PMK 136/2024: Liminalitas Insentif Pajak
Rama Ames Remonda,

Setiap senja adalah paradoks. Keindahan langit yang memerah justru menjadi pertanda perpisahan dengan siang. Tetapi di balik itu, kita menyiapkan diri pada hari yang baru. Begitulah yang terjadi dengan kebijakan insentif pajak di Indonesia.
Saya percaya, selalu ada momen ketika suatu kebijakan berada di antara dua kutub, belum sepenuhnya berakhir, tapi juga tidak lagi sama seperti sebelumnya. Itulah yang disebut liminalitas, yaitu ruang ambang yang ambigu, di mana masa lalu masih membayangi, sementara masa depan mulai mengetuk pintu.
Dalam konteks perpajakan Indonesia, penerbitan PMK 136/2024 menandai hadirnya liminalitas semacam itu. Insentif pajak tradisional, yang dulu menjadi senjata utama menarik investasi, kini berada di persimpangan. Apakah ini pertanda senjakala insentif, atau justru awal dari strategi fiskal yang lebih adaptif di tengah era Pajak Minimum Global?
Lanskap perpajakan global tengah bergeser drastis, ketika negara-negara di dunia, lewat OECD sepakat untuk menerapkan Pilar Dua dari inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0. oleh OECD.
Inisiatif OECD itu bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil di era globalisasi. Khususnya melalui Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax/GMT). Beleid itu mengharuskan perusahaan multinasional membayar setidaknya 15% effective tax rate (ETR) di setiap yurisdiksi.
Baca Juga: Indonesia Resmi Raih Status Qualified Pajak Minimum Global, Ini Implikasinya!
Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, dinamika ini menciptakan peluang sekaligus tantangan besar dalam mempertahankan daya saing investasi sambil memenuhi aturan global.
Pemerintah Indonesia bergerak cepat merespons. Melalui PMK 136/2024, pemerintah mengatur penerapan Global Anti-Base Erosion (GLoBE) Rules, lengkap dengan instrumen Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT) dan Qualified Refundable Tax Credits (QRTC). Kehadiran aturan ini sekaligus menandai penyesuaian kebijakan fiskal Indonesia terhadap tata kelola pajak internasional yang makin ketat.
Pudarnya Pengaruh Insentif Pajak
Sebelum GMT berlaku, negara-negara di dunia mengandalkan insentif pajak seperti tax holiday dan tarif pajak rendah untuk memikat investasi dan sebagai motor penggerak ekonomi. Namun, kehadiran aturan pajak minimum global membuat daya pikat strategi itu semakin memudar.
Perusahaan yang membayar pajak di bawah ambang batas 15% tetap bisa dikenai pajak tambahan oleh negara lain. Dengan kata lain, manfaat insentif yang terlalu besar bisa dengan mudah tereduksi.
Baca Juga: Panduan Penyesuaian dalam Menghitung Laba atau Rugi GloBE, sesuai PMK 136/2024
Perubahan ini menuntut pemerintah untuk merancang pendekatan insentif baru yang tidak hanya relevan dengan aturan global, tetapi juga mampu tetap menarik bagi investor. Strategi ini menjadi semakin penting mengingat persaingan antar negara dalam menarik investasi tidak hanya bergantung pada pajak, tetapi juga pada penciptaan lingkungan usaha yang kondusif dan berdaya saing global.
OECD dalam laporannya yang berjudul “Tax Incentives and the Global Minimum Corporate Tax” memetakan beberapa isu terkait GMT dengan insentif pajak.
Pertama, insentif pajak seperti pengurangan pajak yang tercakup (covered tax), lebih terdampak oleh aturan GloBE. Termasuk, sebagian besar insentif berbasis pendapatan dan pengeluaran, seperti tarif pajak korporasi yang lebih rendah, pembebasan pajak, investment tax allowances dan kredit pajak yang menurunkan penghasilan kena pajak atau kewajiban pajak atas investasi tertentu.
Namun di sisi lain, insentif pajak yang ditargetkan pada kategori pendapatan atau pengeluaran tertentu, tidak akan terlalu terdampak dibandingkan dengan insentif yang berlaku secara luas. Hal ini karena pendapatan yang dikenakan pajak rendah akan tercampur dengan pendapatan yang dikenakan pajak lebih tinggi, sehingga membatasi dampaknya terhadap ETR secara keseluruhan.
Begitu juga terhadap insentif pajak yang mendorong lebih banyak aktivitas nyata, seperti investasi dalam aset berwujud atau penciptaan lapangan kerja, pengaruh GloBE tidak akan signifikan. Sebab, karena adanya pengecualian berbasis substansi (Substance-Based Income Exclusion/SBIE).
Baca Juga: Uraian Komprehensif Ketentuan Pajak Minimum Global
Selain itu, OECD juga melihat QRTC sebagai salah satu insentif yang relevan di era GMT. Pasalnya, sebagai kredit pajak yang dapat dikembalikan dalam waktu empat tahun, QRTC dianggap sebagai pendapatan. Sehingga, akan meningkatkan penghasilan menurut aturan GloBE, bukan sebagai pengurang pajak yang tercakup. Meskipun QRTC masih dapat menurunkan GloBE ETR, dampaknya umumnya lebih kecil dibandingkan dengan jenis kredit pajak lainnya.
