Perubahan Ketentuan Pajak Kripto Mudahkan Pelaku Industri

JAKARTA. Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 tentang pajak kripto dinilai akan semakin mempermudah pelaku industri dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
Manager Tax Compliance MUC Consulting, Muhammad Ridho, mengungkapkan bahwa beleid ini akan memberikan kepastian hukum, baik bagi pembeli, penjual, maupun penyedia jasa perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) aset digital kripto.
Pasalnya, dengan terbitnya beleid tersebut, aset kripto yang tadinya menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berubah menjadi objek Pajak Penghasilan (PPh).
Baca Juga: Tak Dikenakan PPN Lagi, Transaksi Kripto Kini Dipotong PPh Pasal 22
Definisi Aset Keuangan Digital
Aset keuangan digital merupakan aset keuangan yang disimpan atau direpresentasikan secara digital, termasuk di dalamnya aset kripto. Sementara itu, aset kripto adalah representasi digital dari nilai yang dapat disimpan dan ditransfer menggunakan teknologi.
Teknologi tersebut memungkinkan penggunaan buku besar (ledger) terdistribusi seperti blockchain untuk memverifikasi transaksi dan memastikan keamanan. Selain itu, validasi informasinya tidak dijamin oleh otoritas seperti bank sentral, melainkan diterbitkan oleh pihak swasta.
Aset kripto juga dapat ditransaksikan, disimpan, dan dipindahkan secara elektronik. Adapun bentuknya berupa koin digital, token, atau representasi aset lain yang mencakup backed crypto asset maupun unbacked crypto asset.
Sulit Mengukur Nilai Tambah
Menurut Ridho, jika aset kripto tetap dikenakan PPN maka akan sulit dalam menentukan nilai tambah (value added) ketika transaksi dilakukan, mengingat tingginya tingkat volatilitas transaksi mata uang kripto.
Selain itu, jika dikenakan PPN maka atas transaksi kripto harus diterbitkan bukti potong, membuat faktur pajak, serta menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) PPN. Hal itu ia sampaikan dalam acara webinar bertajuk MUC Bicara Pajak (MUC BIJAK) pada Selasa (16/9).
Stimulus Transaksi Kripto di Dalam Negeri
Ridho juga mencermati beberapa perubahan ketentuan lainnya, seperti perubahan tarif PPh untuk transaksi kripto.
Sebelum PMK 50/2025, tarif PPh Pasal 22 Final dipungut oleh Bappebti sebesar 0,1%, dan jika tidak melalui Bappebti sebesar 0,2%.
Sementara setelah PMK 50/2025 berlaku, tarif PPh Pasal 22 dikelompokkan menjadi:
- Transaksi melalui PPMSE dalam negeri sebesar 0,21%.
- Transaksi dipungut di luar negeri atau disetor sendiri sebesar 1%.
Ridho menilai perubahan tarif ini diharapkan dapat menstimulasi aset kripto serta mendorong peningkatan transaksi kripto di Indonesia. "Hal ini karena ada perbedaan tarif 0,21% dengan 1% yang cukup signifikan," ujarnya.
Baca Juga: DJP Tetapkan Kriteria PMSE Pemungut Pajak Kripto dan Seller Marketplace
Latar Belakang Perubahan Ketentuan Pajak Kripto
Dalam kesempatan yang sama, Fungsional Penyuluh Pajak DJP, Agus Sugianto, mengungkapkan bahwa perubahan perlakuan pajak kripto dilakukan karena pemerintah tidak lagi menempatkan aset kripto sebagai komoditas, melainkan sebagai bagian dari aset digital.
Perubahan itu dilakukan seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Kemudian, mulai 10 Januari 2025, pemerintah mengalihkan fungsi pengawasan aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melalui Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2024.
Dengan demikian, aset kripto dipersamakan dengan surat berharga. "Hal ini mengakibatkan aset kripto menjadi kelompok barang yang tidak dikenai PPN," jelas Agus. (ASP)