Simultaneous Tax Examination, Alternatif Cegah Pajak Berganda dalam Sengketa Transfer Pricing
Muhammad Arif Darmawan,
Meiliana,
.png)
Dunia tengah menghadapi turbulensi ekonomi yang kompleks—dari ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel, perang dagang yang kembali memanas antara negara-negara besar, hingga lonjakan harga komoditas strategis seperti minyak, gas, dan logam akibat gangguan rantai pasok global.
Situasi ini bukan hanya memengaruhi stabilitas pasar, tetapi juga berdampak langsung terhadap strategi harga dan alokasi laba perusahaan multinasional lintas yurisdiksi.
Di tengah tekanan global ini, transfer pricing kembali menjadi sorotan. Dalam banyak kasus, koreksi atas kewajaran harga dalam transaksi afiliasi lintas negara berujung pada potensi pajak berganda (double taxation). Ketika dua otoritas pajak memegang pandangan berbeda terhadap karakter transaksi, risiko pengenaan pajak atas penghasilan yang sama di dua negara menjadi nyata dan merugikan.
Namun di sisi lain, negara tempat induk perusahaan berada tidak secara otomatis memberikan corresponding adjustment. Situasi ini membuka celah terjadinya double taxation, yang tidak hanya membebani korporasi, tetapi juga menciptakan ketidakpastian dalam iklim investasi lintas negara.
Baca Juga: Corresponding Adjustment, Anti Double Taxation yang Tak Dilirik Otoritas
Corresponding Adjustment Lewat Mekanisme MAP Belum Optimal
Selama ini, Mutual Agreement Procedure (MAP) dianggap sebagai mekanisme utama untuk menyelesaikan potensi pajak berganda. Namun, banyak studi dan pengalaman menunjukkan bahwa efektivitas MAP masih terbatas.
Di Indonesia, jumlah permintaan MAP memang cenderung meningkat, terutama dalam tiga tahun terakhir. Peningkatan itu terjadi seiring dengan semakin kompleksnya kasus transfer pricing. Namun demikian, tingkat penyelesaiannya masih belum optimal, terutama karena:
- Ketergantungan pada keberadaan tax treaty yang efektif antara negara-negara terkait;
- Lamanya waktu negosiasi yang bisa memakan waktu bertahun-tahun;
- Perbedaan persepsi atas metode analisis kewajaran harga transfer antarotoritas.
Di tengah tuntutan dunia usaha untuk kepastian hukum, kondisi ini jelas menjadi tantangan tersendiri.
STE Sebagai Alternatif Strategis
Dalam konteks inilah, Simultaneous Tax Examination (STE) muncul sebagai instrumen kolaboratif yang dapat mengisi celah kelemahan sistem penyesuaian konvensional.
STE didefinisikan sebagai kegiatan pemeriksaan bersama yang dilakukan secara simultan namun independen oleh otoritas pajak dari dua atau lebih negara terhadap entitas dalam satu grup usaha, berdasarkan kesepakatan antar Competent Authority.
Baca Juga: Beda POV Kantor Pajak, Picu Ketidakpastian Corresponding Adjustment Domestik
STE secara formal diatur dalam PER-10/PJ/2025 sebagai implementasi dari penguatan kerja sama perpajakan internasional dan penguatan pertukaran informasi berdasarkan perjanjian internasional. Langkah ini juga sejalan dengan implementasi BEPS Action Plan 13 tentang dokumentasi transfer pricing dan Action Plan 14 tentang penyelesaian sengketa pajak internasional.
Secara spesifik, STE dapat dilakukan apabila:
- Terdapat keterkaitan antara permasalahan perpajakan entitas di Indonesia dengan entitas afiliasinya di negara mitra;
- Kedua otoritas pajak memiliki kepentingan bersama dalam pemeriksaan;
- Terdapat indikasi penghindaran atau pengelakan pajak melalui skema transfer pricing.
