Simalakama Pajak Digital; Perundingan Buntu dan Ancaman Retaliasi
Oleh: Meiliana dan Choirunnisa Nadilla Safitri
|

Senyum petinggi negara-negara berkembang seketika merekah, ketika Amerika Serikat (AS) dan negara-negara G7 dikabarkan bersepakat untuk menerapkan GloBE rules dan global intangible low-taxed income (GILTI) secara berdampingan. Harapan panjang mereka untuk mendapat hak pajak atas transaksi digital semakin terbuka.
Apalagi, kesepakatan untuk menerapkan GloBE rules dan GILTI secara side-by-side system itu, ditindaklanjuti oleh “Paman Sam” dengan menghapus Section 899 dalam One Big Beautiful Bill dari rancangan undang-undang. Section 899 sejatinya merupakan kebijakan “balasan” dari AS.
“Balasan” AS melalui Section 899 adalah dengan menaikkan tarif pajak bagi entitas yang termasuk discriminatory foreign countries, yaitu negara yang dianggap menerapkan pajak diskriminatif atau bersifat ekstrateritorial terhadap AS. Contohnya seperti GloBE rules maupun pajak layanan digital (Digital Services Taxes/DST).
Kekhawatiran GloBE rules sudah mereda dengan adanya kesepakatan antara G7 dan AS, tapi isu DST masih menimbulkan ketegangan. Belum lama ini Presiden AS, Donald Trump, mengancam Kanada akan menghentikan negosiasi perdagangan jika mereka menerapkan DST. Karena bagi AS, penerapan DST seakan menargetkan perusahaan teknologi AS.
Ancaman retaliasi AS ini menimbulkan dilema bagi banyak negara yang berharap kue pajak dari kegiatan ekonomi digital. Mulai dari konsensus DST yang masih penuh ketidakpastian, serta harus berpikir ulang menerapkan DST bila nanti terkena ancaman tarif tambahan dari AS karena memberlakukannya secara unilateral.
Baca Juga: Trump Pastikan Amerika Mundur dari Kesepakatan Pajak Global
Potensi Besar Pajak Digital
Bagi Indonesia dan negara-negara pasar lain, DST bisa menjadi oase atau sumber penerimaan pajak baru. Dengan demikian, Indonesia bisa mengucapkan “selamat tinggal” pada kebiasaan berburu di kebun binatang. Sebab, DST ibarat hutan rimba dengan aneka binatang yang siap diburu.
Tingginya potensi pajak DST dapat kita lihat dari besarnya nilai pasar ekonomi digital di Indonesia yang ditaksir mencapai Rp1.420 triliun pada 2024 dan diperkirakan bakal meningkat jadi Rp5.680 triliun pada 2030 (CNBC Indonesia, 2024). Selain itu, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet aktif di Indonesia mencapai 221 juta.
Persoalannya, potensi itu tidak akan berdampak menjadi penerimaan pajak selama regulasi perpajakan masih merujuk pada aturan konvensional. Di mana, kegiatan bisnis digital yang dilakukan oleh perusahaan multinasional tanpa hadir secara fisik di negara pasar, tak tercakup dalam ketentuan pajak. Misalnya, dengan mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Sehingga, tanpa kehadiran fisik atau non-physical presence, Indonesia kesulitan memajaki keuntungan perusahaan asing yang meraup laba dari pasar domestik karena mereka tidak membentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT). Secara hukum, yurisdiksi pajak Indonesia menjadi lemah.
Buntunya Perundingan dan Kegagalan Konsensus
Upaya global untuk memberi ruang kepada negara-negara pasar menikmati hak pajak atas layanan jasa digital bukan hal baru. Lewat proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) OECD sejak lama telah menggagas lahirnya kerangka Two-Pillar Solution.
Terutama, dalam kerangka itu Pillar 1 Amount A yang khusus membahas tantangan pemajakan di era digital. Lewat Pillar 1, sebagian laba residual perusahaan multinasional dimungkinkan dialokasikan ke negara pasar, meskipun tanpa kehadiran fisik.
Mekanismenya mengandalkan konsep Significant Economic Presence (SEP), dengan indikator seperti jumlah pengguna, interaksi digital, hingga nilai penjualan domestik. Suatu konsep revolusioner, karena menggeser paradigma pemajakan internasional yang selama ini bergantung pada keberadaan fisik.
