Penerimaan Pajak : Piutang Tak Tertagih Menggunung
JAKARTA. Nilai piutang pajak yang belum tertagih tercatat terus meningkat dari waktu ke waktu sehingga menuntut perhatian serius dari Ditjen Pajak untuk melakukan penagihan.
Data Direktorat Jenderal Pajak per semester 1/2018 mengungkapkan jumlah piutang pajak yang belum tertagih mencapai Rp106,7 triliun atau naik hampir Rp19,7 triliun dibandingkan dengan posisi akhir Desember 2017 senilai Rp87 triliun.
Dari jumlah tersebut, piutang pajak yang belum masuk daluwarsa senilai Rp71,8 triliun atau naik sebesar Rp17,6 triliun dari posisi akhir tahun lalu senilai Rp54,2 triliun. Kenaikan piutang pajak praktis menambah piutang pajak yang masuk masa daluwarsa, jika Desember tahun lalu jumlah piutang pajak daluwarsa tercatat Rp32,8 triliun, jumlah ini bertambah menjadi Rp34,9 triliun pada akhir Juni 2018.
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengatakan bahwa naiknya piutang pajak tersebut merupakan imbas dari perubahan mekanisme penagihan di dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terutama setelah dilakukan revisi pada 2007.
“Jadi sejak 2008, surat pemeriksaan dari Ditjen Pajak tidak otomatis menjadi piutang. Kalau disetujui oleh wajib pajak bisa menjadi utang, tetapi kalau tidak disetujui maka bisa mengajukan keberatan, kemudian banding. Kalau sudah ada putusan banding, ini menjadi saldo piutang negara secara resmi,” kata Robert, belum lama ini.
Ketentuan dalam UU KUP tahun 2007 ini jauh berbeda dengan mekanisme di dalam UU KUP yang merupakan hasil revisi tahun 2000. Dalam ketentuan terdahulu, penagihan pajak dilakukan setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP). Artinya, ketika selesai melakukan pemeriksaan kemudian menerbitkan SKP, jumlah utang pajak dalam SKP itu bisa dianggap sebagai piutang pajak.
Namun demikian, setelah berlakunya revisi tahun 2007, proses penagihan pajak harus menunggu sampai dengan proses sengketa pajak selesai. Artinya ketetapan pajak baru bisa dianggap sebagai piutang pajak, ketika proses banding selesai.
Persoalan lain dalam proses penagihan adalah perubahan definisi mengenai masa daluwarsa pajak pada dua revisi UU KUP tersebut. Dalam Pasal 22 revisi UU KUP tahun 2000, daluwarsa pajak dihitung setelah 10 tahun, terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak berasangkutan. Sementara itu, dalam revisi UU KUP tahun 2007, daluwarsa pajak dihitung setelah 5 tahun dari diterbitkannya ketetapan pajak.
Dengan waktu daluwarsa yang relatif mepet dan proses sengketa yang bisa memakan waktu bertahun-tahun, penagihan pajak harus berkejar dengan waktu supaya pajak terutang tak masuk daluwarsa. Apalagi, data di Pengadilan Pajak mencatat bahwa dari jumlah sengketa yang masuk ke ranah peradilan pajak yakni 44.659 pada 2016 – 2016 hampir separuhnya dikabulkan oleh Pengadilan Pajak (termasuk yang dikabulkan sebagian). Adapun yang ditolak hanya 11.239.
Sebagai salah satu terobosan, dalam revisi UU KUP yang tengah digodog di DPR, mekanisme penagihan akan dikembalikan ke skema sebelum 2007. Artinya, ketika surat ketetapan pajak (SKP) diterbitkan, petugas pajak langsung bisa menagih pajak terutang tersebut.
Sementara itu, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Angin Prayitno Aji mengungkapkan bahwa dengan ketentuan pemeriksaan yang terdapat dalam SE No.15/PJ/2018 yang berisi tentang kebijakan pemeriksaan pajak, otoritas pajak cukup yakin berbagai persoalan mulai dari piutang pajak sampai dengan kekalahan saat sengketa pajak di Pengadilan Pajak perlahan mulai dibenahi.
Pansus Penerimaan
Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan mengungkapkan bahwa banyaknya persoalan di Ditjen Pajak perlu mendapatkan perhatian serius. Dia mengusulkan supaya dibentuk Panitia Kerja (Panja) tentang penerimaan pajak. Menurutnya, pembentukan panja diperlukan supaya pembahasan mengenai penerimaan bisa lebih terarah.
"Panja terkait penerimaan negara ini, supaya apa yang disampaikan pemerintah mengenai APBN bisa tercapai," jelasnya.
Heri juga menyebut bahwa, sebagai sebuah lembaga yang menangani persoalan penerimaan dengan kebutuhan baik sumber daya manusia (SDM) maupun infrastruktur spesifik, Ditjen Pajak sangat berbeda dengan institusi tingkat eselon satu lainnya di Kementerian Keuangan.
Apalagi, saat ini dalam aspek kebijakan, Ditjen Pajak juga tak bisa sepenuhnya mandiri. Seperti yang diungkapkan oleh Ditjen Pajak Robert Pakpahan, kebijakan terkait pajak saat ini diserahkan sepenuhnya kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF), sedangkan Ditjen Pajak hanya sebatas eksekutor meskipun dalam pembahasan tetap dilibatkan.
"Saya dorong Ditjen Pajak dapat berdiri sendiri, tidak lagi di bawah Kementerian Keuangan supaya penerimaan pajak optimal," jelasnya.
Bisnis Indonesia