Penerimaan Cukai Rokok Tembus Rp121,9 T, Tumbuh 9,6℅

JAKARTA. Penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) hingga Juli 2025 tercatat mencapai Rp121,98 triliun, naik 9,6% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp111,23 triliun. Lonjakan ini bukan semata karena konsumsi rokok meningkat, tetapi juga dipengaruhi faktor teknis kebijakan pajak.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan bahwa kenaikan penerimaan tahun ini lebih banyak dipengaruhi aturan penundaan pembayaran pita cukai yang berlaku sepanjang 2024.
Melalui aturan tersebut, pemesanan pita cukai pada 1 Maret–31 Oktober 2024 mendapat perpanjangan jatuh tempo dari 60 hari menjadi 90 hari. Tujuannya, membantu arus kas industri rokok. Namun, konsekuensinya, pencatatan penerimaan cukai di 2024 mundur sekitar sebulan.
“Pada 2025, aturan kembali normal, yakni pembayaran maksimal 60 hari. Jadi, realisasi penerimaan terlihat lebih cepat dibanding tahun lalu,” ujar Nirwala, Rabu (20/8/2025) seperti dikutip dari bisnis.com.
Dengan kata lain, pertumbuhan penerimaan tahun ini tidak sepenuhnya mencerminkan konsumsi riil, melainkan juga dampak teknis kebijakan administrasi.
BACA
Rokok Kontributor Terbesar
Secara total, penerimaan cukai periode Januari–Juli 2025 sudah mencapai Rp126,85 triliun atau 51,95% dari target APBN senilai Rp244,2 triliun. Dari jumlah itu, 96,1% berasal dari cukai hasil tembakau, sementara sisanya dari cukai minuman beralkohol (Rp10,19 triliun) dan ethil alkohol (Rp0,12 triliun).
Meski setoran cukai terlihat naik, tantangan justru semakin besar. Mantan Dirjen Bea dan Cukai, Askolani, dalam rapat dengan Komisi XI DPR pada 7 Mei 2025 lalu, sempat mengingatkan bahwa penerimaan berpotensi turun karena dua faktor utama:
- Tidak ada kenaikan tarif cukai di 2025.
- Fenomena downtrading atau peralihan konsumen ke rokok lebih murah.
Data Kemenkeu mencatat, pada kuartal I/2025 penerimaan cukai rokok memang tumbuh 5,6% menjadi Rp55,7 triliun. Namun, produksi rokok justru turun 4,2% (YoY). Penurunan terbesar terjadi di rokok golongan 1 (-10,9%) yang tarif cukainya lebih tinggi, sementara pertumbuhan di golongan 2 (1,3%) dan golongan 3 (7,4%) belum mampu menutupinya.
Tren penurunan produksi ini sebenarnya sudah berlangsung sejak 2021. Produksi hasil tembakau turun dari 334,8 miliar batang (2021) menjadi hanya 317,4 miliar batang pada 2024.
Di tengah tantangan tersebut, Ditjen Bea dan Cukai berkomitmen memperkuat pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal. “Dengan edukasi dan pengawasan, kami berupaya memastikan produksi tetap legal dan penerimaan negara terjaga,” tegas Askolani. (KEN)