Ketentuan ini mencerminkan perlunya respons strategis terhadap kompleksitas transaksi lintas negara yang tidak dapat ditangani secara sepihak oleh satu yurisdiksi.
Dalam kerangka inilah, STE hadir sebagai pendekatan yang lebih proaktif dan strategis. Dengan melibatkan otoritas pajak dari dua atau lebih yurisdiksi untuk melakukan pemeriksaan paralel terhadap wajib pajak di masing-masing negara secara simultan, STE membuka ruang dialog dan pertukaran informasi sejak tahap awal.
Langkah ini memungkinkan terbentuknya kesepahaman bersama mengenai karakter transaksi afiliasi yang diperiksa, sekaligus meminimalkan risiko ketidaksepakatan yang dapat memicu sengketa. Lebih dari sekadar efisiensi teknis, STE juga menciptakan landasan keadilan bagi wajib pajak, karena prosesnya berlangsung secara transparan dan kolaboratif.
Peran STE dalam Pemeriksaan Transfer Pricing
Ketentuan dalam PER-10/PJ/2025 mengatur bahwa STE dapat dilakukan apabila terdapat keterkaitan permasalahan perpajakan antara wajib pajak di Indonesia dan di Negara Mitra, adanya kepentingan bersama antarotoritas pajak, serta terdapat dugaan penghindaran atau pengelakan pajak.
Berdasarkan ketentuan ini, pelaksanaan STE tidak dilakukan secara mandiri, melainkan merupakan respons terhadap adanya indikasi yang memadai atas dugaan praktik penghindaran pajak yang melibatkan yurisdiksi lebih dari satu negara.
Pelaksanaan STE dapat dimanfaatkan oleh DJP sebagai mekanisme tindak lanjut yang bersifat kolaboratif pada saat melakukan pemeriksaan transfer pricing, terutama terhadap entitas yang menunjukkan kondisi keuangan merugi. Kondisi rugi pada suatu wajib pajak tidak secara otomatis dapat dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa telah terjadi penghindaran pajak.
Koreksi transfer pricing sepihak tanpa landasan yang kuat justru berisiko menciptakan ketidaksepakatan dengan otoritas pajak negara mitra dan berujung pada potensi sengketa internasional atau pajak berganda. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih hati-hati dan berbasis kolaborasi menjadi penting.
Dalam hal terdapat dugaan transaksi afiliasi berisiko, DJP dapat terlebih dahulu memanfaatkan mekanisme pertukaran informasi secara internasional—termasuk melalui STE—untuk melakukan klarifikasi dan koordinasi dengan otoritas pajak di yurisdiksi lawan transaksi.
Melalui proses tersebut, DJP tidak hanya memperkuat dasar hukum dan faktual dari suatu koreksi, tetapi juga membangun legitimasi dalam perspektif internasional. Pendekatan ini mendorong tata kelola pemeriksaan yang lebih akuntabel dan adil.
Selain itu, juga dapat menciptakan sinyal bahwa koreksi transfer pricing bukan semata upaya fiskal sepihak, melainkan bagian dari kerja sama lintas negara dalam menjaga kepatuhan dan mencegah praktik erosif terhadap basis pajak.
Penutup: Urgensi Kolaborasi dalam Penegakan Pajak Internasional
Di tengah menguatnya narasi anti-base erosion dan tuntutan atas transparansi, pendekatan unilateral dalam pemeriksaan pajak internasional tak lagi relevan. STE mencerminkan arah baru penegakan hukum pajak yang kolaboratif dan adaptif terhadap tantangan globalisasi.
Dengan memanfaatkan momentum kerja sama internasional, termasuk melalui Automatic Exchange of Information dan mekanisme MAP yang diperkuat, STE dapat menjadi pilar penting dalam menciptakan sistem transfer pricing yang adil dan berkelanjutan.
*Penulis merupakan praktisi transfer pricing di MUC Consulting
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.