Bom Waktu Otomatisasi PPh Final Untuk WP Badan Baru
Hafidz Alfaruqi
|

Bayangkan kamu baru saja mendirikan badan usaha untuk memulai langkah pertama dalam dunia bisnis. Di tengah segala persiapan dan strategi, otoritas pajak langsung menetapkan bisnis kamu sebagai Wajib Pajak (WP) yang dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5%.
Padahal, hal itu belum tentu yang paling sesuai bagi kondisi usaha kamu. Di sinilah letak persoalan yang kerap tak disadari WP badan baru, yaitu ketika sistem perpajakan berjalan secara otomatis, namun tak menyediakan ruang pilihan yang memadai sejak awal.
Sejatinya, pengenaan PPh final 0,5%, bagi Wajib Pajak (WP) dengan nilai peredaran (omzet) tertentu merupakan fasilitas. Namun, jika implementasinya tidak sesuai dengan aturan, fasilitas yang tadinya sebagai insentif bisa jadi disinsentif.
Antara Insentif dan Disinsentif
Secara regulasi, PPh final 0,5% diperuntukan bagi WP badan dan orang pribadi yang memiliki omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun. Ketentuan batasan omzet ini berlaku baik untuk WP orang pribadi, WP badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Persekutuan Comanditer (CV), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUMDesma).
Baca Juga: Pemerintah Rilis Aturan Baru Soal PPh Final UMKM, DJP: Ini Penegasan
Pengenaan PPh final 0,5% ini tidak berlaku untuk tiga kategori wajib pajak. Pertama, CV atau Firma yang didirikan oleh beberapa WP orang pribadi dengan keahlian khusus dan menyerahkan jasa sejenis dalam kategori pekerjaan bebas. Misalnya, pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), penilai, dan aktuaris.
Kedua, WP badan yang memenuhi persayaratan mendapatkan fasilitas perpajakan sesuai Pasal 31A UU PPh. Di antaranya yang menjalankan kegiatan usaha di bidang atau di daerah tertentu, serta memenuhi persyaratan tertentu. Ketiga, ketentuan PPh Final tidak berlaku bagi WP yang berbentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Beda Implementasi dan Regulasi
Sebetulnya, di dalam PP Nomor 55 Tahun 2022 itu berlaku opsi untuk menggunakan tarif PPh yang berlaku umum, sesuai Pasal 17 Undang-undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh), meskipun memiliki omzet Rp4,8 miliar ke bawah.
Namun dalam praktiknya, opsi menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh ini tidak berlaku untuk WP badan yang baru terdaftar atau baru memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pasalnya, sistem administrasi yang berlaku saat ini, secara otomatis akan menempatkan WP badan baru sebagai subjek PPh final 0,5%. Bahkan, hal ini sudah terkonfirmasi oleh unit pelayanan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Baca Juga: PT Perorangan, Kesempatan Pelaku UMKM untuk Naik Kelas
Di dalam Pasal 5 ayat (4) dan (5) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 164 Tahun 2023 memang telah diatur, bahwa WP dapat menyampaikan pemberitahuan penggunaan penghitungan PPh sesuai Pasal 17 UU PPh, maksimal pada akhir tahun pajak.
Jadi, baru di tahun pajak berikutnya WP dapat menggunakan tarif tersebut. Artinya, menurut regulasi ini, tidak ada pilihan bagi WP baru untuk langsung menggunakan tarif PPh yang berlaku umum. Karena harus menunggu hingga akhir tahun berjalan. Jadi, tampaknya ada ketidakkonsistenan antara regulasi induk dengan aturan di bawahnya.
Akan tetapi, ketentuan itu tidak berlaku untuk WP badan baru. Karena di dalam Pasal 5 ayat (6) berlaku klausul pengecualian bagi WP badan yang baru terdaftar.
Bahkan, secara eksplisit disebutkan bahwa WP badan baru, dapat menggunakan penghitungan PPh yang berlaku umum. Syaratnya, WP menyampaikan pemberitahuan pada saat mendaftarkan diri.
