang diterapkan di berbagai negara atau memangTFDE hendak mengajak para pemangku kebijakan untuk menelaah aksi unilateral yang paling memungkinkan.
Selain itu, Interim Report juga melakukan penulusuran atas kebijakan domestik yang diimplementasikan di berbagai negara yang digolongkan menjadi empat kelompok. Pertama, kebijakan yang berupaya memodifikasi threshold BUT. Kedua, unilateral action dengan mekanisme withholding tax, misalnya dengan melakukan perluasan cakupan skema ini atas royalti dan jasa teknik.
Ketiga, negara yang mengenakan pajak final seperti Indonesia dengan equalization levy. Keempat adalah negara yang memiliki rezim perpajakan khusus dengan target perusahaan multinasional yang besar, isalnya skema diverted profit tax yang dilakukan Inggris atau Multinational Anti-Avoidance Law yang diterapkan di Australia.
TFDE dibentuk saat rapat IF BEPS ke dua di Paris, Prancis Januari 2017. Dalam pertemuan itu, pembahasan mengerucut soal perlakuan dan skema pemajakan atas pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Pembahasan mengenai PPN mengarah ke admisnistrasi pemungutan misalnya cara menentukan supplier luar negeri sebagai pemungut PPN.
Dalam hal itu, TFDE telah menganjurkan kepada negara anggota supaya memungut PPN berdasarkan transaksi ekonomi digital. Skema itu sudah diterapkan beberapa negara di antaranya Australia, Jepang, dan Korea Selatan.
Namun mengenai PPh, TFDE tampaknya belum sepakat ihwal mekanisme pemajakannya. Apalagi, di dalamnya ada persoalan yang cukup sensitif misalnya terkait hak pemajakan (taxing rights) dari negara sumber yang umumnya yurisdiksi berkembang serta metode pemungutannya. Pemajakan ekonomi digital merupakan bagian dari BEPS Action 1.
Bisnis Indonesia