Mengenal Formula Apportionment, Alternatif Pemajakan Ekonomi Digital
Dewi Mita Rozali
|

Upaya negara-negara di dunia untuk membagikan hak pemajakan atas penghasilan perusahaan digital, masih jauh panggang dari api. Langkah kolektif mereka menyusun konsensus dalam pembagian hak pemajakan kepada negara-negara tersebut, menghadapi tantangan yang tak mudah.
Salah satunya, karena belum bulatnya negara-negara di dunia untuk menyepakati draft Multilateral Convention (MLC) Amount A pada Pilar 1, tentang pembagian hak pemajakan tersebut.
Dinisiasi sejak tahun 2016, penyusunan konsep pembagian hak pemajakan pada Pilar 1 ini tak kunjung rampung. Secara umum, ketentuan Pilar 1 terdiri dari dua hal, pertama Amont A dan Amount B.
Negara besar seperti AS, disinyalir menjadi penyebab buntunya pembahasan Pilar 1 tersebut. Lambatnya, penyelesaian Pilar 1 ini dinilai akan memperpanjang ketidakpastian global dalam menyikapi tren pertumbuhan ekonomi digital di dunia.
Seperti kita tahu, digitalisasi ekonomi telah menimbulkan persoalan, khususnya, dalam konteks pajak. Praktik pemajakan konvensional kehilangan relevansinya, ketika dihadapkan pada skema bisnis yang tidak lagi memerlukan kehadiran fisik dalam menjual barang dan jasanya.
Redefinisi Permanent Establishment
Dalam praktik pajak konvensional, sebuah perusahaan baru bisa dikenai pajak atas penghasilannya, bila hadir secara fisik di suatu negara. Misalnya, dengan membuka kantor cabang, kantor pemasaran atau Bentuk Usaha Tetap (BUT)/ Permanent Establishment (PE).
Sedangkan, di era ekonomi digital, sebuah perusahaan multinasional atau Multinational Enterprise (MNE) bisa memasarkan produknya, tanpa perlu hadir secara fisik. Hal itu, seperti yang dilakukan perusahaan digital raksasa asal Amerika Serikat (AS) seperti Google, Facebook, Amazon dan Apple.
Tentu saja hal tersebut bertentangan dengan prinsip dalam perjanjian internasional yang mengharuskan adanya kehadiran fisik untuk mengenakan pajak atas keuntungan yang dihasilkan.
Namun disisi lain keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan ini tidak berkaitan dengan keberadaan fisik di pasar tempat Perusahaan tersebut menjual produk atau jasa secara digital. Sehingga, alternatif yang diajukan oleh OECD adalah pembentukan digital PE yang mencakup konsep Virtual Fixed Place, Virtual Agency PE dan On-site Business Presence.
Dalam kasus ini suatu negara bisa dianggap memiliki PE jika perusahaan mengelola dan menjalankan bisnis melalui website tertentu. Website virtual Perusahaan bisa dianggap sebagai place of business PE.
Selain itu, perluasan definisi dependent agent jika situs web atau aplikasi secara rutin menyelesaikan transaksi yang mengikat perusahaan dengan pelanggan di negara tertentu, situs web dapat dianggap sebagai agen dan memiliki PE di negara tempat situs web tersebut menyelesaikan kontrak, terlepas dari lokasi fisik server tempat situs web itu disimpan.
Selain redefinisi PE, untuk melengkapi reformasi digital, OECD juga mengusulkan penggunaan Formula Apportionment untuk mengalokasikan laba ke negara pasar menggunakan faktor tertentu.
Diterapkan Amerika, Diusulkan OECD
Sebetulnya, bentuk yang lebih sederhana dari ketentuan Amount A pada Pillar 1 terkait pembagian hak pemajakan global ini, tertuang di dalam sebuah konsep yang bernama Formula Apportionment.
Ironisnya, meskipun AS menjadi salah satu negara yang masih belum setuju menandatangani MLI pilar 1, justru Negeri Paman Sam itulah insiator skema pembagian pajak digital yang disebut Formula Apportionment. Meskipun, konteks Formula Apportionment di AS tidak secara spesifik untuk pajak digital, melainkan sebagai alat pembagian hak pemajakan untuk setiap negara bagian.
Itu sebabnya, Rasio yang digunakan untuk mengalokasikan pendapatan diantara negara bagian adalah rasio payroll, aset dan penjualan. Untuk kemudian dilakukan pembobotan atas faktor tersebut.
Dari konsep yang dikembangkan AS itu kemudian OECD mengadopsi Formula Apportionment dalam menentukan hak pemajakan digital. Bedanya, OECD menggunakan faktor-faktor non fisik sebagai alat pembagi hak pemajakan. Seperti, faktor volume penjualan, data pengguna, atau jumlah interaksi digital.
Tujuannya, untuk memastikan negara tempat konsumen atau pengguna, mendapatkan hak pajak yang lebih besar, bahkan tanpa kehadiran fisik perusahaan.
Negara lain yang menerapkan Formula Apportionment adalah Kanada. Penerapannya menggunakan formula dua faktor dengan memberikan bobot yang sama, antara biaya gaji tenaga kerja dan penjualan untuk mengalokasikan pendapatan antar provinsi tersebut.
Implementasi Formula Apportionment di Amerika
AS mengimplementasi Formula Apportionment dengan menentukan keuntungan perusahaan yang akan dikenakan pajak oleh 45 negara bagian. Caranya, dengan menghitung basis pajak federal dan melakukan penyesuaian yang diperlukan.
Awalnya, faktor tersebut dialokasikan dengan bobot yang sama. Namun, dalam kurun waktu terakhir, sebagian besar negara bagian memberikan setengah bobot pada penjualan.