Artinya, secara regulasi sistem perpajakan yang berlaku untuk WP badan baru tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Harapan untuk perbaikan sempat muncul saat pemerintah menerbitkan PER-7/PJ/2025 tentang sistem administrasi perpajakan. Namun, regulasi yang terbit pada 21 Mei 2025 itu tidak memberikan solusi konkret. Bahkan dalam formulir pendaftaran NPWP, tidak tersedia opsi eksplisit untuk memilih antara skema PPh final dan tarif umum.
Ketidakhadiran mekanisme pilihan yang terintegrasi dalam proses pendaftaran NPWP ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Terutama, bagi WP badan baru yang belum memiliki pemahaman memadai atas skema perpajakan yang berlaku.
Mengurai Risiko Bagi WP
Bagi WP badan, otomatisasi pengelompokan sebagai subjek PPh final 0,5% ini tentu akan menimbulkan risiko yang cukup besar. Ketika dipaksa menggunakan tarif PPh final, maka WP tidak bisa memanfaatkan haknya untuk mengompensasi kerugian fiskal yang terjadi.
Sebab, ketika menggunakan penghitungan pajak dengan Pasal 17 UU PPh, penghitungan PPh terutangnya akan berdasarkan pembukuan dengan memperhitungkan penghasilan bruto dan biaya-biaya yang timbul. Sehingga, jika terjadi rugi fiskal, kerugiannya dapat dikompensasikan ke tahun pajak berikutnya.
Berbeda ketika penghitungannya menggunakan tarif PPh final. Karena berbasiskan penghasilan bruto, maka meskipun secara pembukuan mencatatkan kerugian tetap akan dikenai pajak. Padahal, umumnya sebuah kegiatan usaha yang baru berjalan belum bisa menghasilkan profit.
Risiko lainnya, ketika WP menggunakan jasa pihak ketiga dalam memproses akta pendirian perusahaan. Dalam banyak kasus, jasa yang diberikan pihak ketiga tersebut termasuk proses pendaftaran NPWP atas nama WP badan. Bahkan, tak jarang tanpa melibatkan secara langsung pihak perusahaan.
Karena formulir pendaftaran NPWP tidak memuat opsi eksplisit antara PPh Final dan ketentuan umum, kemungkinan besar permohonan pendaftaran NPWP yang disampaikan pihak ketiga tidak disertai permohonan penggunaan ketentuan umum.
Dengan demikian, secara administratif WP langsung dikategorikan sebagai subjek PPh Final sejak awal, meskipun secara substantif bisa jadi tidak memenuhi kriteria sebagai WP dengan peredaran bruto tertentu.
Risikonya, di kemudian hari kemungkinan Kantor Pajak akan menemukan bahwa PPh Final tidak disetor sesuai klasifikasi sistem. Tetapi WP terlanjur menggunakan penghitungan yang berlaku umum.
Apalagi, dengan status rugi fiskal, WP mungkin berniat mengkompensasikannya ke tahun pajak berikutnya. Namun, karena WP telah masuk dalam skema PPh Final tanpa pemberitahuan awal, maka kompensasi kerugian fiskal tidak dapat dimanfaatkan, dan di sisi lain WP tetap memiliki kewajiban untuk menyetorkan PPh Final atas peredaran usahanya.
Bom Waktu Wajib Pajak
Kesimpulannya, ketidakharmonisan antara regulasi dan sistem administrasi perpajakan dalam kasus WP badan baru menciptakan semacam "bom waktu".
Potensi sengketa atau koreksi pajak bukan disebabkan oleh kesengajaan WP menghindar dari kewajiban, melainkan karena tidak sinkronnya informasi, sistem, dan mekanisme pendaftaran sejak awal.
Sudah seharusnya sistem perpajakan, apalagi di era digital seperti sekarang, tidak hanya berjalan otomatis, tetapi juga transparan dan memberi ruang pilihan yang setara bagi semua WP. Tanpa itu, insentif bisa berubah jadi jebakan.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.