Peningkatan Kurs Pajak : Beban Pengusaha Kian Berat
JAKARTA. Depresiasi nilai tukar rupiah yang berlangsung saat ini telah berdampak pada kenaikan nilai kurs pajak sehingga kian menambah beban pelaku usaha.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengeluhkan pelemahan nilai tukar yang menyebabkan kurs pajak semakin tinggi.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa hampir seluruh kurs pajak untuk periode 16 Mei-22 Mei 2018 meningkat. Adapun, kurs pajak tersebut digunakan sebagai acuan untuk pelunasan pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan bea masuk.
Sebagai contoh, kurs pajak dengan satuan dolar Amerika Serikat (AS) meningkat 0,34% menjadi Rp14.006 dari posisi sebelumnya Rp13.959 per dolar AS. Kenaikan tertinggi tercatat pada kurs kroner Swiss yang naik 2,57% menjadi Rp1.619.
Dolar Singapura meningkat 0,03% menjadi Rp10.464,48 dari posisi sebelumnya Rp10.461,26 per dolar Singapura.
Selain itu, dolar Australia meningkat 0,32% menjadi Rp10.530,02 dari posisi sebelumnya Rp10.496,60 per dolar Australia.
Ringgit Malaysia naik sebesar 0,02% menjadi Rp3.534,94 dari posisi sebelumnya Rp3.543,33 per ringgit Malaysia.
Tak ketinggalan, mata uang tunggal Eropa juga mengalami peningkatan mencapai 0,03% menjadi Rp16.685,79 dari posisi sebelumnya Rp16.680,95 per euro.
"Iya pasti memberatkan ," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi B. Sukamdani kepada Bisnis, Kamis (16/5).
Meski begitu, dia mengatakan, pihaknya sudah memprediksi depresiasi rupiah akan merembet kepada pembengkakan banyak pengeluaran, termasuk pengeluaran pajak.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah dapat mengembalikan rupiah kembali ke level fundamentalnya. Jika tidak, pembengkakan biaya tersebut akan merembet kepada kenaikan harga barang produksi, yang mana akan sangat merugikan masyarakat.
Menurutnya, kenaikan kurs pajak yang signifikan menunjukkan pemerintah seakan-akan mengambil keuntungan di tengah krisis pelemahan nilai tukar, yang sebelumnya hanya Rp13,400.
Padahal, sambungnya, pelemahan nilai tukar rupiah bukan disebabkan oleh pelaku usaha sendiri akibat jorjoran dalam melakukan impor, melainkan keadaan tekanan dari global.
Hariyadi berharap pemerintah dapat menerapkan sebuah kebijakan yang cepat, seperti mematok kurs pajak lebih rendah dari pada harga pasar.
"Kalau kurs pajaknya ikut pasar, pasti kewalahan pelaku usaha, apalagi yang banyak melakukan impor," imbuhnya.
Dengan kurs pajak yang lebih rendah, katanya, keberpihakan pemerintah dalam mendorong berkembangan dunia usaha domestik lebih terlihat.
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah sangat positif terhadap APBN. Pasalnya, pemerintah mendapat penerimaan tambahan lebih banyak, seperti dari PPh Migas, PNBP, dan PPN.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira juga menilai, pelemahan nilai tukar sangat memukul pelaku industri, tidak hanya dalam mengirimkan barangnya ke Indonesia, tetapi juga dalam hal membayar pajak, dan bea masuk.
Hal tersebut, lanjutnya, juga terkonfimasi oleh pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang mengatakan bahwa naiknya nilai impor merupakan efek dari meningkatnya realisasi pembangunan infrastruktur.
Sebagai informasi, tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih terjadi, dan rupiah pun masih tertahan pada level di atas Rp14.000 per dolar AS.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan, pihaknya masih belum melihat adanya pelemahan impor dikarenakan naiknya kurs pajak yang cukup signifikan.
Namun, dirinya juga tidak menepis hal tersebut dapat memukul pelaku usaha, yang mana harus membayar PPN, PPnBM, dan bea masuk yang lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya.
"Itu memang situasi eksternal yang tidak terhindarkan dari sisi perpajakan, tapi tentunya pemerintah berusaha keras untuk mengatasi masalah dan dampak dari naiknya kurs valas ini," katanya kepada Bisnis.
Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menilai kenaikan kurs pajak dapat merugikan konsumen akhir produk impor.
"Pengaruh kurs terhadap PPN paling besar terhadap konsumen akhir yang membeli produk impor dalam mata uang asing," kata Ketua I Hubungan Internasional dan Globalisasi IKPI Ruston Tambunan kepada Bisnis, Kamis (16/5).
Dia menjelaskan, pembayaran pajak-pajak dalam rangka impor mengacu kepada kurs ditetapkan oleh Menteri Keuangan secara mingguan.
Pelaku usaha yang melakukan impor secara tidak langsung akan mencantumkan setiap penambahan biaya yang ditanggung olehnya, termasuk biaya karena depresiasi nilai tukar dan biaya penambahan pajaknya.
Selanjutnya, katanya, semua biaya tersebut akan dikompensasikan saat pelaku usaha menjual kembali produknya. Dengan kata lain, menjual barangnya lebih mahal kepada konsumen. "Nah ini juga tentu dapat mengakibatkan barang mewah impor naik sampai ditangan konsumen," imbuhnya.
Bisnis Indonesia