Namun, meski mayoritas negara G20 dan OECD sepakat untuk menerapkannya, kerangka Pillar 1 tak kunjung menghasilkan konsensus. Salah satu penghambat terbesar: belum adanya komitmen penuh dari AS terhadap Pillar 1 Amount A. AS di bawah kepemimpinan Trump memutuskan untuk menarik diri dari pembahasan.
Baca Juga: Mengenal Formula Apportionment, Alternatif Pemajakan Ekonomi Digital
Menimbang Opsi Pengenaan Sepihak
Pasca buntunya konsensus, beberapa negara mulai memberikan sinyal mengenakan DST secara unilateral alias secara sepihak. Secara teori, pengenaan DST secara unilateral memang terlihat sebagai solusi cepat untuk mengamankan hak pemajakan.
Bahkan, Indonesia sebetulnya sudah pernah membuat payung hukum untuk mengenakan DST secara unilateral lewat Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020. Namun, beleid itu kemudian dicabut setelah status pandemi berakhir dan sejalan dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020.
Tapi, terlepas dari pembatalan itu dan potensi ancaman retaliasi AS, ada beberapa tantangan yang perlu dipertimbangkan jika pemerintah mengenakan DST secara sepihak.
Pertama, untuk mengenakan DST pemerintah perlu menyiapkan UU baru yang secara jelas mengatur siapa subjek-objek pajak, basis pengenaan, tarif, hingga mekanisme pemungutan dan pelaporannya.
Kedua, adanya potensi penolakan dari dunia usaha. DST biasanya dikenakan atas peredaran bruto, tanpa memperhitungkan beban operasional. Hal ini dianggap tidak adil, karena bertentangan dengan prinsip ability to pay. Bahkan dengan tarif kecil, margin usaha digital bisa tertekan. Mengubah DST menjadi pajak penghasilan pun sulit, karena bisa bertabrakan dengan aturan tax treaty yang hanya memperbolehkan pengenaan pajak bila ada BUT.
Ketiga, kesiapan infrastruktur digital. Pendekatan seperti SEP membutuhkan sistem yang mumpuni. Terutama yang mampu mendeteksi transaksi digital secara real-time, melacak jumlah pengguna dan penjualan per negara, mengklasifikasikan layanan digital, serta mengintegrasikan data lintas kementerian maupun lintas negara. Saat ini, kapasitas itu masih jadi tantangan bagi Indonesia.
Wujud Keadilan dan Pelengkap PPN PMSE
Dalam konteks ekonomi digital, Indonesia sebetulnya sudah menerapkan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sejak 2020. Skema ini menunjuk pelaku usaha luar negeri atau pihak lain (WPLN) sebagai pemungut PPN atas konsumsi digital oleh konsumen Indonesia.
Dari sisi penerimaan, hasilnya positif. DJP mencatat sejak dilakukan pemungutan pada 2020 hingga 31 Juli 2025, jumlah PPN PMSE yang terkumpul mencapai Rp31,06 triliun. Bahkan, khusus penerimaan PPN PMSE periode Januari–Juli 2025 dibandingkan periode yang sama tahun 2024 tumbuh 25,16%.
Meski berhasil menambah penerimaan, skema ini punya catatan. Pertama, PPN menganut prinsip destination, sehingga beban pajaknya justru ditanggung konsumen akhir, bukan WPLN. Alhasil, Indonesia belum benar-benar menikmati hasil dari pendapatan yang diraup para WPLN dari Indonesia.
Kedua, prinsip tax neutrality belum sepenuhnya tercapai. Wajib Pajak Dalam Negeri tetap harus membayar PPh Badan dan PPN, sedangkan WPLN hanya memungut dan menyetor PPN tanpa kewajiban PPh, kecuali mereka memiliki BUT di Indonesia. Akibatnya, muncul ketidakseimbangan kompetisi antara pelaku lokal dan asing di pasar digital.
Sehingga, pada akhirnya menghadirkan hak pemajakan atas penghasilan perusahaan digital ini menjadi penting bukan soal menambah penerimaan semata, tetapi mewujudkan rasa keadilan di antara pelaku usaha digital dalam dan luar negeri serta tentu saja pelaku usaha konvensional.
Untuk itu, upaya untuk mencapai hal tersebut perlu terus diupayakan. Tentu saja bukan hal yang mudah, kuncinya terletak pada posisi tawar Indonesia terhadap negara-negara besar, terutama AS. Semoga.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.