Kenaikan PTKP dan Petumbuhan Ekonomi 8%
Daffa Abyan
|
Target pertumbuhan ekonomi delapan persen Presiden Prabowo Subianto terdengar seperti sebuah ambisi besar. Betapa tidak, jika tercapai maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali ke level sebelum krisis ekonomi 1998.
Pada masa itu, perekonomian nasional masih ditopang oleh geliat investasi, ekspansi industri manufaktur dan konsumsi domestik yang kuat. Namun, konteks ekonomi hari ini jauh lebih kompleks. Besarnya ketidakpastian global, fragmentasi perdagangan internasional, hingga tekanan fiskal pascapandemi membuat jalan menuju angka tersebut tidak lagi linier.
Dalam struktur ekonomi Indonesia saat ini, konsumsi rumah tangga masih menyumbang lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, ruang paling rasional untuk memperbesar laju pertumbuhan terletak pada kemampuan masyarakat untuk belanja lebih banyak.
Tanpa dorongan dari sisi permintaan, investasi dan ekspansi sektor riil akan sulit bergerak agresif. Di titik inilah kebijakan fiskal memiliki peran strategis, bukan hanya sebagai instrumen penerimaan negara, tetapi juga sebagai alat pengungkit permintaan domestik.
Baca Juga: Penghasilan di Bawah PTKP, WP Tetap Wajib Lapor SPT Tahunan
Opsi Kenaikan PTKP
Salah satu kebijakan yang patut dipertimbangkan secara serius adalah penyesuaian batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP merupakan batasan penghasilan seseorang yang tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh). Karenanya, PTKP akan berdampak langsung terhadap disposable income masyarakat, terutama kelompok pekerja formal.
Ketika beban pajak ringan dan ruang belanja meningkat, konsumsi cenderung tumbuh secara organik. Efek ini tidak bersifat instan, tetapi berlapis. Meningkatnya belanja rumah tangga mendorong produksi, memperluas kesempatan kerja, dan pada akhirnya memperkuat basis penerimaan pajak itu sendiri.
PTKP dan Biaya Hidup
Kenaikan PTKP akan menjadi signal keberpihakan pemerintah terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih banyak didorong dari sisi permintaan (deemand side).
Laporan belanja perpajakan yang dirilis Kementerian Keuangan menunjukan, pemberian insentif masih didominasi untuk dunia usaha dibandingkan rumah tangga. Pada tahun 2023, misalnya hanya 42% belanja perpajakan untuk rumah tangga atau Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), selebihnya untuk dunia usaha atau Wajib Pajak Badan.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal III 2025 Melambat ke 5,04%
Bagi WPOP, nilai PTKP menjadi variabel penting dalam menentukan berapa besar rupiah penghasilan yang akan mereka bawa pulang ke rumah alias take home pay. Sebab, PTKP akan mengeliminasi sebagian penghasilan yang diterima dalam perhitungan penghasilan yang dikenai pajak.
Bahkan, secara tersirat, pasal 6 ayat 3 Undang-Undang PPh menempatkan PTKP sebagai kebutuhan dasar hidup, berdasarkan jumlah biaya hidup seorang Wajib Pajak dengan tanggungannya.
Namun, realitanya nilai PTKP yang berlaku saat ini tidak sebanding dengan kenaikan harga barang maupun jasa. Sehingga, PTKP sebetulnya tidak ekuivalen dengan biaya hidup sehari-hari saat ini.
Formula PTKP yang berlaku saat ini sudah digunakan hampir sembilan tahun, sejak pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101 tahun 2016 yang berlaku 1 Januari 2016.
Besaran PTKP saat ini ditentukan oleh dua variabel, yaitu status perkawinan dan jumlah tanggungan. Bagi seorang laki-laki single PTKP yang berlaku yaitu Rp54 juta setahun. Namun jika kawin menjadi Rp58,5 juta pertahun. Kemudian jika setiap tambahan tanggungan baik anak ataupun orang tua ada tambahan PTKP 4,5 juta. Dengan batas maksimal tanggungan yaitu tiga.
Menggerus Basis Pajak
Meskipun kebijakan ini populis bagi masyarakat, tetapi tidak menurut OECD. Menurut organisasi yang berbasis di kota Paris, Perancis ini pemerintah justru didorong untuk menunurunkan nilai PTKP. Alasannya jelas, penurunan PTKP akan memperbesar basis pajak dan meningkatkan penerimaan.
Pasalnya, penurunan nilai PTKP akan menambah cakupan masyarakat yang akan dikenai Pajak Penghasilan (PPh). Terutama PPh Pasal 21 yang dipotong dari para karyawan.
Di sisi lain, peningkatan PTKP akan mengurangi potensi penerimaan negara dari sisi PPh, baik yang berasal dari PPh pasal 21 dengan metode dipotong maupun laporan pajak tahunan WPOP.
Timbulnya argumentasi bahwa kenaikan PTKP tidak serta-merta membuat pertumbuhan ekonomi meningkat melalui daya beli mungkin menjadi salah satu pertimbangan belum diubahnya nilai PTKP hingga saat ini.
Efek Bola Salju
Tetapi, studi OECD tersebut sepertinya melupakan satu hal, yaitu Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia yang didominasi oleh kelas menengah ke bawah (66,35%). Kelompok inilah yang memberikan andil pada konsumsi dalam negeri hingga 81,49%.
Tambahan kemampuan ekonomis yang akan mereka terima karena kenaikan PTKP akan memberikan efek bola salju yang besar pada perekonomian. Sebab, peningkatan penghasilan akan berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi masyarakat sebagai konsumen akhir.
Hal ini berdampak positif pada peningkatan penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikarenakan masyarakat berperan sebagai pihak yang menanggung beban PPN dan tidak dapat mengkreditkannya kembali.
Selain PPN geliat konsumsi akan ekuivalen dengan kinerja keuangan korporasi dan PPh yang akan dibayarkan perusahaan. Peningkatan kedua jenis pajak tersebut sepertinya cukup untuk mengompensasi kehilangan penerimaan dari PPh Pasal 21 karyawan.
Jangan lupa, kinerja perusahaan yang positif bisa mendorong investasi. Karenanya, Penulis berharap ide atau gagasan ini dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan penerimaan negara dari perpajakan. (ASP)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.