Berikut, ilustrasi penerapan Formula Apportionment di Amerika. Misalnya, sebuah perusahaan beroperasi di tiga negara bagian AS, yaitu California, New York, dan Texas. Perusahaan ini memiliki pendapatan global sebesar $100 juta.
1. Menentukan Nilai Payroll, Penjualan dan Aset
Langkah pertama, tentukan besaran faktor-faktor seperti Payroll, Penjualan dan Aset di masing-masing negara bagian.
Faktor yang digunakan untuk menentukan masing-masing pajak di negara bagian adalah:
- Payroll: Total pengeluaran gaji yang dibayar kepada pekerja di masing-masing negara bagian
- Penjualan: Total penjualan yang dilakukan masing-masing negara bagian
- Aset: Total nilai aset yang dimiliki masing-masing negara
Negara Bagian AS |
Payroll |
Penjualan |
Aset |
California |
$ 2 juta |
$10 juta |
$ 5 juta |
New York |
$ 3 juta |
$ 25 juta |
$ 10 juta |
Texas |
$ 1 juta |
$ 15 juta |
$ 2 juta |
Total |
$ 6 juta |
$ 50 juta |
$ 17 juta |
2. Menghitung Rasio Faktor di Setiap Negara
Langkah selanjutnya adalah menghitung rasio payroll, penjualan dan aset di tiap negara terhadap nilai totalnya.
Negara Bagian AS |
Rasio Payroll |
Rasio Penjualan |
Rasio Aset |
California |
33,33% ($2juta/$6juta) |
20% ($10juta/$50juta) |
29,41% ($5juta/$17juta) |
New York |
50% ($3juta/$6juta) |
50% ($25juta/$50juta) |
58,82% ($10juta/$17juta) |
Texas |
16,67% ($1juta/$6juta) |
30% ($15 juta/$50juta) |
11,76% ($2juta/$17juta) |
Total |
$ 6 juta |
$ 50 juta |
$ 17 juta |
3.Menghitung Bobot Setiap Faktor
Kemudian, langkah berikutnya adalah menghitung pembobotan dari setiap faktor menggunakan bobot yang sama atau berdasarkan preferensi negara bagian yang mengadopsi formula apportionment.
Misalnya, jika negara bagian menggunakan three-factor apportionment yang memberikan bobot yang sama pada payroll, penjualan dan aset, maka setiap faktor akan memiliki bobot 1/3. Lalu nilai alokasi laba dapat dihitung dari jumlah bobot dari ketiga faktor tersebut.
Berikut perhitungan bobot dan alokasi laba untuk tiap negara.
Negara Bagian AS |
Bobot Payroll |
Bobot Penjualan |
Bobot Aset |
Alokasi Laba |
California |
11,11% (33,33% x 1/3) |
6,67% (20% x 1/3) |
9,80% (29,41% x 1/3) |
27,58% (11,11%+6,67%+9,80%) |
New York |
16,67% (50% x 1/3) |
16,67% (50% x 1/3) |
19,61% (58,82% x 1/3) |
52,94% (16,67%+16,67%+19,61%) |
Texas |
5,56% (16,67% x 1/3) |
10% (30% x 1/3) |
3,92% (11,76% x 1/3) |
19,48% (5,56%+10%+3,92%) |
4. Menghitung Pajak Berdasarkan Tarif
Langkah terakhir adalah menghitung pajak yang dikenakan berdasarkan tarif pajak masing-masing negara. Misalkan tarif pajak California sebesar 8,84%, tarif pajak New York sebesar 6,5% serta tarif pajak Texas adalah 0,375%. Maka pajak yang harus dibayar oleh Perusahaan di masing-masing negara adalah sebagai berikut:
Negara Bagian AS |
Pajak yang harus dibayar |
California |
$2,44 Juta (27,58% x $100 juta x 8,84%) |
New York |
$3,33 Juta (52,94% x $100juta x 6,5%) |
Texas |
$73.050 (19,48% x $100juta x 0,375%) |
Kuncinya, Kesepakatan Bersama
Sejatinya, penerapan Formula Apportionment dapat memberikan dampak positif, tidak hanya bagi negara atau yurisdiksi dalam konteks penerimaan, tetapi juga bagi perusahaan.
Terutama, dalam menjalankan prinsip arm’s lenght principle (ALP) dalam transfer pricing. Konsep ini tidak dapat menggantikan prinsip ALP namun bisa melengkapinya.Khususnya dalam hal mengidentifikasi fungsi aset dan risiko yang sulit dalam transaksi digital. Namun, penggunaan Formula Apportionment tidak lepas dari kekurangan.
Catatan yang perlu diperhatikan dalam penggunaan Formula Apportionment adalah, timbulnya risiko pajak berganda dan ketidakpastian. Hal itu timbul karena ketidakseragaman sistem pajak di berbagai negara. Karenanya, implementasi Formula Apportionment harus disertai komitmen global dengan kata lain, harus tetap melalui konsensus.
Tantangan lain dari penerapan Formula Apportionment ini adalah soal keakuratan data. Terutama data penjualan berdasarkan geografis dan data pengguna. Implikasi dari ketidak akuratan data ini akan mengakibatkan sulitnya menentukan nilai bobot faktor-faktor seperti volume penjualan, data pengguna, atau jumlah interaksi digital.
Jadi, pada akhirnya, selama tidak adanya kesepakatan diantara negara-negara akan sulit pembagian hak pemajakan terdistribusi secara adil. Tapi, mengingat beragam dinamika politik dan ekonomi global yang panas akhir-akhir ini, bisakah itu terwujud?
Sumber: OECD. (2011). Tax Policy Studies: E-commerce: Transfer pricing and business profits taxation. OECD Publishing.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.