Kemudian, terkait Insentif pajak yang menciptakan perbedaan temporer antara pajak komersial dan pajak fiskal, seperti depresiasi dipercepat, umumnya tidak akan menimbulkan kewajiban pajak tambahan di bawah aturan GloBE. Selama insentif tersebut terkait dengan aset berwujud, maka insentif ini dikecualikan dari aturan recapture. Namun, untuk aset selain aset berwujud, jika perbedaan temporer ini berlangsung lebih dari lima tahun, aturan GloBE dapat memengaruhi insentif pajak tersebut.
Adapun, insentif pajak yang menciptakan perbedaan permanen antara pajak komersial dan pajak fiskal, seperti tarif pajak yang lebih rendah, sering kali terdampak oleh aturan GloBE, karena menyebabkan penurunan ETR.
Bagaimana Indonesia Bisa Meresponsnya?
Untuk menyesuaikan diri dengan era baru ini, Pemerintah Indonesia perlu merancang insentif yang selaras dengan aturan GloBE, tetapi tetap menarik bagi investor. Beberapa strategi yang bisa diterapkan antara lain:
1. Fokus pada Insentif Berbasis Substansi
Insentif yang berbasis substansi lebih sesuai dengan aturan GMT karena tidak langsung menurunkan ETR. Pemerintah dapat memberikan manfaat pajak bagi perusahaan yang melakukan investasi dalam aset berwujud, menciptakan lapangan kerja, dan melakukan kegiatan riset dan pengembangan (R&D). Skema seperti super deduction untuk R&D dan insentif untuk industri padat karya bisa menjadi pilihan utama.
2. Mengoptimalkan QRTC
Pemerintah dapat memperluas cakupan QRTC untuk sektor strategis seperti energi hijau, teknologi digital, dan manufaktur berbasis nilai tambah tinggi. Dengan pemberian QRTC yang tepat sasaran, Indonesia tidak hanya mampu menarik investasi, tetapi juga mendorong transformasi ekonomi menuju arah yang lebih berkelanjutan.
3. Batasi Tax Holiday dan Tarif Pajak Rendah
Dalam era GMT, tax holiday dan tarif pajak rendah semakin kurang efektif dalam menarik investasi. Sebagai gantinya, pemerintah dapat menawarkan:
- DMTT yang kompetitif tanpa mengorbankan daya saing investasi, yang memungkinkan pajak tambahan tetap masuk ke kas negara daripada dialihkan ke yurisdiksi lain.
- Skema subsidi dan insentif langsung, seperti cash grant khususnya untuk pembangunan infrastruktur dan proyek kelestarian lingkungan. Alternatif lainnya seperti subsidi riset dan inovasi, skema pembiayaan berbunga rendah, atau bantuan dalam pengembangan infrastruktur penunjang industri.
- Insentif berbasis kinerja (performance-based incentives) yang hanya diberikan kepada perusahaan yang memenuhi target tertentu, seperti penciptaan lapangan kerja, penggunaan bahan baku lokal, atau pengurangan emisi karbon.
Babak Baru Stabilitas Fiskal Berkelanjutan
Penerapan GMT lewat PMK 136/2024 sejatinya bukan sekadar penyesuaian teknis. Lebih dari itu, ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk membentuk ekosistem investasi yang lebih sehat, kompetitif, dan berkelanjutan.
Pajak memang tetap menjadi faktor penting. Tetapi dalam jangka panjang, investor akan lebih menimbang aspek non-pajak seperti stabilitas politik, regulasi yang konsisten, pembangunan infrastruktur, efisiensi birokrasi, ketersediaan tenaga kerja terampil, hingga ekosistem inovasi.
Dengan pendekatan yang lebih holistik, Indonesia punya peluang untuk bukan hanya sekadar menyesuaikan diri dengan aturan global, melainkan juga memperkuat daya saingnya di kancah internasional.
GMT bisa menjadi ancaman bagi era insentif pajak tradisional, tetapi di sisi lain, bisa pula menjadi titik awal babak baru kebijakan fiskal Indonesia yang lebih strategis dan berorientasi pada pertumbuhan jangka panjang.
Pada akhirnya, liminalitas selalu menuntut keberanian untuk melangkah. Ia bukan sekadar ruang jeda yang hampa, melainkan momen krusial untuk menentukan arah, apakah kita akan larut dalam nostalgia insentif lama, atau menjadikannya titik tolak menuju strategi fiskal yang lebih berkelanjutan.
PMK 136/2024 menegaskan bahwa insentif pajak tidak lagi bisa menjadi tumpuan utama. Di era pajak minimum global, daya saing justru lahir dari kepastian hukum, transparansi, serta kualitas ekosistem investasi.
Dalam kerangka itulah, liminalitas hari ini bukan senjakala terakhir, melainkan pintu masuk menuju fajar baru kebijakan pajak Indonesia.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.